4. Bedanya Dilan dengan Galen

106 8 0
                                    

Aku baru merencanakan hal yang manis untuk persiapan pertemuan dengan Galen, eh ... sudah ada WhatsApp dari Dilan.

'Sudah kamu kerjakan atau belum? Kalau sudah bawa ke ruangan saya!'

Setan Buntut Ijo! Aku yang baca pesan itu langsung bawa tablet bergegas pergi ke ruangan Galen. Gawat kalau Dilan keburu ngotot minta aku untuk langsung serahkan ini ke dia, aku bisa dibabat habis lagi tanpa bisa gunakan kesempatan ini untuk bisa bicara
dengan Galen.

Aku melangkah cepat. Bahkan setengah berlari waktu menuju ruangan Galen. Tiba di depan pintunya, napasku malah jadi satu dua begini.

Kipas kipas dulu ini muka biar enggak berkeringat. Sebentar aku cek aroma ketiak, takutnya bau. Endus sedalam mungkin, pastikan bau atau nggak. Kiri dan kanan semua diperiksa.

"Nara?"

Aku menoleh secepat kilat untuk memastikan siapa yang memanggil. Dengan posisi, tangan masih terangkat mirip burung yang mau mengelak, tampaklah sosok bertubuh tinggi, alis tebal, dan bibirnya yang kissable itu.

Galen!

Aku langsung berubah ke posisi wajar. Nara ... Nara, sudah tampang enggak seberapa kelakuan kamu juga minus!

"Oh, Pak."

"Sudah lama kamu tunggu saya?" tanya Galen.

"Nggak kok, Pak."  Aku menyeringai. Harusnya jangan karena ini bikin tampangku jadi jelek.

Satu hal yang aku tahu dari Galen adalah dia sama sekali nggak pernah punya sikap mau mempermalukan karyawannya, siapa pun itu dan apa pun tingkah yang dia lakukan. Beda banget dengan Dilan yang hobi merundung setiap kali aku punya kesalahan kecil.

Coba bayangkan, kasus yang tadi kalau itu Dilan yang lihat. Aku yakin, dia bakal marah besar dan menganggap aku sebagai perempuan paling jorok nomor satu di dunia. Habis itu aku bakal diceramahi sampai pengang.

Galen tersenyum. "Sudah siap dengan konsep kerja kamu?"

"Sudah, Pak." Aku mengangguk sembari menunggu Galen membuka pintu. Setelah pintu dibuka, dia melangkah masuk, aku pun diajaknya.

Berhubung waktunya sudah semakin sempit karena kepikiran takut Dilan tiba-tiba memaksa supaya aku langsung ke ruangannya, setelah menempelkan bokong di kursi, langsung aku tunjukkan bagaimana hasil kerjaku beberapa jam yang lalu.

"Kalau boleh, saya minta pendapat Bapak."

Galen memperhatikan tablet milikku, tampak berpikir sejenak sebelum memberi jawaban.

Beberapa saat menunggu, dia memuji. "Ini bagus kok,  sudah cocok. Nggak ada masalah."

"Serius, Pak?" Mataku berbinar-binar. Selain karena pujian yang baru diberikan, aku juga senang karena hasil kerja dihargai. Tahu dong, selain masalah gaji siapa pun orangnya pasti akan merasa bahagia kalau pekerjaan mereka tidak dijatuhkan.

Tapi, saat aku ingat dengan Dilan, kebahagiaan itu seperti hancur begitu saja. Membuatku ujungnya jadi insecure.

"Bapak enggak ada masukan yang lain? Soalnya saya yakin kalau ini kalau Pak Dilan yang lihat, nggak bisa langsung lolos segampang itu."

Kebetulan Galen dengan Dilan ini sebenarnya masih bersepupuan. Mereka juga lumayan akrab. Makanya aku nggak berani menceritakan hal aneh-aneh. Takutnya nanti disampaikan ke orangnya. Bahaya. Aku bisa dipecat, cari kerja susah dan yang paling nggak ingin aku lewati adalah menghabiskan waktu bersama Galen. Meskipun enggak tahu nanti ujungnya bakalan berjodoh atau enggak.

"Kalau Dilan sering protes, kamu nggak perlu ambil hati. Dia memang orangnya suka begitu." Galen menarik sudut bibirnya. "Kalau dari saya ini sih, sudah sangat bagus. Kamu kalau yakin ini bisa, harus pertahankan. Nggak peduli dia bos, manusia bisa aja salah."

"Baik, Pak."

Galen menyimpulkan senyum. "Kamu ingatkan lagi Dilan, kalau keputusan marketing ini ada di tanganku. Dia cuma control."

"Baik, Pak." Asli ini semangat dalam diri rasanya sudah membumbung tinggi. Nanti kalau Dilan itu masih banyak omong, masih ngoceh macam-macam, aku bakal sembur dia.

Mungkin aku bisa gebrak meja. Menunjuk-nunjuk wajahnya, terus bilang kalau dia enggak bisa seenaknya. Jangan mentang-mentang bos, bisa menindas karyawan semaunya. Dia harus contoh Galen yang baik dan sangat dermawan ini.

Semua sketsa itu sangat rapi di kepalaku. Sampai aku juga bisa membayangkan bagaimana kondisi Dilan nanti. Dia pasti bakal pucat wajahnya, lalu minta maaf.

Ponselku berdengung. Ampun, deh. Ini Dilan. Buat apa dia sampai harus telepon segala. Kenyataannya, segala rencana yang tadi bubar seketika setelah aku mendengar hardikan Dilan.

"Dua jam saya kasih kamu waktu untuk revisi, dan beneran kamu pakai dua jam itu untuk menyelesaikan!" Bos mah enak tinggal marah.

"Ini saya sudah selesai, Pak." Aku berusaha untuk tenang.

Dilan yang nggak punya perasaan semakin membebani hidupku. "Satu menit sudah harus saya terima datanya."

"Sabar, Pak." Aku sudah mirip cacing kepanasan gara-gara sambungan telepon dengan Dilan yang baru saat ini.

"Nggak ada sabar.” Dilan sudah kayak tukang jagal yang mau membunuhku. “Mau saya yang ke ruangan kamu atau kamu yang ke ruangan saya sekarang!"

Fix! Aku harus buru-buru ke ruangan dia sebelum jadi dendeng Karena diomelin Kenapa kalian aku permisi

"Pak Galen makasih, ya untuk saran dan masukannya Bapak kasih tadi." Aku buru-buru membereskan mengambil tablet yang ada di meja Galen.

Menundukkan kepala. lanjut buru-buru ke ruangan Dilan sialan. Gara-gara dia nih, aku jadi kelihatan kayak orang linglung. Bahkan, hampir menabrak pintu saking takutnya dia menyusul ke meja kerja.

Datang ke ruangannya dengan napas tersengal-sengal, lupa dengan adab dan sopan santun untuk masuk ke ruang atasan. Aku langsung duduk di depan dia, menyerahkan hasil kerja.

Eh si Sompret sialan satu itu malah menyuruhku untuk keluar lagi, mengulang cara masuk karena dianggapnya tidak sesuai dengan protokol yang ada.

Benar ya, kalau bukan bos, aku maki-maki habis-habisan!

Hal buruk kalau ini adalah skenario aku rancang sebelumnya, di mana aku bisa marah pada dia menunjukkan ketegasan bahwa desain promo ini sudah bagus ternyata enggak bisa diwujudkan di depan Dilan.

Aku malah jadi orang yang banyak diam, cuma bisa memili jari ketika dia memperhatikan asing di selingkuh dengan saksama.

Setelah berada dalam ruangan yang cukup menegangkan itu, akhirnya Dilan berkata, "Yang ini, saya terima. Silakan kamu posting."

Ya ampun, lega banget bisa dapat kata-kata itu dari dia. Hampir aku mau siap-siap buat surat pengunduran diri karena merasa sangat ditindas.

Baru juga merasa senang sedikit, eh Dilan lontarkan kata-kata yang menyakitkan hati. "Skill marketing kamu nggak berkembang, ya?" ejeknya. "Sebenarnya kamu selama 3 bulan di sini saya angkat jadi karyawan magang banyak belajar nggak, sih, dari senior?"

"Belajar kok, Pak." Aku membela diri. "Tapi, 'kan, nggak mungkin juga setiap saat saya harus tanya ke Mbak Titi atau senior yang lain. Setelah mempelajari konsep gimana, biasanya saya improve dengan kemampuan sendiri."

"Masalahnya, kemampuan kamu masih standar. Kurang dari yang saya harapkan."

Itu sih, harapan kamu yang ketinggian!

Seandainya aku bisa bilang begitu. Tapi, sebagai karyawan malah menjawab, "Baik, Pak. Saya akan belajar lagi untuk bisa lebih baik."

Dilan mendesah berat" Siang ini, di jam makan siang kamu ikut dengan saya."

"Ikut Bapak? Ikut ke mana?"

Jangan bilang mau dijagal!

"Saya bakal ada pertemuan dengan marketer yang profesional. Nanti kamu bisa diskusi.

"Siang ini, Pak?" tanyaku lagi.

"Iya, siang ini."

"Sebelum makan siang?' Aku masih banyak omong.

"Astaga, kamu ini ya!" Dilan sudah mau keluar bola matanya. "Jangan khawatir. Nanti kita bakal makan siang sekalian!"

Demi langit dan bumi kenapa aku harus makan siang dengan orang ini!





























Mantra Cinta Untuk DilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang