5. DINNER IN THE RAIN

168 36 8
                                    

Di sinilah Jungkook. Duduk di sebuah kursi kayu mewah di dapur milik Jiseo. Ia hanya duduk, tidak mengambil makanan yang Jiseo sajikan untuknya. Jiseo juga terlihat menikmati honey earl grey hangat di dalam cangkir tak peduli dengan Jungkook yang tengah melamun mengamati dapur klasiknya sambil memainkan jari-jarinya. Sesekali, pemuda itu juga menatap Jiseo yang mengambil kue jahe di dalam piring.

"Nona?"

"Ya?"

"Aku masih tidak mengerti... ,"

Jiseo meletakkan cangkirnya di atas meja. "Semua yang terlahir pasti akan mati," kata Jiseo. "Mereka menyambut kelahiran dengan suka cita dan tangis bahagia, sedangkan kematian ...," Jiseo menjeda, menunduk sebentar lalu meraih camellia di dalam vas bunga. "Mereka menghadapinya dengan tangis kesakitan," lanjutnya.

"Mereka yang sudah pergi, tidak mungkin kembali lagi," balas Jungkook. "Itu sebabnya mereka menangis, mereka menyesali apa yang belum sempat mereka lakukan dengan mereka yang pergi," katanya.

"Menyesal, ya?" Jiseo mencabut salah satu kelopak bunga di tangannya. "Aku pikir, mereka yang mati telah menyelesaikan tugasnya selama hidup," ujar Jiseo.

"Lantas kau sendiri?"

Pertanyaan Jungkook membuat Jiseo berhenti mencabut tiap kelopak bunga berwarna merah itu. Ia melirik Jungkook tajam, mendongak kemudian melempar bunganya ke atas meja.

"Antara keduanya," jawab Jiseo. "Aku rasa." lalu bergidik. Tidak yakin dengan jawabannya.

Jungkook menghela gusar, ia menyadarkan punggungnya lalu melipat kedua tangannya. Matanya tak lepas memandang Jiseo yang kembali menyasap tehnya.

"Kau sepertinya sangat tertarik dengan kematian," kata Jungkook.

"Ya," Jiseo menjawab. "Mereka yang akan mati, membawa banyak cerita tersimpan yang tidak bisa mereka ucapkan ketika mereka masih hidup," katanya.

"Kau pikir mereka tidak menanggung beban setelah mati?" tanya Jungkook.

"Jungkook, semua yang telah mati sudah mempercayakan bebannya pada mereka yang masih hidup," Jiseo berkata lirih. Ia memutar jari telunjuknya melingkar di sisi cangkir yang ia pegang. "Mereka bahagia, meskipun berat ketika mereka meninggalkan dunia dan orang-orang yang mereka suka," jelasnya.

"Nona, kau–"

"Jungkook?" Jiseo mendongak. Balas memandang Jungkook dengan iris seindah bulan musim panas. "Kau mau tau kelanjutan cerita penyihir tadi?" tanya Jiseo.

Jungkook yang kesal lantas beranjak dari kursinya. Ia meninggalkan Jiseo tanpa menjawab pertanyaan terakhir dan membiarkannya mengawang di udara. Jungkook memilih untuk pulang daripada mendengar jawaban-jawaban yang sama sekali tak ia mengerti. Sementara itu, Jiseo yang masih terpaku di kursinya, tersenyum miring. Menyasap kembali sisa teh di dalam cangkir keramik kesayangannya tanpa terganggu dengan kepergian Jungkook yang tiba-tiba.

"Ah, padahal dia belum mendengar bagian menariknya... " sesal Jiseo.

Ia meletakkan cangkir tersebut di atas meja. Membersihkan pakaiannya lalu membiarkan semua makanan yang terhidang tanpa tersentuh kemudian pergi begitu saja. Jiseo berdiri di depan tangga tokonya. Melipat tangannya sopan kemudian tersenyum tipis. Tepat ketika bel tokonya berbunyi, ia membungkuk sedikit, memandang seorang lelaki muda dengan linangan air mata yang masuk beberapa saat setelahnya.

"Selamat malam, selamat datang di Tsubaki Tailor," Jiseo tersenyum ramah. Ia mendekati pemuda tersebut kemudian berkata, "Beritau aku, pakaian apa yang kau inginkan untuk hari kematianmu, nak?" ucapnya.

Jungkook mengendarai mobilnya, kesal. Ia tak mendapatkan jawaban seperti apa yang ia inginkan. Jungkook lantas memukul setir mobilnya berulang. Hujan mengguyur wilayah An Marry sesaat setelah Jungkook meninggalkan Tsubaki.

BLACK DRESS [JJK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang