Menaiki pesawat yang tak kalah besar, kali ini aku bisa duduk disamping jendela. Duh, apa yang mau dilihat gelap begini?
Paling lampu-lampu aja saat kami kembali lepas landas tadi. Cuma gak lama, karena pesawat semakin naik dan lampu cantik itu semakin menghilang.
Mauku sih langsung tertidur lagi supaya gak mabuk atau apa. Tapi aku mulai merasakan badanku mulai tak enak perasaan. Ada apa ya? Apa mau jatoh kapalnya?
Aku bergegas mengambil kresek plastik yang sudah aku bawa dari rumah dan ku selipkan di tas tanganku. Jangan-jangan aku parno jadi pengen muntah kan berabe. Duh, apaan sih?
Fix, aku sepertinya mau mabuk perjalanan ini alias mau mumun.
"Mbak Ipeh kenapa?" Bisik Gendhis menatapku heran.
Aku melirik sambil mulutku sudah tertutup kresek kecil plastik yang spontan ku dekatkan ke mulutku.
"Muaal.." jawabku lemah.
Gendhis langsung mengurut tengkuk belakangku sambil berseru kecil ke arah abangnya.
"Bang, mbak Ipeh mual nih.."
Aku sudah tak bisa lagi memikirkan apapun, hingga akhirnya akupun memuntahkan sesuatu dari mulutku.
Perutku seakan bergejolak dan akupun sukses hoeks hoeks seperti orang hamil. Ish, hamil ama kucing?
Gendhis masih setia memijit tengkukku dan berusaha membantuku.
Hingga akhirnya aku sudah mengeluarkan beban mualku, aku bisa menarik nafas lega kemudian.
"Masih mual gak? Minum antimo mau?"
Aku menggeleng kecil.
"Ya udah, plastikny iketin dan masukin tas kertas ini mbak. Biar abang kasihin ke FA nya nanti.."
Aku mengangguk lemah lalu mengikat tali bekas muntahanku dan memasukannya ke tas kertas yang disiapkan Gendhis.
Gadis itu sigap memberikan tissue untuk mulutku juga mengeluarkan minyak kayu putih dan menempelkannya ke hidungku. Ku hirup sedalam-dalamnya untuk menepis rasa mual tadi. Malu-maluin bener ya orang udik naik pesawat akhirnya mumun juga.
Sekilas ku lirik pak Ghazie berdiri lalu pergi ke depan entah kemana. Gendhis sendiri masih memijit tengkukku tapi sudah gak sekuat tadi.
"Mbak kan tadi cuma minum coklat. Napa muntah ya?"
Aku memejamkan mataku dan tak menjawab pertanyaan Gendhis.
"Apa coklatnya bikin enek ya?"
Aku masih gak paham.
Tak berapa lama pak Ghazie datang dan membawa segelas air yang diberikan pada adiknya.
Gendhis memberikan gelas tersebut untuk ku teguk. Teh hangat manis ternyata dan cukup membuat perutku agak enakan.
"Dikeluarga kami itu Bang Gaza yang tukang mabok Mbak. Makanya dia paling emoh diajak jalan naik pesawat ke manapun. Dari kecil tukang mabok, hihiii.."
"Bang Gaza?"
"Adeknya Bang Ghazie, yang lagi ambil kuliah master di Surabaya.."
Oh kuliah di luar.
Eh, koq aku jadi inget Bang Gaza yang ono? Yang tukang bengkel calon imam pilihan Babeh. Namanya bisa sama gitu ya?
"Enakan mbak?"
Aku mengangguk kecil.
"Mba duduk tengah aja atau pinggir apa? Biar abang pindah. Kalau perlu ke rest room kan bisa gampang pindah"
Hhm, iya juga sih. Kalo ke toilet aku jadi gak repot misi-misi.
"Ya udah. Bener neng, enakan di pinggir.."
Ku lihat Gendhis berbicara ke arah kakanya itu.
"Abang tengah aja duduknya ya, aku pengen deket jendela nih. Biar mbak Ipeh dipinggir"
Lho, napa aku jadi sebelahan sama pak Bos?
Hanya decakan kecil respon pak bos saat Gendhis menyampaikan maksudnya dengan riang. Ih nih bocah, dia bahagia aku deg-degan duduk sedekat itu sama pak Bos.
Apa kabar dunia?
💕
Entah karena aku grogi duduk sebelah pak bos, atau memang pesawat kali ini lebih dingin suhunya dibanding pesawat sebelumnya, aku sukses bolbal ke toilet buang air kecil hingga 3x.
Duh, membagongkan bener dah mana pipisnya kagak ada kran ceboknya. Habis udah tissue di toilet demi membersihkan najis kecil itu. Mau gimana lagi, masa aku harus tahan kalo kebelet?
Hingga ketika aku kembali ke kursiku usai kali ke tiga, pak bos menatapku datar tak percaya.
"Kamu gak bawa pampers?"
Apa? Pampers?
"Kagak. Bapak bawa? Minta 1 dah.." sahutku sebal. Ada-ada aja ini orang ngomongnya.
Mata itu melotot menatapku lalu berdecih kesal.
"Saya gak bisa tidur gara-gara kamu gerak terus. Besok siang kita akan langsung meeting soalnya.."
Dih, bukannya empati aku beser gini malah nyolot. Bibirku merengut kesal jadinya.
"Siapa?" Tanyaku otomatis.
Dahi itu berkerut bingung.
"Siapa apanya?"
Ingin aku menjewer kuping si bos yang terlihat lebar itu.
"Siapa suruh bapak gak bisa tidur?" Cicitku menahan kesal hingga ke ubun-ubun.
Amit dah ini orang!
Dengusan kasar kali ini terdengar dari sebelahku. Bodo amat lah.
Tiba-tiba dia berdiri dan meminta jalan untuk keluar dari kursinya. Nah kan, ketularan beneran tuh.
Aku lalu bangkit kembali dan keluar dari barisan. Memberikan dia jalan karena sempit sekali lorongnya.
Ku lihat Gendhis sudah tertidur seusai makan malam tadi. Lelap seperti tidak sedang di pesawat. Bocah ya, pules bener bobonya.
Tak lama si bapak sudah kembali dan duduk kembali dikursinya. Aku juga mulai merapatkan jaketku dan berusaha tidur seperti Gendhis.
Duh, dingin bener ini pesawat. Alhamdulillah aku pake kaos kaki jadi gak begitu dingin sampe ke bawah-bawah.
Akhirnya aku memakai minyak kayu putih yang ku bawa. Mengoleskannya sedikit ke arah telapak tanganku lalu menghirupnya perlahan. Hangat. Sehangat kalo di peluk pasangan halal, eh! Sok tahu banget kan aku. Hahaha.
Pelan-pelan aku merapal doa dan berharap bakalan bisa tidur selelap Gendhis.
Entah aku tengah berada di alam mana ketika sebuah selimut lebar menutupi badanku hingga leher. Aku juga merasakan sensasi lain lagi saat kepalaku terkulai lemas ke arah bahu orang disebelahku.
Nyaman, menentramkan.
💕
Ipeh, loe kagak tahu babeh ikut mantau di pesawat pake cicitipi?
Good night Bebs, sleep tight
🤣🤣🤣
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapa Tahu Jodoh
ChickLitDisakiti, dihina, dibully, sudah biasa bagi Permata. Kondisi fisiknya memang sering membuat orang lain mengucilkannya. Tapi ketika disakiti begitu saja oleh seseorang yang sudah mulai mengisi hatinya, hidup Permata sudah tidak sama lagi. Ia harus b...