11. Percakapan dengan Orang Baru

177 15 4
                                    

Semua orang cinta tidur. Tidur adalah obat dari segalanya. Lelah, sedih, badmood bisa diatasi dengan tidur. Saat terbangun, orang-orang akan merasa senang karena bisa melupakan masalah sejenak. Tentu, pengecualian untuk orang-orang yang kurang tidur atau dibangunkan secara paksa.

Sayangnya, Jisoo merasakan hal itu. Dia dibangunkan paksa, padahal rasanya baru beberapa menit dia terlelap setelah membantu sang Mama memasak banyak makanan.

Jina tak pernah alang-alang saat memasak, semua bahan makanan bisa ludes karena dihabiskan untuk membuat makanan. Waktu yang terkorbankan dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore. Wajar saja Jisoo hampir pingsan.

"Soo, bangun," kata Seungkwan. Digoyangkannya badan Jisoo dengan brutal agar Jisoo terbangun. Sebenarnya Jisoo bukan merupakan orang yang tidur sangat lelap. Jadi, cukup bangunkan ia dengan suara yang cukup keras atau menggoyangkan badannya, dia akan terbangun.

Jisoo ingin menyahut dan membuka mata, namun nyawanya terasa baru terkumpul setengah. Selagi masih mengumpulkan nyawa, dia diam. Saat nyawanya berhasil terkumpul, dia membuka mata.

"Ada apa, Seungkwan?" tanya Jisoo dengan suara serak khas orang baru bangun. Pada dasarnya Jisoo susah marah, berakhir lah dia hanya bertanya tanpa menambahkan nada kesal.

"Maaf, Soo, tapi Papa-mu nyuruh kamu bangun," jawab Seungkwan. Di wajahnya tercetak kepanikan. "Aku panik takut dia marah, kamu tau sendiri dia kalau marah gimana," sambung Seungkwan.

Jisoo mengernyit kebingungan, "Memangnya ada apa? Aku capek..."

"Ih, cepet, Soo! Setor muka dulu aja, deh, sama Papa-mu. Habis itu naik lagi buat mandi." Seungkwan singkap selimut Jisoo, menarik tangannya agar bangkit dari tempat tidur. Jisoo tak bisa berbuat apapun selain mengikuti Seungkwan.

"Turun sana," suruh Seungkwan, mendorong bahu Jisoo. Matanya terasa gatal, jadi selagi menuruni tangga, Jisoo kucek matanya demi menghilangkan rasa gatal. Tangannya bergerak di sepanjang pegangan tangan agar tak kehilangan keseimbangan.

Setelah merasa pegangan tangga berakhir, Jisoo merasa Papa-nya ada di ruang tamu sehingga langsung saja dia buka suara. "Ada apa, Pa? Aku baru tidur beberapa menit," keluh Jisoo.

"Astaga, Joshua! Kamu ini ketemu sama Seungcheol, tapi baju kamu nggak sopan!" Mendengar teguran Jihoon membuat Jisoo langsung melepas tangannya dari matanya. Matanya terbuka, berusaha memfokuskan dua figur di depannya.

Benar saja, ada Seungcheol disitu. Jisoo termangu, pakaiannya tidak formal sama sekali. Kaos putih bertuliskan 'Good Morning, Day' serta celana training selutut bekas tadi dia membantu Jina memasak disandingkan dengan kemeja ditambah dasi yang melilit, tak lupa dengan celana kain berwarna hitam. Bak langit dan bumi, tentu saja Jisoo kalah telak.

"Gak papa, kok, Om. Kayaknya Shua kecapekan, kan makan malamnya masih lama. Shua, kalau kamu masih mau tidur, tidur aja," bela Seungcheol, tersenyum seperti biasa. Senyum yang menampakkan lesung pipinya.

Takut menambah kemarahan Jihoon, Jisoo menggeleng dengan kuat. "Nggak, Shua udah nggak ngantuk," elak Jisoo. Matanya mendadak segar, entah hilang kemana rasa mengantuk tadi.

"Ya udah, tapi ganti baju dulu sana," suruh Jihoon, menaikkan dagunya ke atas sebagai pengganti jari telunjuk. Hampir saja Jisoo naik, jika saja Seungcheol tidak menyela.

"Nggak papa, Om, Shua pakai gitu aja. Saya takut dia merasa nggak nyaman," ucap Seungcheol dengan penuh kesopanan. "Lagipula, dia tinggal disini. Saya yang memang harus menyesuaikan diri."

Jihoon menoleh, "Kamu yakin, Seungcheol?" Dibalas anggukan membuat Jihoon menyerah. Mendapat balasan yang dimau, Seungcheol pun berdiri dan mendekati Jisoo.

"Kita ngobrolnya dimana?" Paham ini adalah titah Jihoon, Jisoo membawa kakinya menjauh dari ruang tamu. Dilewatinya ruang keluarga serta dapur, menuju taman kecil yang dikembangkan Jina.

"Kita ngobrol disini nggak papa?" tanya Jisoo memastikan bahwa orang disampingnya tak keberatan. Mendapatkan reaksi bahwa Seungcheol tidak apa-apa, Jisoo daratkan tubuhnya di atas bangku taman. "Duduk disini, Kak."

Jam 4 sore selalu terasa damai. Setiap pulang sekolah, Jisoo sempatkan diri untuk berdiam diri, menikmati matahari terbenam setelah lelah melakukan evaluasi seharian. Namun, kali ini berbeda. Baru kali ini dia merasa canggung karena kehadiran sosok baru.

"Shua, kamu punya pacar, ya?" Pertanyaan Seungcheol membuat Jisoo terkejut, kepalanya tertoleh dengan cepat. Melihat reaksi Jisoo, Seungcheol tersenyum kecil. "Maaf, tapi Papa kamu cerita. Papa kamu bilang, kamu udah putus di bulan ini, tapi menurut saya, aslinya kamu belum putus, kan?"

Jisoo terdiam. Mulutnya terkatup, sama seperti saluran pernapasannya yang mendadak susah meraih oksigen. Dalam benaknya, Jisoo heran kenapa Seungcheol bisa menebak dengan benar.

Gelisah, gugup, takut. Jisoo menunduk dan mengatupkan kedua tangannya demi melampiaskan rasa gelisah. Dia takut, Seungcheol akan melaporkannya pada Jihoon. Dia takut, Seokmin akan disuruh datang kembali dan dibuat hancur mentalnya. Dia takut, dia dan Seokmin tak bisa bersama lagi. Dia takut, tak akan memiliki waktu sebelum tanggal 23 Juni.

"Nggak papa, saya nggak akan bocorin. Ini menurut saya aja."

Mendengar itu, Jisoo hela sedikit nafasnya yang tersendat. Jisoo mulai berbicara setelah mengingatkan dirinya kalau Seungcheol termasuk ke dalam orang yang tidak menentang hubungannya di masa depan. "Aku memang masih pacaran sama pacarku. Namanya Lee Seokmin. Dia baik, dewasa, dan lembut. Dia cuma kesusahan ekonomi, tapi Papa sama Mama nentang Seokmin."

"Dia cinta pertama aku, aku nggak bisa lepas dari dia gitu aja. Jadi, aku abaikan nasihat mereka." Setelah bercerita, nafasnya kembali menjadi normal. Jisoo berhasil meyakini dirinya sendiri. "Gimana reaksi Kakak? Aku tau kalau kita bakal dinikahkan."

Dapat Jisoo lihat bahwa Seungcheol sedikit terkejut, namun bisa disembunyikan dengan baik. "Saya biasa aja. Saya nggak bakal nikahin kamu sampai kamu bisa selesai dari Lee Seokmin. Saya kejam kalau merebut cinta pertama seseorang. Saya tunggu, walau sampai maut menjemput," jawab Seungcheol, memberikan senyum termanis yang dia bisa.

Suasana mulai mencair. Jisoo merasakan bahwa Seungcheol memang seseorang yang dewasa serta lembut, sehingga Jisoo penasaran dengan reaksi Seungcheol saat ditanya sebuah pertanyaan.

"Kak, gimana kalau Kakak kembali ke masa lalu dan diberi kesempatan buat menyelamatkan satu orang yang udah meninggal di masa depan dalam waktu 30 hari? Apa yang akan Kakak lakukan?"

Seungcheol berdeham selagi berpikir, sebelum kemudian menjawab, "Saya nggak bakal nyelamatin dia. Saya nggak bakal merebut dia dari takdir. Kalau saya senang mengenal dia, saya rela walau dua kali ngelihat dia dikuburkan."

Jawaban yang tidak jauh dari perkiraan Jisoo. Alasan yang Seungcheol berikan sangatlah masuk akal. Jika dia menyelamatkan Seokmin, dia akan mengubah takdir. Namun, apalah dayanya yang terlalu mencintai Seokmin?

"Saya nggak sejahat itu untuk merebut dia dari takdir. 30 hari itu cukup untuk melepas rindu. Di masa depan maupun masa lalu, saya senang mengenal dia. Dia tetap dia."

Apakah Jisoo jahat jika merebut Seokmin dari takdir? Jika Jisoo sanggup merenggut Seokmin, apakah Seokmin tetap menjadi Seokmin yang dia kenal? Yang terpenting, apakah orang tuanya akan tetap menerima hubungannya?

Banyak pertanyaan yang berputar di kepala Jisoo, menghantuinya. Namun, ada satu fakta yang akan benar-benar terjadi jika dia menyelamatkan Seokmin, yaitu masa depannya yang akan berubah total.

Kini Jisoo dibuat bimbang, haruskah dia menyelamatkan Seokmin atau tidak?

[✓] Lost Memories | SeokSooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang