1. Dukun Pelet

279 15 3
                                    


Ini gila! Aku nggak habis pikir, gimana ceritanya bisa terjebak datang ke sini, menemani seseorang untuk bertanya ke orang pintar--katanya--yang bisa membuat dia kembali rujuk dengan mantan pacarnya. Kalau tahu bakal diajak ke tempat yang nggak benar kayak begini, dari awal langsung saja aku putar balik. Tapi, lagi-lagi aku yang terlalu polos dan juga baik malah dimanfaatkan dan dijebak dengan cara tidak bermoral sampai akhirnya bokongku menempel di lantai rumah dukun duduk bersila mendengarkan apa yang akan diucapkannya. Walaupun, sedari tadi  nggak ada satu pun yang aku percaya.

"Bisa. Dengan syarat, kamu harus siapkan mahar demi kelancaran hajat kamu ini.” Pria paruh baya dengan napas bau menyan memberi jawaban sekaligus harapan palsu. Aku tahu ini. Cuma, astaga. Kok, ya, masih begitu loh, kami—aku dan sosok bego ini-- duduk anteng mendengarkan dia ngomong.

"Apa itu, Mbah?” Mata temanku berbinar. Kalau ada yang tahu berkilaunya mata seseorang saat melihat tumpukan berlian. Nah, kurang lebih beginilah ekspresi seseorang yang berada di sampingku. “Sebut aja. Bahkan, kalau Mbah butuh tumbal, ini saya punya satu kawan udah nggak ada semangat hidup." Aku ditepuk-tepuknya.

Bangsul, memang! Enggak nyangka teman sendiri bakalan jadikan aku tumbal demi cinta yang enggak worth it untuk diperjuangkan.

Omong-omong, percakapan di atas terjadi antaraa seorang pria yang menggunakan ikatan di kepala, berkulit keriput, dengan sebatang rokok aroma menyan yang memberikan nasihat pada temanku. Seorang wanita bertubuh tinggi sekitar 160 cm, kulit kuning langsat. Cantik, tapi tukang halu. Bodohnya bukan main.

Ini saja aku nggak menyangka kalau bakalan diajak ke tempat begini. Bilangnya tadi mau menyelesaikan masalah, eh nggak tahunya datang ke tempat dukun.

Mending dukunnya kelihatan agak rapi dan bersih sedikit, dari tampilan luar saja sudah kelihatan urakan. Dia datang ke sini untuk menanyakan perihal cintanya yang ditolak. Bukan ditolak sih, lebih tepatnya mereka sudah menjalin hubungan tapi nggak berhasil hingga temanku ini ditinggalkan.

Yang paling menyakitkan dari semua peristiwa ini adalah dengan begitu gamblangnya dia bersedia menumbalkan aku. Sebagai teman,  kenapa bukan ibu kosnya atau adiknya sendiri yang dibilang menyebalkan itu?

Kenapa harus aku?

Walaupun hidupku ini suram dan kebanyakan cerita pahitnya, sejujurnya aku tetap ingin bertahan hidup karena punya semangat dari seorang laki-laki yang aku sukai.

Kunyuk satu ini malah mengajakku ke tempat musyrik. Kalau bukan mau menghargai karena dukun yang kami datangi sudah lumayan tua, sudah pasti aku bakal langsung tarik temanku pulang. Enggak boleh kita ada di sini.

Dari tadi semua omongan yang dia lontarkan enggak ada yang aku percaya. Takutnya amal ibadahku hilang selama 40 hari dan aku dicap sebagai pendosa besar.

Ini pantatku saja sudah enggak nyaman. Duduk dari tadi goyang kiri goyang kanan tanpa musik. Jadi hambar goyangannya.

Dukun melihat wajahku. Tangannya terjulur dengan telapak tangan terbuka. Dia menggeram kayak orang bahan berak.

"Hem, aura teman kamu ini gelap,” katanya sembari memejamkan mata dengan tangan terjulur. “Dia memang butuh pertolongan, nasibnya buruk juga kalau mau bertahan hidup, setiap hari dia sial terus, jodoh juga jauh."

Yak, Terus! Lanjutkan itu aib orang dibuka. Segala bilang auraku gelap! Mulutmu itu bau jigong!

Aku cuma bisa ngomel dalam hati.

Ujung jariku yang mungkin ketutupan taplak meja, mencolek paha Saras. Kawanku yang bego itu. Tapi, gara-gara dia sudah fokus banget untuk dengar omongan dukun, aku dicuekin.

"Hidup teman kamu ini memang jauh dari kata bahagia, tapi saya nggak butuh tumbal. Cukup kamu sediakan mahar."

"Mahar apa, Mbah?" Saras makin menggebu.

Mantra Cinta Untuk DilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang