End

185 9 0
                                    

BAB 6. Jika Dia Bukan Bos

🍒


Setelah urusanku dengan penjual buku dadakan tadi selesai, aku menyusun Dilan yang sudah asyik-asyikkan duduk di mobil dengan sabuk pengaman terpasang. Dia tuh memang enggak punya perasaan banget, ya! Tahu, aku ini bawahannya yang jelas-jelas seorang wanita ketinggalan jauh di belakang, nggak ada niat gitu untuk kembali. Minimal tengoklah aku lagi apa. Entah-entah aku ini digondol sama orang jahat. Beneran deh, kalau nggak ingat dia itu atasan, sudah pasti begitu duduk di mobil aku bakal marah-marah.

“Kamu ngapain sih, lama amat!” Tuh kan apa kataku. Boro-boro dia peduli anak buahnya ketinggalan di belakang. Masih untung tadi cuma ketemu penjual buku yang agak maksa bukan penjahat.

Untuk menjawab pertanyaan Dilan, aku menjelaskan secara singkat padat dan jelas kenapa baru di mobil. “Lagian Bapak juga sih, main nyelonong aja!” Tanpa sadar aku berani marah kayak gitu ke dia.

Dilan matanya kayak mau lompat keluar, aku langsung palingkan wajah fokus lurus ke depan. Kalau saat ini dimarahi terus diusir dari mobilnya alamat bangkrut aku naik ojek ke kantor.

Untuk beberapa menit tidak ada percakapan di antara kami. Biar perjalanan aman, aku pasang sabuk pengaman.

Selagi sibuk-sibuknya dengan urusan sendiri Dilan tiba-tiba memperhatikan sesuatu yang ada di pangkuanku. “Itu apa?”

“Novel, Pak,” kataku yang baru selesai mengklik sabuk pengaman. “Barusan beli sama orang yang kebetulan jual.”

Dilan memegang setir lalu alisnya berkerut. “Ditawarin kayak gitu langsung beli?”

“Murah, Pak. Cuma 50 ribu.”

Pria itu menggeleng mendengar jawabanku. “Kayaknya kamu tuh orang yang gampang dibodohin ya. Dibujuk segitu aja langsung bisa.”

Aku nggak tahu apa yang ada di pikiran Dilan. Kenapa segala hal yang aku lakukan di mata dia itu nggak ada yang benar?

Terserahlah dengan kata-katanya. Lama-lama kupingku juga sudah biasa kok, semakin terlatih.

Tapi, setelah beberapa menit tidak perjalanan, omongan Dilan barusan ternyata masuk juga ke otak. Aku jadi berpikir sendiri itu benar. Soal aku jadi gampang banget dibujuk. Padahal uang di dompetku juga nggak banyak-banyak amat. Cuma ada 300.000, itu pun untuk jatah selama 10 hari ke depan. Kebayang, nggak sih, hidup di kota dengan uang segitu cukup apa coba?

Kenapa aku sok baik ke orang?

Mungkin inilah alasan kenapa aku nggak berani protes atau marah-marah secara langsung ke Dilan ketika dia menyindir. Soalnya lama-lama apa yang diomongin itu benar juga.

Kembali ke kantor, sebelum turun dari mobil Dilan sempat melirik lagi pada buku yang aku beli barusan lalu kupingku menangkap secara jelas–walaupun dia hanya menggumam–dia bilang, “Norak,” begitu katanya.

Sakit banget hatiku mendengar kata-kata itu. Sampai sore pulang kerja pun masih terngiang-ngiang.

Jam 05.00 sore keluar dari kantor, aku langsung menuju tempat di mana tadi siang sudah janjian dengan Saras untuk makan seblak bersama. Kebetulan lokasinya tengah-tengah, enggak terlalu jauh dari kosanku atau kosan Saras. Ini tempat makan langganan kami.

Seblak versi lengkap dengan bumbu extra pedas, aku pesan ukuran jumbo.

“Gila! Makan kamu banyak banget!” Saras kaget melihat ukuran makanan yang aku pesan.

“Diam, deh!” Aku melipat tangan dengan wajah bersungut-sungut. “Ini tuh karena aku lagi emosi kesal dengan atasanku.”

Saras langsung bisa menebak. “Dilan itu?”

Aku menggumam. Siapa lagi kalau bukan dia. Di sore itu, orang-orang di mana-mana kalau mau makan berdoa dulu biar berkah, aku malah habis-habisan menggunjing atasanku. Mulai dari kelakuannya yang ane, nggak menyenangkan, juga sikap dia yang sok cool.

Kalau bukan karena Galen ada di kantor itu, sudah pasti aku akan mengundurkan diri cari pekerjaan lain. Aku pintar, juga punya beberapa keterampilan yang dibutuhkan perusahaan. Yakin deh, masih ada tempat lain yang mau menerima aku kerja. Tapi, ‘kan, cintaku ada di dalam kantor itu. Apalagi Galen juga masih single. Ada harapan buatku untuk cari perhatian.

Seblak datang, Saras menyuruhku untuk makan dulu, berhenti mengoceh karena nanti kalau tersedak cabai tenggorokan bisa panas.

Satu dua suap aku masih bisa fokus makan. Tapi, terbayang lagi dengan tingkah Dilan akhirnya kembali ngomel. Banyak banget yang aku ceritakan sampai Saras cuma pasang kuping nggak ada respon apa-apa.

“Coba ya, kamu bayangin kalau jadi aku. Setiap hari harus ketemu orang kayak gitu. apa nggak mati berdiri coba?”

Saras langsung menggebrak meja. “Jangan mati berdiri dong. Kalau matinya kamu kayak gitu nanti repot orang-orang mau makaminnya.”

Aku tahu kok, saras cuma bercanda. Ya sebodohnya dia nggak mungkin punya IQ nol, sampai nggak tahu kalau ‘mati berdiri’ itu cuma istilah.

“Kamu tuh, nggak bisa ngerti gimana perasaanku sih, Ras,” keluhku sembari mengaduk-aduk kuah seblak.

Dia tertawa. “Ya udah sih, daripada ngomel terus.” Dia tusukan bakso lalu di jalan ke mulutku. Pada mulanya, aku mau melotot karena kelakuannya itu bisa bikin aku mati gara-gara tersedak bakso. “Mending makan. ‘Kan enak tuh bakso ayam kesukaanmu.”

Tadinya mau marah, tapi karena gigiku secara otomatis nunggunya bakso tadi ujung-ujungnya malah lanjut makan, enggak bisa marah.

“kamu nggak coba cari tahu dulu sebab musababnya atasan kamu itu selalu kesal ke kamu?” Beberapa menit kemudian obrolan kami lanjut, tapi kali ini dengan suasana yang lebih tenang emosiku sudah nggak terlalu menggebu-gebu seperti tadi

“Aku nggak tahu. Soalnya waktu awal direkrut ketemunya dengan Pak Galen, dia yang langsung terima. Aku ketemu Dilan setelah aku tanda tangan kontrak dan ‘dipasung’ di kantor itu baru deh jadi kejebak terus dengan dia.” Kalau ingat ke situ kadang-kadang aku merasa masuk ke perusahaan Dilan bagaikan kena jebakan Batman. Belum lagi masalah kontrak kerja minimal setahun.”Tapi, ‘kan,” sambungku lagi untuk membela diri, “apa yang aku kerjain selama ini sebenarnya nggak ada yang salah. Semua sudah benar cuma dianya aja yang keterlaluan. Hobi cari-cari kesalahan orang.”

“Sabar.” Cuma itu yang bisa Saras katakan. Dia memang pintar kalau menasihati orang dan aku juga tipe yang tidak pilih-pilih untuk menerima nasihat. Sekalipun tahu kalau kejadian ini menimpa Saras sudah pasti dia akan menangis-nangis minta aku bantu, tetap aku bisa terima apa nasihatnya.

Aku diam. Karena memang enggak ada yang bisa kulakukan selain sabar menghadapi Dilan.

Saras punya pertanyaa. “Kalau dia marah-marah terus, ada kemungkinan nggak sih dia itu sebenarnya lagi cari perhatian alias naksir kamu?”

Padahal posisinya aku lagi baik-baik saja makan, tiba-tiba tersedak dengan omongan Saras.

Dilan naksir aku?

Nope!

🍒

Mantra Cinta Untuk DilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang