Melayani Suami

5.2K 15 0
                                    

Setelah kejadian hari itu keduanya tak saling bertemu lagi hingga hari pernikahan mereka tiba. Jangan ditanyakan bagaimana perasaan Mita, ia tidak bisa memungkiri jika sejak hari itu ia semakin merasa tertarik dengan Sena, tetapi tidak dengan Sena, ia bersikap biasa saja dan mempergunakan waktunya bekerja seperti biasa, menepis segala pikiran yang menurutnya hanya pengganggu saja.

Tak terasa delapan hari berlalu begitu cepat, pagi ini adalah acara pernikahannya dengan Sena, meski pernikahannya hanya sederhana dan jauh dari kata sempurna. Namun Mita terlihat begitu bahagia. Ia tak hentinya mengembangkan sebuah senyuman di wajahnya.

“Ah! Rasanya aku sungguh tak sabar,” batinnya dalam hati. Ia meremas-remas jemarinya pelan ketika mendengar suara sang ibu memanggilnya untuk segera berangkat.

“Mita, ayo kita berangkat!” serunya dari balik pintu.

“I-iya, Ma.” Mita melangkahkan kakinya keluar dari kamar dan berjalan menghampiri sang ibu serta beberapa keluarganya yang sudah siap mendampinginya untuk menikah.

***

Ruang inap Tama dihias ala kadarnya saja, hanya ada beberapa bunga dan juga dekorasi sederhana yang menghiasi ruangan tersebut. Namun, tetap terlihat indah dan menawan dipandang mata. Sebuah meja kecil dengan taplak sutra berwarna putih berenda yang dihiasi dengan pita berwarna gold dan juga bunga-bunga mawar putih, diletakkan di tengah dengan empat kursi yang ditata saling berhadapan dan dihias seperti meja akad pada pesta pernikahan pada umumnya.

Mita dibimbing Mirna dan bibinya menuju kursi yang telah disiapkan. “Duduklah disini, Sayang,” tutur Mirna kepada sang putri.

Mita duduk dengan tenang disana, hingga Sena datang dan mereka saling duduk berdampingan.Seorang penghulu yang sudah datang sejak tadi segera memulai acaranya.

Ayah Mita, Tama dengan posisi berbaring menatap ke arah seorang penghulu yang sedang menjabat tangan Sena untuk mengucapkan ikrar pernikahan. Ia meneteskan air mata kala Sena mengucapkannya dengan lancar dalam sekali helaan yang kemudian diiringi kata sah dari para saksi. "Alhamdulillah," ucapnya dalam hati. la tersenyum melihat raut bahagia dari wajah sang putri.

Saat ini Mita telah resmi menyandang status barunya yaitu Nyonya Arsena Aditya. Perasaan bahagia sekaligus haru membuncah di hatinya melebur menjadi satu. Apalagi saat ia mencium punggung tangan suaminya dan dibalas sebuah kecupan mesra di dahinya. Rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu cantik terbang menggelitik hatinya.

"Alhamdulillah," ucap Mita dalam hati yang tak henti-hentinya bersyukur.

Setelah menandatangani surat nikah, Mita menghampiri sang ayah. Ia memeluk tubuh lemah ayahnya yang terbaring di atas ranjang dengan berlinangan air mata.

"Pa, Mita sekarang sudah menjadi istrinya Mas Sena. Terima kasih ya, Pa untuk restunya. Papa cepat sembuh ya," ucapnya lirih tepat di dekat telinga sang ayah.

Tama hanya menganggukkan kepalanya pelan sembari tersenyum. la tidak bisa berkata apa-apa karena memang terhalang dengan alat bantu pernafasan yang menutupi area hidung dan mulutnya.

Sena yang tadinya masih duduk berdiam diri di tempat perlahan bangkit ketika melihat kode dari sang ibu. Ia melangkahkan kaki malas menghampiri Mita dan melakukan apa yang sudah diperintahkan sang ibu sebelumnya yaitu mengucap terima kasih serta memohon doa  kepada kedua mertuanya.

Setelahnya, Mita bersama Sena beserta anggota keluarga yang lain pamit pulang. Dan disinilah Mita sekarang, di rumah milik Sena yang beberapa jam lalu telah resmi menjadi suaminya.

Baru saja Mita masuk ke dalam rumah Sena, Dafin langsung berlari menghampiri Mita dan memeluknya. Bocah laki-laki itu bahagia bukan kepalang menyambut kedatangan Mita dan Sena.

"Mama," panggilnya sembari bergelayut manja.

"Hai, Sayang. Mama disini," tuturnya lembut. Ia mengusap pucuk kepala Dafin lalu berjongkok menyejajarkan wajah mereka.

"Apa kamu menunggu kedatangan Mama?" tanya Mita yang diangguki oleh Dafin.

Nia meraih tubuh Dafin, membawa bocah kecil itu pada gendongannya. "Dafin, Sayang. Mama sama Papa mau ganti baju dan istirahat dulu karena capek. Dafin sekarang main sama Oma dan Opa dulu ya?" Dafin melihat ke arah Mita, seolah mengerti apa arti tatapan Dafin Mita pun segera menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis.

Dafin pun menurut, ia ikut dengan nenek dan kakeknya. Tanpa banyak bicara Sena menggandeng lengan Mita menaiki anak tangga. Mita yang terkejut sekaligus gugup tetapi ia hanya diam menurut saja, mengikuti kemana langkah kaki Sena pergi. Begitu sampai di lantai atas, serta jauh dari jangkauan pandangan kedua orang tuanya Sena menghempaskan tangan Mita, berjalan mendahului Mita dan membuat Mita terheran.

“Aneh! Mas Sena kenapa?” tanyanya dalam hati, ia tetap berjalan membuntuti Sena hingga Sena masuk ke dalam kamar yang terletak tepat di samping kamar Dafin.

"Mandilah dulu! Dan itu baju ganti untukmu!" ucap Sena menunjuk sebuah box yang berada di atas nakas.

"Baik, Mas." Mita melepas semua aksesoris yang menempel pada rambutnya, ia juga menghapus make upnya dengan peralatan make up yang ia pikir telah disediakan oleh Sena di meja rias untuknya.

la masuk ke dalam kamar mandi membersihkan tubuhnya lalu mengeluarkan isi box yang diberikan oleh Sena. “Astaga!” ucap Mita mendelik melihat isi dalam box.

Mita mengangkat kain tipis itu dari dalam box lalu menempelkan ke tubuhnya, seketika ia menelan ludahnya sendiri dengan susah payah. “Ini seksi sekali? Aku seperti tidak memakai baju jika mengenakannya.”

Mita terdiam sejenak memandangi pakaian di tangannya itu, otaknya sibuk bernegosiasi dengan egonya. Ia pun akhirnya mengenakan pakaian tidur sutra tipis itu dengan cepat.

"Astaga! I-ini tipis sekali, dan i-ini … Aku seperti tidak pakai baju," cicit Mita menggigit bibir bawahnya ketika melihat pantulan tubuhnya di depan cermin.

Meski malu dan tidak nyaman Mita berjalan keluar dari kamar mandi, ia duduk menunduk malu di pinggiran ranjang yang dipenuhi dengan taburan kelopak mawar. la mencoba menenangkan hatinya, memejamkan matanya, mengatur nafas dan juga detak jantungnya yang sedari tadi membuatnya tak nyaman.

"Tenang, Mita, tenang!" seru Mita dalam hati.

Ceklek, suara pintu kamar terbuka. Nampak jelas dari ekor matanya seorang pria dengan handuk yang melilit di pinggang sedang sibuk menggosok-gosok rambutnya yang basah berjalan masuk ke dalam kamar.

"Oh ya ampun." Mita meremas-remas pinggiran sprei, wajahnya kini terasa panas dan mungkin telah memerah seperti kepiting rebus.

Sementara Sena, ia berjalan dengan santai masuk ke dalam ruang ganti, mengabaikan Mita yang diam terpaku di pinggiran ranjang. Sena mengganti pakaiannya dengan pakaian rumahan. la mengambil sesuatu dari dalam laci, lalu berjalan mendekat ke arah Mita.

"Tandatangani surat ini, segera!" Sena melemparkan sebuah map merah ke atas meja, tepat di depan Mita.

"Baca baik-baik! Dan jangan coba-coba untuk melanggarnya!" ucap Sena dengan tatapan mata tajam.

Gadis di depannya itu menunduk ketakutan, ia segera meraih map dan membukanya, membacanya dengan seksama isi dari map tersebut.

"Surat kontrak pernikahan?" ucapnya dalam hati. Seketika hatinya terasa sakit, ekspektasinya tentang Sena yang sempurna musnahlah sudah.

Mita kembali membaca bagian lain, matanya membelalak sempurna membaca salah satu isi peraturan yang tertera di sana. "Harus me-la-ya-ni suami?" tuturnya dengan suara bergetar.

Wife Per HoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang