BOUGENVILLE 5Novel itu masih tersimpan rapi di sana
Ratusan hari lalu aku telah menyelesaikannya
Tapi kini, ia seolah meneriakiku
Memanggil namaku
Memintaku mendekatinya
Menyentuhnya
Meraihnya
Membuka setiap lembarannya
Seolah terselip rindu yang menumpuk
Seolah ending dalam novel itu akan berubah
Seolah aku ingin mengulang hal yang sama meski tahu,
Endingnya tak akan berubah
****
Bintang sudah menggantung dalam kelamnya langit. Suara binatang menjadi lagu latar dalam ketenangan di sebuah villa yang cukup rindang dengan banyaknya pohon. Gemericik air dari sungai di belakang villa juga terdengar nyaring dari beranda belakang. Dan, gadis dengan rambut tergerai serta sweater kebesaran itu tak terusik sedikitpun dengan sapuan dinginnya angin malam. Ditemani dengan buku catatan bersampul coklat rapi di tangannya. Jangan lupakan pula beberapa temannya yang sedang menyiapkan minuman dalam botol-botol besar sembari asik bercengkrama satu sama lain.
Devon berdiri di ambang pintu beranda, meneliti satu per satu teman-teman seperjuangannya di dalam OSIS tengah sibuk masing-masing dengan persiapan jerit malam yang akan dilaksanakan pukul 03.00 dini hari nanti. Namun, sang ketua OSIS justru sibuk dengan buku catatan yang tak seharusnya mengikuti mereka sampai di villa ini. Devon menggeleng kecil, ia pun mengeluarkan ponselnya dan mengambil gambar gadis itu, lalu diteruskan pada sahabatnya yang malangnya kini berada di Jakarta.
Merasa diamati, Ville menolehkan kepalanya dan mendapati Devon tengah mengetik sesuatu pada ponselnya. Ia tak curiga sama sekali. Devon pun duduk di sampingnya, melongokkan kepalanya untuk mengintip catatan apa yang mampu merampas perhatian Ville dari sahabatnya. Ternyata itu adalah catatan Bahasa Indonesia.
"Jadi tutor Bahasa Indonesia, Ville?" Tebak Devon tepat sasaran. Ville mengangguk, menutup buku catatannya dan meletakkannya di meja. Tangannya teralih pada biskuit di atas meja, ia meraihnya satu dan memakannya. Perutnya tak lapar, namun mulutnya terasa ingin mengunyah sesuatu. "Ngajar kelas apa?" Lanjut Devon.
"Belum tahu, tapi kayanya sih di rolling." Jawab Ville setelah menelan biskuitnya.
"HP apa kabar?" Tanya Devon lagi.
"Kurang baik, lagi diisi dayanya. Tahu deh udah sehat belum tuh di kamar." Jawab Ville sekenanya. "Kenapa nanyain HP gue?" Tanya Ville merasa pertanyaan Devon tak penting,
"Dapet salam dari Angin. Katanya kenapa lo nggak bales chatnya dia." Devon menyerahkan benda pipih berlayar datar tersebut pada Ville. Ville menerimanya dan membaca pesan tersebut, meneliti dengan seksama dan mendapati fotonya dalam layar ruang obrolan dua laki-laki berusia 17 tahun ini.
Keningnya mengernyit, menatap tak mengerti pada Devon yang mengirim foto dirinya pada Angin. "Angin yang minta." Katanya yang kembali meraih ponselnya tanpa permisi.
"Buat apa? Bukan Angin banget!" Ville paham sekali bagaimana Angin, laki-laki itu tak pernah sekalipun memperdulikannya, ia tak pernah mau tahu kondisi Ville. Jadi buat apa Angin saat ini menanyakan dirinya pada Devon? Sungguh tidak masuk akal!
Ville tak lagi peduli pada Devon yang masih sibuk dengan ponselnya, menarikan jemarinya pada layar tersebut, ia lebih baik kembali belajar. Waktu dini hari adalah waktu yang tepat untuk belajar, di mana otaknya bekerja dua kali lipat lebih cepat dibanding waktu yang lain.
YOU ARE READING
Bougenville
Teen FictionKerikil membatu Tak goyah dengan siulan angin Tak tergoda dengan rayuan angin Rerumputan tertunduk Tersipu akan siulan angin Tapi tak terlena dengan rayuan angin Bougenville tertarik Terpana wanginya angin Terpesona akan hadirnya angin Bougenville t...