5. Rencana

182 22 2
                                    

Pagi ini begitu cerah. Sinar matahari masuk melalui semua lubang yang dapat dijangkau, termasuk jendela kamar Jisoo. Jendela yang dihalangi tirai itu tidak bisa menahan sinar matahari jam 6 pagi. Walau begitu, si pemilik kamar tidak merasa terganggu.

Jisoo sudah bangun sejak jam 5 pagi karena dia kemarin tidur terlalu awal. Akhirnya Jisoo memilih untuk memainkan MacBook-nya, lagipula jika ia memilih untuk kembali tidur, ia akan terbangun telat.

Telinganya sudah terpasang headphone yang memutar lagu-lagu manis. Kepalanya ikut bergerak sesuai ketukan musik. Jarinya sibuk bermain di atas mousepad. Jisoo sibuk dengan dunianya sendiri.

Suara dari lagu yang sedang ia putar mendadak memudar beberapa detik. Jisoo tahu, ada notifikasi yang masuk. Diliriknya ujung MacBook-nya setelah mendengar beberapa notifikasi yang melenyapkan lagunya sebentar.

Ternyata itu pesan dari Seokmin. Senyum Jisoo merekah karena di pagi hari ini, Seokmin menyempatkan diri untuk mengirimkan pesan selamat pagi.

Seokmin ♡
Selamat pagi cantik 06.18
Selamat beraktivitas~ 06.18

Hong Jisoo
selamat pagi juga seokminnnn 06.19
kamu ada acara??? 06.19

Seokmin ♡
Aku nggak ada acara, cuma harus kerja 06.21
Shift pagi 06.21
Memangnya kenapa Soo? 06.22

Hong Jisoo
aku pengen sih ngajak kamu keluar gitu 06.22
cuma kamu sibuk, gajadi deh~ 06.23

Seokmin ♡
Coba kasih tau aku, kamu mau ke mana 06.24
Sesibuk apapun aku, aku tetap bakal coba ngasih waktu buat kamu Soo 06.25

Hong Jisoo
aku pengen ke taman 06.26
naik sepeda tapi 06.26
paham kannn 06.26
kita naik sepeda ke taman 06.27
aku pake sepedaku kok 06.27

Seokmin ♡
Boleh tuh, aku bisa kalau nanti sore 06.28
Taman deket sekolah? 06.28

Hong Jisoo
iyaaaaa 06.29
yg dulu pernah kita datenginnn 06.29
habis uas kita kesitu, pas pulang kamu cerita kakakmu ngomel krn nggak dikabarin 06.30

Seokmin ♡
Ohh yang itu 06.30
Hahaha sejak saat itu aku nggak berani nggak ngabarin kakakku lagi 06.31
Tapi 06.31
Kamu ada ide buat keluar rumah? 06.32

Membaca pesan terakhir dari Seokmin, Jisoo menjadi terdiam. Orang tuanya tak memiliki jadwal perjalanan bisnis dalam rentang tiga sampai empat hari ini. Dia tahu saat makan malam kemarin.

Mereka biasanya menghabiskan tiga sampai empat hari dalam seminggu untuk melakukan perjalanan bisnis. Entah kenapa minggu ini mereka hanya berpergian selama dua hari.

Suara ketukan terdengar, membuat Jisoo menyahut, "Masuk ajaa." Saat pintu terbuka, Jisoo dapat melihat Seungkwan yang membawa dua buah keranjang. Ah, Seungkwan akan mengambil pakaian kotornya. Jisoo sempatkan diri untuk mengetik beberapa pesan terakhir.

Hong Jisoo
nanti aku pikirin 06.37
fix ya nanti sore 06.37
see you seokminn 06.38
i love youuuu 06.39

Jisoo lepaskan headphone dan kesampingkan MacBook yang sedari tadi bertengger di atas pahanya yang beralas selimut, dengan segera ia bangkit dan menuju kamar mandi. Seungkwan pun mengekor ke dalam kamar mandi.

Seungkwan menyambut tangan Jisoo yang meminta keranjang. Jisoo pisahkan pakaian putihnya dengan pakaian berwarna agar tak luntur di dua keranjang berbeda. Jisoo yang tahu pakaiannya, jadi Jisoo juga yang memisahkannya.

"Oh, iya, Seungkwan kamu ada ngelipet hoodie kuningku nggak?" Jisoo bertanya dengan kepala tertunduk karena sibuk memisahkan baju-bajunya.

"Ada. Kemarin aku simpan di bagian lemari paling atas," jawab Seungkwan. Tidak kebingungan sampai dia sadar kalau Jisoo hanya akan memakai hoodie pemberian Seokmin saat dia akan pergi berkencan dengan si pemberi hoodie.

"Kenapa memangnya? Mau keluar sama Seokmin?" Dalam samar, Seungkwan bisa melihat kepala Jisoo bergerak, mengangguk atas pertanyaan Seungkwan.

"Aku pengen keluar sama Seokmin, naik sepeda biar nggak perlu keluar biaya. Paling cuma keluar duit buat beli sesuatu dari minimarket," jawab Jisoo. Dia berdiri, menyerahkan satu keranjang pada Seungkwan dengan artian dia yang akan memegang satu lagi keranjangnya.

Mereka keluar dari kamar mandi, berjalan bersama menuju ke ruang cuci yang berada di lantai bawah. "Kalau kamu pergi sendiri, yang ada Papa-mu curiga. Dia juga nggak bakalan izinin kamu keluar," ujar Seungkwan, menggerakkan tangan kanannya di sepanjang pegangan tangga.

"Nah, makanya. Itu yang bikin aku bingung." Mereka berdua senyap, memikirkan ide apa yang harus dipakai untuk menipu orang tuanya. Hanya ada suara derap langkah yang menguar.

Tiba-tiba, satu dari dua kepala tercerahkan, bagai ada lampu di samping kepala berambut hitam itu. Seungkwan tetaplah Seungkwan yang memiliki 1000 ide. "Gimana kalau kamu suruh temenmu yang punya sepeda buat jemput kamu, seakan dia yang ngajak keluar tapi habis itu kalian misah. Kamu pergi jemput Seokmin di tempat yang udah dijanjiin. Gimana? Bagus gak?"

Mulut Jisoo membulat, terpukau akan ide cemerlang Seungkwan. Kepalanya mengangguk setuju akan ide Seungkwan. Di saat yang sama mereka memijakkan kaki di lantai dasar, dapat Jisoo lihat kedua orang tuanya sedang duduk di ruang tamu. Papa-nya membaca koran sembari menyesap kopi hitamnya, sementara Mama-nya sibuk membaca majalah dengan pakaian sehabis yoga.

Sadar akan kehadiran si putra semata wayang, Hong Jina, memanggil Jisoo untuk mendekat padanya. "Sini, Shu," panggil Jina, memanggil Jisoo dengan nama lainnya, Joshua, sembari membuat gestur menyuruh Jisoo mendekat.

Seungkwan ambil keranjang yang ada di tangan Jisoo, kemudian mendorong bahu Jisoo. Menjadi pertanda bahwa Seungkwan menyuruh Jisoo untuk meminta izin pada Mama-nya.

"Tolong, ya, Seungkwan, cucikan pakaian Jisoo dulu," pinta Jina pada Seungkwan. Seungkwan mengangguk, lagipula ia tak akan pernah bisa menolak pemilik suara lembut itu. Jina sudah ia anggap sebagai Ibu tirinya, Seungkwan pun sudah dianggap seperti anak bagi Jina.

Seungkwan memutar arah ke ruang cuci sendirian, sementara Jisoo mulai membawa kakinya mendekati Jina. Jisoo lingkarkan lengannya di leher Jina, mencium pipi sang Mama, mengulang kebiasaan yang biasa ia lakukan. "Masih sedih?" tanya Jina. Jisoo paham tentang apa yang ditanya Jina.

Jisoo menggeleng dengan kepala yang bertahan di bahu mulus Jina. "Nggak. Lagipula udah putus," jawab Jisoo penuh bohong dengan suara kecil.

"Mama larang demi kebaikan kamu, Shu. Kamu paham, kan?" Jisoo mengangguk. "Mama nggak mau hidup kamu nggak terarah. Mama bakal setuju kalau orang itu mapan dan baik. Kalau cuma baik, kamu mau makan apa, sayang? Makan cinta?"

Ada benarnya nasihat Jina. Rumah tangga tidak bisa hidup hanya dengan makan cinta. Tapi, kalau sudah bersama, bukankah masalah ekonomi bisa diakalkan? Yang penting adalah mereka berdua bersama. Itu saja.

Daripada topik ini jatuh lebih dalam, Jisoo dengan cepat memikirkan pembahasan lain. "Oh, iya, Shua mau pergi sepedaan nanti sore sama..." Jisoo berpikir secara cepat, memikirkan siapa yang masuk dalam kriteria agar bisa membujuk kedua orang tuanya. "Vernon, iya, Vernon."

Vernon merupakan keputusan tepat. Sepupunya itu sering berada di rumah, jadi bisa diandalkan di keadaan genting. Orang tuanya pun mengenal Papa serta Mama-nya dengan baik. "Shua mau jalan-jalan. Boleh, kan, Ma, Pa?"

Disaat Jina hampir buka suara, suara berat dan dalam Papa-nya, Hong Jihoon, menginterupsi. "Biarin, Ma. Siapa tau Shua nggak mikirin pacarnya lagi setelah jalan sama Vernon," potong Jihoon. Laki-laki itu baru saja menandaskan kopinya hingga tersisa ampas.

Jina menghela nafas, lalu berkata, "Yaudah. Hati-hati. Suruh Vernon yang datang kesini jemput kamu, oke?"

[✓] Lost Memories | SeokSooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang