Jiseo duduk termenung di atas tempat tidurnya. Ia hanya menggesekkan kuku-kuku jarinya satu sama lain. Ingatannya melayang, mengenang memori yang sudah usang tentang suaminya. Matanya tiba-tiba memanas, airnya yang mulai terkumpul di pelupuk mata nampak siap untuk jatuh kapan saja.
"Tae, apa kabar?" Jiseo berujar lirih. "Kau sedang apa sekarang?"
Hanya pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban yang menemani Jiseo setiap malam. Setiap ia telah selesai dengan mesin jahitnya, tiap ia telah selesai bertemu dengan pelanggannya. Sepi yang menusuk seolah menjadi teman setia Jiseo kala ia mengenang Taehyung, suami yang sangat ia rindukan. Belahan jiwa yang senantiasa ia tunggu sampai sekarang. Benar saja, beberapa detik kemudian Jiseo menangis tanpa suara. Dadanya sesak tiba-tiba hingga ia meremas gaun tidur hitamnya. Kilatan petir nampak memancarkan cahaya dari luar jendela. Itu semua tak semerta-merta membuat Jiseo bergeming, takut akan petir seperti dulu. Jiseo lantas mengusap pipinya sendiri. Biasanya, Taehyung lah yang melakukan itu. Memeluknya erat ketika petir menggelegar seakan membelah langit yang menaungi mereka. Namun sekarang tidak ada lagi, setelah kereta kuda itu pergi membawa serta suaminya yang berjanji akan kembali. Jiseo nampak menarik napasnya, menatap keluar jendela sebelum turun dari ranjang besarnya. Kakinya menapak dingin lantai kayu kamarnya. Berjalan perlahan menuju jendela, membukanya hingga air hujan masuk ke dalam kamarnya.
"Tae, sampai kapan kau akan meninggalkanku seperti ini?" tanya Jiseo.
Ia melihat ke bawah, beberapa orang nampak berlalu lalang melewati tokonya yang sudah tutup. Tidak ramai, apalagi sekarang sudah jam satu malam. Hanya beberapa dengan payung hitam dan berlarian menghindari hujan. Semua gambaran nyata itu menghanyutkan jiwa Jiseo kembali ke masa itu, masa di mana ia masih merangkul erat lengan Taehyung di bawah payung sambil tertawa.
"Peluk yang erat lagi, kau terlihat kedinginan, Jiseo-ya," Taehyung tiba-tiba meminta.
"Ah ...," Jiseo yang malu, nampak mengeratkan rangkulannya di lengan bebas Taehyung.
"Kau suka dengan pertunjukan tadi?" tanya Taehyung.
"Ya, tapi aku pikir Annelise tidak bisa memiliki Josh sepenuhnya," jawab Jiseo.
"Kenapa?"
"Karena hati Josh hanya untuk Maria, bukan Annelise,"
"Bagaimana denganmu?" tanya Taehyung.
"Hm?"
"Apa hatimu hanya untukku?"
Jiseo tertawa. Ia berkata bahwa Taehyung baru saja mengatakan pertanyaan konyol yang sudah ia tau jawabannya. Taehyung tertawa, ia mencium kening istrinya dan membuat Jiseo tersipu untuk kesekian kali.
"Kau sangat cantik, Sayang," bisik Taehyung di telinga Jiseo. "Lebih cantik dari apapun di dunia ini," lanjutnya.
"Kau pikir begitu?"
"Tentu saja, hanya istri Kim Taehyung lah yang paling cantik!"
Kenangan-kenangan kecil itulah yang mampu Jiseo ingat seperti fragmen-fragmen usang yang membentuk sebuah kondimen menyakitkan di hati Jiseo. Bertahun-tahun ia menunggu kepulangan Taehyung, tapi sampai detik ini, ia tak sekalipun mendapatkan kabar bagaimana keadaan suaminya. Jiseo yang putus asa, lantas menutup jendela. Memilih untuk berjalan keluar kamarnya mengambil setangkai camellia dan higanbana di dalam vas bunga dekat tangga. Kakinya menapak tanpa alas, keluar dari rumah sekaligus toko pakaian miliknya. Berjalan tanpa payung mencari keberadaan sang suami. Namun semuanya telah berubah karena ulah waktu. Jalan yang tak lagi sama, kereta kuda yang telah berubah menjadi mobil bermesin modern. Setapak batu yang berubah menjadi jalanan beraspal, berikut bangunan-bangunan yang dulu tak ada, kini menjulang tinggi hingga menutupi tokonya. An Marry memang sudah berubah, kecuali jembatan penghubung yang tak jauh dari pusat pertokoan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK DRESS [JJK]
Fanfiction[OCT 23, 22] [NEXT CHAPTER UNTIL END AVAILABLE ON E-BOOK VERSION. PLEASE DM ME ON INSTAGRAM IF YOU INTEREST WITH THAT] Ada rumor berkembang di An Marry tentang toko pakaian yang hanya beroperasi pada jam 10 malam. Bangunan kedelapan di depan toko r...