Angin menerpa rambut sepasang kekasih yang tengah menghabiskan waktu bersama, menaiki sepeda dan menuju taman yang pernah mereka datangi. Sesekali mereka melempar candaan, mengundang tawa di antara mereka.
"Seokmin, lihat deh!" panggil Jisoo. Dia berada sedikit di belakang dari Seokmin. Dipanggil oleh Jisoo membuat Seokmin mau tak mau memelankan laju sepedanya dan menoleh ke belakang.
Seketika alis Seokmin tertekuk, tak setuju akan hal yang dilakukan Jisoo saat ini. Pasalnya Jisoo mengayuh sepedanya tanpa memegang hand grip dari sepeda itu sendiri. Sementara Jisoo tersenyum lebar, bangga akan hal yang dibuat.
"Jangan gitu, Soo," tegur Seokmin. Dia sengaja memberhentikan sepedanya untuk memperhatikan Jisoo dengan cermat. Entah model keseimbangan apa yang Jisoo pakai sehingga sepedanya tak kunjung oleng.
"Aku bisa kayak tadi, loh! Kamu bisa nggak?" tanya Jisoo, berhenti tepat di samping Seokmin setelah berhasil menyusul pemuda itu. Senyumnya masih tercetak jelas, masih bangga dan memamerkan hal itu layaknya sebuah piala.
Seokmin menghela nafas, "Kita ini di jalan besar, Jisoo. Nanti kalau kamu gimana-gimana, aku jadi merasa bersalah. Hansol percayain aku, Papa kamu juga secara nggak langsung percayain aku untuk jaga kamu. Masa aku hancurin kepercayaan mereka? Kamu keren, bisa ngayuh sepeda tanpa megang hand grip, tapi lain kali bisa, ya, kamu pamerin kalau kita di jalan yang lebih kecil?"
Senyum Jisoo perlahan luntur. Betapa kekanakan dirinya tanpa memikirkan konsekuensi yang bisa terjadi. Seokmin benar. Bisa saja dirinya hilang keseimbangan dan terjatuh, bisa saja sepedanya oleng dan diserempet kendaraan lain.
"Aku nggak marahin, aku bilang begini karena aku peduli, karena aku sayang sama kamu, Soo. Aku khawatir kalau terjadi apa-apa sama kamu. Paham, kan, sayang?" sambung Seokmin karena merasa tak ada tanggapan dari Jisoo. Kepala Jisoo mengangguk pelan, sadar akan kesalahannya.
"Aku nggak ngambek, cuma merasa bersalah. Maaf, ya, aku kekanakan," ucap Jisoo. Terkadang, sisi kekanakannya muncul saat berada di samping Seokmin.
Tangan besar Seokmin mendarat di atas kepala Jisoo, mengusap rambut Jisoo yang halus. "Iya, nggak papa. Lain kali jangan diulang, ya?" balas Seokmin. Suaranya mengayun halus, nadanya pun selembut sutra.
Jisoo selalu beruntung memiliki Seokmin. Pemuda itu selalu mengingatkan Jisoo dengan suara lembut. Tak pernah sekalipun Seokmin menaikkan satu oktaf nada suaranya saat menegur Jisoo.
"Sekarang, ayo lanjut ke taman!" ajak Seokmin, mengubah situasi dalam beberapa detik. Kepala Jisoo mendongak, mengangguk setuju dengan penuh antusias.
"Ayooo!"
***
Setelah memberhentikan sepedanya, Jisoo dudukkan dirinya di atas bangku taman. Taman ini dekat dengan pasar bunga, lebih tepatnya di sebelah kanan dari pasar bunga. Di belakang pasar bunga, terdapat Sekolah Menengah Atas yang Jisoo tempuh.
Jisoo jadi sedikit rindu saat-saat dimana kelasnya heboh karena jam kosong, kelasnya sunyi karena dimarah guru, atau saat kelasnya menjadi sepi karena mayoritas warga kelasnya kabur menghindari mata pelajaran tertentu.
Kini dia sudah Ujian Sekolah, tinggal menunggu Surat Keterangan Lulus keluar. Mereka setidaknya sempat membersihkan kelas bersama, walau memang banyak mainnya. Mereka tinggalkan kelas dalam keadaan rapi sama seperti saat mereka pertama kali menginjakkan kaki di kelas akhir, walau terlalu banyak kenangan yang sulit dilupakan.
"Ini, Soo." Suara Seokmin membuat dirinya kembali ke dunia nyata. Jisoo menghadap ke Seokmin yang memberikannya satu kantong berisi pesanannya.
Jisoo terima, memberikan senyum kecil. "Makasih, Seokmin," ucap Jisoo. Dirogohnya isi dari kantong plastik, kemudian menyadari sesuatu.
"Kan aku bilang pakai uangku, kok ini uangnya dikembaliin?" tanya Jisoo sedikit mencebik. Uangnya utuh, tak dipakai sama sekali. Seokmin berarti membayar semuanya menggunakan uangnya.
"Nggak papa. Aku kemarin gajian, Soo," jawab Seokmin terkesan tak peduli. Dibukanya segel botol air isotonik dan diteguk sebagai pengganti cairan keringatnya yang keluar selama mengayuh sepeda.
Jisoo mendengus, dia memasukkan kembali uangnya ke dalam kantong plastik yang diberikan Seokmin. Tapi nanti sekembalinya mereka ke depan gerbang, Jisoo akan memasukkan tiga lembar uang berwarna merah ke dalam kantong plastik Seokmin. Jisoo tahu bahwa Seokmin pasti akan membawa kembali kantong plastik itu karena berisi beberapa makanan berat yang kemungkinan besar untuk si kakak dan nenek.
"Kamu tadi ngeliatin SMA kita, kenapa? Kangen, kah?" tanya Seokmin setelah menenggak air isotoniknya hingga tersisa setengah. Seokmin alihkan pandangannya ke Jisoo sehabis dirinya menutup botol minumnya.
Ditanya seperti itu langsung membuat Jisoo kembali mencebik, kemudian mengangguk. "Aku sedih... Aku kepikiran dari tadi... Aku kangen Mingyu, Minghao, Wonwoo, Jihoon..." cerita Jisoo. Tangannya bergerak gelisah diatas tangannya yang lain.
"Kangen banget?"
"Huum. Kangen bangeeeettt."
"Kita ajak kumpul, yuk? Siapa tau banyak dari mereka yang bebas, kan kita lagi masa libur," saran Seokmin. "Aku yang nanti chat, oke?" Jisoo mengangguk setuju, walau agak tidak yakin semua temannya bisa diajak berkumpul kembali.
Mereka sunyi, menikmati hawa dingin karena hujan akan turun. Beruntung Jisoo memakai hoodie kuning pemberian Seokmin.
"Kamu nggak kedinginan?" tanya Jisoo, mengeratkan pelukan pada lengannya sendiri. Jisoo mengernyit keheranan karena Seokmin tidak merasa kedinginan padahal dia hanya memakai kemeja abu-abu dengan celana jeans.
"Nggak. Aku tahan dingin, kok. Kalau kamu?" tanya Seokmin balik kepada Jisoo.
"Aku nggak kok, soalnya hoodie-nya dari kamu. Anggap aja kamu lagi meluk aku," ucap Jisoo kemudian terkekeh, merasa lucu dengan gombalan yang terlontar dari mulutnya sendiri.
"Oh, rusa sekarang udah bisa ngegombal, ya?" Seokmin mencubit gemas ujung hidung Jisoo, membuat tawa mereka menguar di udara.
Seokmin menghidupkan ponselnya untuk melihat waktu. Pukul 16.41. Sudah cukup sore, apalagi kembali ke komplek Jisoo memakan waktu hingga 30 menit dengan kecepatan normal.
"Pulang, yuk, Soo? Udah sore. Jangan lupa chat Vernon," ajak Seokmin, memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana dan berdiri. Jisoo ikut berdiri dan diam-diam memasukkan tiga lembar uang berwarna merah ke dalam kantong plastik Seokmin.
"Eh, bentar, kamu mau nandain pohon ini nggak?" tanya Jisoo, menunjuk pohon yang menjadi sandaran bangku taman. "Tanda kalau kita pernah kesini, dulu kan sempat mau nandain tapi kelupaan," tambah Jisoo.
Seokmin berpikir sejenak sebelum mengangguk, menyerahkan kunci gembok sepedanya. Jisoo ambil, kemudian menumpukan lututnya di bangku taman. "Seokmin, inisialmu apa?"
"SM, Soo," jawab Seokmin. Jisoo ukir huruf S dan M kapital sedikit dalam, kemudian di bawahnya diberi tanda tambah, dilanjut dengan ukiran inisial namanya, JS.
Jisoo bertepuk tangan, bangga. Pohon ini merupakan pohon yang jarang dirawat, jadi mungkin tidak ada orang yang menyadari ukiran nama mereka.
"Udah!" Jisoo berdiri, mengembalikan kunci gembok milik Seokmin. Seokmin perhatikan baik-baik ukiran yang ada di pohon itu.
"Itu agak dalam, loh, Soo," ucap Seokmin, menunjuk ukiran Jisoo yang memang sedikit dalam. Seokmin sedikit khawatir ukiran itu tidak akan hilang. Berbeda dari Jisoo yang memang sengaja mendalamkan ukirannya.
"Biar nggak cepet hilang, Seokmin. Aku udah chat Hansol, sekarang ayo pulang!" seru Jisoo. Ia berharap ukiran itu tak lekang oleh waktu, agar menandakan cinta mereka yang tak habis oleh masa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Lost Memories | SeokSoo
Fanfiction[Seventeen BxB Fiction] Lee Seokmin x Hong Jisoo *** Kembali ke masa lalu, Jisoo dibuat dilema oleh dua pilihan, menyelamatkan cinta pertamanya atau tetap hidup sebagai Jisoo yang dikenal. © 2022, __shenav.