Yang ditunggu Tak Kunjung Datang

870 12 0
                                    

Sena turun dari mobil, melangkahkan kaki jenjangnya cepat menuju ke dalam gedung perusahaan miliknya. Dengan wajah ditekuk, ia mengabaikan setiap sapaan yang tertuju padanya. Sang sekretaris, Surya yang sekaligus sahabatnya pun terheran melihatnya. Tak biasa-biasanya sang bos seekspresif itu. Maklum saja, semenjak kepergian Arin-mendiang istrinya, ia terlihat berwajah dingin tanpa ekspresi. Dan baru akhir-akhir ini, tepatnya usai Sena menikah, ia terlihat lebih ekspresif.

“Cemberut aja mukanya Bos? Lu kenapa?” tegur Surya berjalan mendekat, ia berniat ingin menggoda si bos, agar moodnya kembali.

Sena seakan tuli dan bisu, sedikit pun ia tak menggubrisnya, menolehnya pun tidak. Sena justru berjalan cepat, tatapannya lurus ke depan menuju ke ruangannya. Ia membuka handle pintu dengan tak sabaran, mengayunkan kaki ke dalam ruangan serta membanting daun pintu agar pintu kembali tertutup.

Sena memilih duduk di singgasananya. Dengan wajah yang masih muram, ia menatap tajam lurus kedepan, tangannya mengepal kuat hingga buku-buku kukunya memutih.

"Arrrgh!" serunya sembari menggebrak meja dengan kasar.

Surya yang masih berdiri ditempat sayup-sayup mendengar suara Sena.

"Seperti suara Sena, kenapa dia?" gumamnya lirih.

Surya yang merasa sesuatu terjadi kepada sang bos pun berlari menghampiri ruangan Sena. Ia menerobos masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Bos, kenapa?" tanya Surya yang saat ini sudah berada di dalam ruangan Sena. Ia terlihat begitu khawatir.

Melihat keberadaan Surya di depannya, Sena sedikit terkejut. Sena menggelengkan kepala cepat lalu memijatnya pelan. "Bukan apa-apa," tuturnya kepada Surya, ia bingung harus menjawab apa karena ia pun tidak tahu penyebab akan kemarahannya yang tidak jelas pagi ini.

"Yakin, bukan apa-apa?" Surya menatap lekat wajah Sena untuk memastikan.

Sena terdiam, ia enggan untuk menjawabnya. Hanya sebuah gidikan bahu dan gelengan kepala yang diiringi helaan nafas kasar saja sebagai jawabannya. Surya berdecak kesal  melihatnya, ia yakin ada sesuatu yang terjadi kepada sahabatnya.

"Semalam gak dikasih jatah sama bini lu ya? Hayo ngaku!" cecar Surya yang membuat Sena memutar bola matanya jengah.

"Mesum terus ya otak lu!" desis Sena, ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kerja dan menaikkan kakinya ke atas meja.

Surya menarik kursi di depan meja kerja Sena, ia lantas duduk disana. "Lho benar dong pertanyaan gue? Alasan pengantin baru cemberut terus tuh pasti gak dapat jatah kalau enggak ya berarti lagi berantem, ya kan?" ujar Surya yang bersikukuh dengan opininya.

Sena lagi-lagi mengedikkan kedua bahunya. Ia memilih diam, enggan menanggapi ucapan Surya.

"Jadi kamu berantem sama dia? Kenapa?" cecar Surya seolah paham apa yang sedang terjadi kepada sahabatnya itu.

"Gue gak tau!" jawab Sena santai.

"Dasar manusia aneh! Bisa-bisanya marah tapi gak ada alasannya! Lu kesambet apa gimana sih, Sen?" ejek Surya.

"Gue gak tau!"

"Dihh! Aneh kamu, Sen."  Surya bergidik ngeri mendengar pernyataan Sena.

"Dah lah, gue mau kerja!" Surya bangkit dari tempat duduknya dan berlalu pergi.

Surya meninggalkan ruangan kerja Sena, meninggalkan sang bos sendirian tercenung menyelami rumitnya isi hati.

Di lain tempat, Mita melangkahkan kaki santai masuk ke dalam rumah dengan sebelah tangan menggandeng tangan bocah laki-laki kecil yang masih mengenakan pakaian seragam taman kanak-kanak.

Wife Per HoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang