4. TALE OF A CURSED WITCH

188 40 18
                                    

Dentuman ujung stiletto merah terdengar nyaring menapak trotoar. Udara dingin bergerak konstan, berhembus perlahan menerbangkan daun yang tak sengaja jatuh sebelum menyentuh tanah, meresonansi apapun yang dilewatinya termasuk genangan air di celah bebatuan. Hujan baru saja turun dengan intensitas sedang meninggalkan gerimis yang akhirnya bekerja sendirian. Dari ujung jalan, seorang wanita nampak berdiri menunggu lampu penyebrangan berubah menjadi hijau. Ia terdiam dengan sebuah kotak berhias pita emas di tangan kanannya. Pandangannya terlihat kosong tak peduli dengan hiruk pikuk di sekitarnya yang diselimuti atmosfer mencekam. Ketika lampu penyebrangan telah berubah, ia lantas kembali berjalan. Menapakkan stiletto merah mahalnya di atas aspal bersama pengguna jalan lain.

Namun...

"Aish, mengapa udaranya berubah menjadi sangat dingin seperti ini?!" gerutu seorang pria. Ia bahkan mengeratkan mantelnya sambil berjalan cepat setelah mengusap tengkuknya.

Wanita itu menaikkan sudut bibirnya. Tersenyum licik sambil memandang pria bermantel coklat tadi. "Aku akan menunggumu datang ke tokoku 40 tahun lagi, Tuan!" ucapnya. Ia lantas terus berjalan tanpa orang lain sadari keberadaannya.

Kakinya terus menapak, tenang menelusuri dinginnya atmosfer malam berkabut tipis di sekitar rumah elit bergaya klasik era kerajaan. Sejenak ia berhenti, memandang sepasang suami istri yang tergesa memasuki mobilnya dengan tidak peduli. Setelah itu, ia lantas berbelok. Langkahnya terhenti di depan sebuah rumah besar berpagar tembok tinggi. Wanita cantik itu mengulurkan tangannya, mendorong pintu masuk rumah dengan taman kuno di halamannya. Suara gemericik air dan ikan yang gelisah nampak tak membuatnya terganggu dan berhenti memasuki rumah besar tersebut. Gelap, lebih tepatnya remang. Lampu utama telah dimatikan dan menyisakan lampu kecil saja. Ia lantas masuk ke salah satu ruangan dimana seorang nampak terbaring nyaman di tempat tidur besarnya dengan selimut tebal mengurungnya. Wanita stiletto merah itu tersenyum. Memandang damainya wanita tua yang tengah terbuai dalam alam mimpi sebelum terbangun dan menyadari kedatangannya.

"No–nona Jiseo?" ia nampak ragu. "Kau kah itu?" tanyanya.

Ya, Jiseo. wanita penyuka stiletto itu kini membungkuk sopan pada wanita tua yang kemudian duduk bersandar di kepala ranjangnya. "Selamat malam, Nyonya," ucapnya ramah disertai senyum.

"Ah, kau kemari mengantarkan gaun pesananku?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Ya, sesuai janjiku padamu," Jiseo menjawab. "Gaun hitam dengan mutiara laut dan benang emas kesukaanmu," lanjutnya. Jiseo berjalan menghampiri wanita tua itu. Ia memberikan kotak abu di tangannya.

Wanita tua tersebut tersenyum senang, menerima kotak tersebut dengan wajah bahagia. Ia lantas menarik pita emas yang sengaja Jiseo sematkan. Membukanya lalu mengambil gaun hitam sesuai pesanannya beberapa bulan yang lalu.

"Kau suka?" tanya Jiseo.

"Ya, ini sempurna," ia menjeda. Hampir menangis. "Terlalu sempurna untuk ku ungkapkan dengan kata-kata," ujarnya.

Jiseo tersenyum puas, ia senang kalau pelanggannya menyukai gaun rancangannya. "Dua Agustus jam delapan malam," lirih Jiseo.

"Aku masih memiliki waktu, 'kan?" tanyanya.

"Hm... nikmatilah, semuanya akan menjadi penyesalan belaka kalau kau hanya diam dan meratapinya." Jiseo menjawab.

Wanita tua itu bergegas, menyingkap selimut tebal nan mewahnya. Turun dari ranjangnya yang nyaman berjalan menelusuri kegelapan. Air matanya mengalir perlahan seiring langkah yang ia ambil sementara Jiseo mengikutinya dari belakang. Tangannya yang telah berkerut, mendorong pintu kayu yang sengaja tak terkunci. Ia terlihat memeluk gaun buatan Jiseo sembari terus tersenyum pahit ketika memandang seorang yang memiliki paras hampir serupa dengannya tengah tidur dalam damainya. Suara mesin kardiograf dan juga banyak selang serta alat medis lain terlihat tak bisa mengusik gadis dengan rambut panjang tersebut. Jiseo terdiam. Kakinya berhenti melangkah. Memilih menatap lekat seorang ibu yang tengah mengusap sayang pipi putrinya yang sebentar lagi akan pergi. Wanita tua itu lantas menoleh, memandang Jiseo dengan senyum bahagia berselimut sakit. Ia seolah mengucapkan terima kasih pada Jiseo karena telah membuatkan gaun indah untuk putrinya gunakan di hari kematiannya.

BLACK DRESS [JJK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang