kisah Ega dan Dimas berlanjut!!!
Demi seseorang yang mencuri hati Ega, cowok berambut merah itu rela melakukan apa saja untuk gadis pujaannya ini, meskipun cintanya bertepuk sebelah tangan. Sementara hidup Dimas yang dirundung kemalangan, entah di s...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SOMEDAY II KOSONG DUA
Dimas memarkirkan sepeda di tempat yang aman. Ia memastikan kembali sepedanya sebelum meninggalkan area parkiran.
"Woy, Dim! Tungguin napa!" teriak Ega sembari marangkul Dimas.
"Demen amat lo ngerangkulin gue, minggir ah!" gerutu Dimas sembari menyingkirkan lengan Ega dipundaknya.
"Kita kan bespren," ujar Ega sembari merangkul Dimas kembali.
Echa turun dari mobil Fiko, lalu jingkrak-jingkrak heboh sendiri. "Ah! Asupan di pagi hari tuh yang terbaik! Plis plis plis gemoy banget!"
Fiko menatap Echa malas, lalu ia mengangkat tubuh kecil Echa ke pundak kirinya dan membawanya pergi.
"Ih! Fiko turunin gue nggak!"
"Gue malu Cha, liat lo kumat kaya orang gila," keluh Fiko tanpa menuruti perintah Echa.
Echa mengerucutkan bibirnya dengan posisi kepala menghadap ke bawah.
¤¤¤
Dimas dan Ega naik ke tangga menuju kelas barunya, di kelas XI IPS II. Ega menguap lebar begitu sampai di kelas.
"Dim, duduk di sana kuy," ucap Ega sembari menunjuk ke bangku pojok belakang di dekat jendela, "pencahayaannya pas dan terhalang dari radar guru. Cocok banget buat turu."
"Dimana-mana kelas tuh buat belajar, bukan buat turu, oneng!" celetuk Dimas.
Ega mendudukkan bokongnya di kursi yang dimaksud, segera ia rebahkan kepalanya di atas meja sembari berkelit, "asal lu tau ya, Dim. Ruang kelas tuh tempat paling nyaman buat turu selain di rumah."
"Terserah." Dimas menghela napas pasrah, lalu menduduki kursi di sebelah Ega.
¤¤¤
Tepat jam delapan pagi guru memasuki kelas. Pria berkumis tipis dengan dandanan necis berambut klimis itu berkata, "selamat pagi, selamat sejahtera murid-murid ku yang berbahagia."
"Pak kumis!?"
"Walas kita Pak kumis lagi?"
"Bahagia? Omong kosong," celetuk siswa yang semalam kalah taruhan.
Seruan-seruan protes dan berduka cita turut menghiasi kelas ini. Pak Arfan menyisir rambut klimisnya dengan epik, lalu menepuk tangannya menyita perhatian.
"Kita dipertemukan kembali di kelas yang sama dan suasana yang berbeda, mungkin takdir untuk kita semua," tuturnya dengan bangga.
"Takdir apanya."
"Ah, kita diuntungkan di situasi seperti ini, posisi pengurus kelas kita tidak akan berubah, sama seperti sebelumnya. Jadi kalian nggak perlu repot mengurusi hal seperti ini," imbuhnya.