Ciuman Pertama

2.5K 12 0
                                    

“Da-fin ….” Sena melirihkan suaranya, matanya membola melihat pemandangan indah di depannya. Seketika jantungnya berdegup kencang dan sesuatu di bagian bawahnya berdiri tegak karena memperoleh sinyalnya.

“Shh!” ringisnya dalam hati, ia sungguh tersiksa karenanya.

Meski bagaimanapun, Sena adalah pria normal yang apabila melihat pemandangan indah seperti ini naluri lelakinya akan terpancing. Apalagi sudah cukup lama ia hidup menduda dan tak pernah melihat pemandangan indah seperti di hadapannya.

“Sial!”umpatnya yang kesekian kali dalam hati.

“Mengapa dia berpakaian seperti itu! Apa dia sedang menggodaku? Huh!”batin Sena yang kini berusaha mengalihkan pandangannya.

“Jika dia benar-benar sengaja melakukannya, awas saja! Aku akan membalasnya nanti! Dia harus membayarnya!”lanjutnya dengan hati yang bersungut-sungut.

Terlalu lama menikmati pemandangan indah membuat Sena hampir saja kehabisan nafas dan hampir kehilangan kewarasan, Sena menghela nafas dalam lalu membuangnya secara perlahan dan melakukannya berulang kali untuk mengontrol dirinya. Ia kembali melangkahkan kaki, mendekat ke arah kolam.

“Ehem ….” deham Sena yang membuat Mita seketika refleks meraih bathrobe dan mengenakannya.

Mita merapatkan bathrobe-nya, ia dengan gugup meraih tali dan mengikatnya asal, lalu membalikkan badan menghadap Sena. “Mas Sena, sudah pulang ya?” sapa Mita dengan gugupnya.

Bukannya menjawab, Sena justru menimpalinya dengan sebuah pertanyaan yang diikuti sebuah perintah dengan nada lugas.

“Kenapa jam segini masih berenang?” Cepat bawa Dafin ke kamar dan ganti bajunya!” ucap Sena dengan sorot mata tajam lurus kedepan.

Mendengar perkataan Sena membuat Mita takut, ia segera menganggukkan kepalanya. “Ba-ik, Mas.”

Mita buru-buru menggendong Dafin dan membawanya ke dalam rumah, tepatnya masuk ke dalam kamar Dafin.

“Sayang, ayo kita mandi dulu,” tutur Mita lembut.

“Kamu tunggu disini sebentar ya, Sayang? Mama mau isi bak mandi dulu, oke?” Dafin menganggukkan kepalanya, ia duduk di atas kloset dengan tenang.

Setelah bak terisi penuh, Mita melepas baju basah Dafin lalu memasukkan tubuh mungil itu ke dalam bak mandi untuk ia mandikan. Hanya sebentar, Mita segera membilas tubuh Dafin dan mengenakannya baju karena takut Dafin sakit.

“Nah, sekarang Dafin tunggu disini sebentar ya? Mama gantian mau mandi dulu,” ucap Mita mengelus pucuk kepala Dafin.

"Mama, terima kasih ya?" tutur Dafin polos yang membuat Mita menoleh.

"Kenapa, Sayang?" tanya Mita yang kembali bergerak mendekat.

"Terima kasih karena Mama baik sama Dafin. Maaf ya, gara-gara Dafin Papa marah sama Mama."

Mita terharu mendengar ucapan Dafin, ia menangkup kedua pipi Dafin, mengusapnya dengan lembut lalu mengecup dahinya. "Gak apa-apa, Sayang. Papa, enggak marahin Mama kok, Papa cuma sedang menegur Mama saja jadi Dafin jangan merasa bersalah ya?"

"Ta-pi, Mama terlihat sedih tadi …."

"D-dafin, Mama tidak sedih, Mama hanya khawatir saja, its ok, Mama gak apa-apa kok, Sayang."

"Benarkah?"

"Hemm, itu benar, Sayang."

"Ya sudah, Mama mandi dulu ya, Sayang?" tutur Mita yang langsung melangkahkan kakinya pergi.

Mita masuk ke dalam kamar mandi, ia mandi secepat kilat karena khawatir meninggalkan Dafin sendirian di dalam kamar.

“Dafin, Mama sudah selesai!” seru Mita yang kini sudah berpakaian lengkap keluar dari kamar mandi.

Dafin tersenyum girang, ia langsung menghampiri Mita dan memeluk kakinya.

"Mama, ayo kita makan,” ajak Dafin.

“Oke, Sayang. Ayo kita ke ruang makan.” Mita menggendong tubuh mungil Dafin menuruni anak tangga menuju ke ruang makan.

Mita mendudukkan Dafin disana lalu mulai mengambilkan makanan untuk Dafin. Sesaat kemudian ia melihat Sena datang dan duduk di sampingnya. Mita pun berinisiatif untuk melayani Sena, ia meraih piring yang berada di depan Sena hendak mengambilkan makanan. Namun, lebih dulu dilarang oleh Sena. “Gak perlu! Aku bisa ambil sendiri,” ucap Sena dengan nada suara datar.

Mita mengurungkan niatnya, ia meletakkan kembali piring Sena pada tempatnya dan tersenyum tipis, meski sebenarnya hatinya sedih karena Sena menolaknya.

"Kenapa? Apa Mas Sena masih marah padaku?" tutur Mita dalam hati. Ia saat ini sedang menerka-nerka penyebab sikap dingin Sena.

***

Dafin mengajak Sena dan Mita untuk menonton film kartun favoritnya, mereka duduk bersama di sofa, bersiap menonton film yang baru saja mereka putar.

Sepanjang film diputar mulut mungil itu tak berhenti berbicara, ia terus saja bertanya dan mengomentari apa yang ia lihat dengan antusias yang kadang membuat Sena dan Mita dibuat pusing olehnya.  Hingga film berakhir Dafin masih tetap mengoceh.

"Yah sudah habis filmnya!" tuturnya dengan raut wajah sedih. Namun melihat slide terakhir pada film tersebut matanya berubah berbinar.

"Pa, coba lihat!" seru Davin menunjuk ke arah layar televisi.

"Dafin ingin seperti itu!" rengeknya kepada Sena.

"Pa, Papa mau ya? Plis," rajuk Dafin dengan wajah memelas.

"Boleh ya, Pa?" Dafin memohon kepada Sena yang membuatnya tak tega untuk berkata tidak.

Sena menganggukkan kepalanya yang disambut sorak bahagia Dafin. "Yeay! Makasih, Pa."

"Ma, ayo kita mulai!" Dafin turun dari pangkuan Mita, mengambil posisi duduk di tengah-tengah Sena dan Mita lalu memberi aba-aba pada keduanya untuk memulainya.

"Satu, dua, tiga!" seru Dafin.

Bukannya duduk dengan tenang Dafin malah membungkuk mengambil mainannya yang jatuh sehingga membuat kejadian tak terduga terjadi.

Cupp!

Bibir Sena mendarat sempurna pada bibir Mita yang membuat keduanya saling berpandangan dan mematung dalam beberapa detik.

"Astaga!" pekik Mita dalam hati.

Dafin  yang semula membungkuk, kembali menegakkan tubuhnya pada posisi semula. Ia lalu mengajak Sena dan Mita kembali mengulang adegan terakhir pada film kartunnya.

"Ah ini dia!" Dafin berhasil mengambil mainannya yang terjatuh.

"Pa, Ma, ayo kita ulang!" tutur Dafin.

Sena dan Mita buru-buru menjauhkan diri satu sama lain dengan gugup. Kali ini mereka melakukannya dengan hati-hati agar kejadian sebelumnya tak terulang lagi. Mereka menempelkan bibir mereka tepat di kedua pipi Dafin dan menjauhkannya secara kilat dan serempak.

"Terima kasih Pa, Ma." Bocah kecil itu terlihat senang bukan kepalang. Sebuah senyuman nampak jelas terpatri di wajahnya. Maklum saja, sudah lama ia merindukan momen ini.

Tanpa menjawab atau menanggapi ucapan sang putra Sena pergi begitu saja dari sana, berjalan menaiki tangga dengan cepat menuju ke ruang kerjanya. Sena menjatuhkan tubuhnya pada sofa panjang yang terletak di ruang kerjanya. Ia terdiam sejenak, bayangan adegan ciumannya dengan Mita kembali berputar dan memenuhi pikirannya.

"Shit! Mengapa aku malah menginginkan mengulang kejadian tadi! Mengapa aku malah menginginkan bibir itu lebih!" umpat Sena dalam hati.

"Harusnya tadi aku memanfaatkan kesempatan! Bukan hanya diam!" rutuknya kesal.

"Arggggh! Kenapa aku mendadak menjadi bodoh begini sih!"

"Ah, ini benar-benar gila!"

Sena merasakan kegelisahan dalam hati, pun dengan Mita. Ia juga merasakan hal yang sama. Di kamar Dafin, Mita juga banyak diam melamun tentang kejadian yang baru saja ia alami bersama Sena.

Wife Per HoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang