Ville meminta Banyu untuk menata meja yang akan digunakan untuk stand pengisi di sabtu esok. Rabu kemarin mereka sudah mengumumkan dua pasangan calon Ketua OSIS, yakni Banyu dengan Nadia, serta Anggi dengan Marsel. Matahari sudah tenggelam, dan mereka harus membereskan ini semua sebelum pukul 20.00. Esok malam, mereka akan menginap agar di hari Sabtu mereka tidak terlambat.
Ville sangat bersyukur dengan adanya kegiatan ini. Ia bisa menghindari Angin dengan lebih mudah. Kanaya dan Ayana sendiri sudah kembali ke rumah mereka kemarin karena dijemput oleh orang tua mereka. Setiap malam, Ville akan menelpon orang tuanya, meminta mereka untuk menemani melalui video call sampai Ville tertidur. Pesan dari Angin pun hanya dibalas sekenanya oleh Ville. Ville bahkan menolak untuk dijemput Angin setiap pagi atau sepulang kegiatan OSIS. Ia tak mau hatinya semakin sakit.
Anggi keluar dari ruang OSIS, berjalan menuju Ville yang kini tengah menata bangku di koridor. "Kak, doorpize yang disiapin sama sponsor besok bisa diambil." Anggi menyampaikan pesannya.
Ville duduk di kursi yang ditatanya tadi, mengangguk pada Anggi, "Besok gue nggak ada jadwal ngajar, biar gue sama Banyu yang ambil ya."Ucap Ville yang diangguki oleh Anggi.
"Kak, makan dulu, dari tadi kakak belum makan." Anggi mengingatkan. Ville menggeleng kecil. Napsu makannya akan hilang jika pekerjaannya belum selesai.
"Isi perutnya dulu, Ville." Devon menyerahkan onigiri dan air mineral. Ville menerimanya dan meletakkannya di atas meja.
"Nanggung, bentar lagi ya." Ville tersenyum manis dan bangkit dari duduknya. Ia meraih onigiri dan air mineral dari Devon, berjalan menuju ruang OSIS dan meraih beberapa kertas yang ada di tas meja yang belum tersentuh.
Ville duduk, meletakkan onigiri dan air mineralnya di atas meja, kemudian ia beralih pada laci untuk mencari gunting. Saat dapat ia mulai menggunting kertas yang berisi identitas para panitia pensi. Devon dan Anggi masuk ke ruang OSIS. Mereka duduk di sebrang Ville, mulai membantu Ville menyelesaikan pekerjaannya.
Ponsel Devon yang diletakkan di atas meja bergetar. Laki-laki yang tengah memasukkan kertas ke dalam plastik untuk nametag itu pun segera meraihnya dan menjawab telpon. Ville awalnya abai karena itu urusan Devon, namun mendengar namanya disebut, ia segera menatap Devon tak mengerti.
"Ville susah. Tunggu kerjaannya selesai baru makan." Kata-kata itulah yang berhasil membuat Ville menatap Devon. Namun, ia berusaha untuk tidak peduli, ia kembali menyibukkan dirinya dengan gunting dan kertas di atas meja.
"Ville," Devon mengulurkan ponselnya. Ville mengangkat kepalanya lagi, menatap Devon tak mengerti. "Angin mau ngomong, tadi nelfon lo nggak diangkat." Ville menghela napas, mengatur jantungnya yang saat ini sedang tak baik-baik saja.
Ville meraih ponsel Devon, menempatkannya pada telinga kirinya, menyapa laki-laki di seberang sana.
"Makan dulu Ville, nanti sakit. Dari minggu lalu kegiatan lo padet, di rumah juga nggak ada Tante sama Om, di suruh ke rumah juga nggak mau. Seenggaknya pikirin kesehatan lo, ya." Suara Angin melembut. Namun terasa begitu menyakitkan untuk hati Ville. Mungkin, jika itu bukan Kanaya, hatinya tak akan sesakit ini, dan ia tak akan mundur lagi untuk mendapatkan Angin. Namun, ini Kanaya. Sahabatnya.
"Iya." Ville hanya menjawab singkat. Itu adalah tameng untuk dirinya saat ini.
"Gue jemput ya," Tawar Angin.
"Nggak usah Ngin. Gue balik bareng Anggi nanti." Balasnya.
Ville mendengar helaan napas Angin. "Yaudah kalua gitu, makan dulu sebelum pulang. Kabarin kalau udah di rumah." Ville hanya menggumam mengiyakan. Gadis itu akhirnya memberikan ponsel Devon kembali, ia kembali berkutat dengan pekerjaannya. Berusaha menghilangkan rasa sakit setiap kali mengingat Angin.
YOU ARE READING
Bougenville
Teen FictionKerikil membatu Tak goyah dengan siulan angin Tak tergoda dengan rayuan angin Rerumputan tertunduk Tersipu akan siulan angin Tapi tak terlena dengan rayuan angin Bougenville tertarik Terpana wanginya angin Terpesona akan hadirnya angin Bougenville t...