02.

127 26 2
                                    

"Anjing! Kaget banget gue." Teriak Kalle. "Mil, ngapain jongkok disitu si!"

"Nunggu lo pulang." Jawab gue santai.

"Ga di depan pintu juga! Jam segini, setengah 12 Mily, mau tengah malem, ampun deh!"

"Ya terus gimana? gue pegel, sofanya basah."

"Ya karena dari tadi ujan terus atapnya bocor kata bunda. Kok ga masuk si? udah berapa jam lo disini? bukannya lo harusnya masih di Paris balik besok ya?"

"Bisa satu-satu ga si nanyanya?"

"Kenapa ga minta jemput?" Tanya Kak Kalle sambil membuka pintu rumah.

"Gue bisa pesen ojek online."

"Miyi.. Miyi... Lo masih punya gue dan gue masih sangat bersedia di repotin."

"Ya... Lagi pengen aja."

"Alesan mulu, kenapq ga langsung masuk?"

"Ga bawa kunci.. kalau gue pencet bell bunda nanti ke bangun."

"Terus lo bakal nunggu disini sampe pagi?"

"Gue yakin kakak satu-satu nya yang gue punya belum pulang karena motor kesayangannya ga ada di garasi."

"Haduee. Kok udah balik? Bukannya 3 hari?"

"Kerjaannya di percepat, ada problem gitu deh gue males ceritanya."

"Yaudah sana istirahat, muka lo pucet gitu."

"Kak Kalle." Panggil Emily, mendudukan dirinya di sofa ruang keluarga. "I miss old us, happy family."

"Mill..." Mendekat ke arah Emily.

"Tadi di bandara ada anak perempuan cantik, mungkin umurnya 5 tahun?" Gunam Emily. "She asked me, kakak ini jam berapa? Dan gue jawab jam 9.45 tapi dia terus tanya, kalau ke jam 10 masih lama ga ya? Bukannya jawab gue malah balik tanya, kenapa."

"Kak Kalle... She said she wanted to pick up her father, ayah nya pilot. Kak Kalle... ketika ibu anak itu ngasih tau kalau ayahnya akan keluar, gue bukannya pesan ojek online. I followed them, the girl ran with sparkling eyes hugging her father."

"Milly..." Gunam Kalle duduk di sebelah sang adik, ingin memeluknya dengan erat namun sang adik kembali berbicara.

"Kita... Kita pernah kaya mereka. I hope.. that kid doesn't feel the same way as us."

Kini Kalle memeluk Emilly erat dan Emilly menangis hebat, mengeluarkan semua perasaan yang ia tahan sejak berada di bandara. Emily tidak ingin menangis di depan umum. Emily tidak ingin terlihat lemah. Emily hanya ingin terlihat tangguh.

"Kak Kalle... 10 tahun gue lari, i never found what i was looking for."

"Gue masih tiba-tiba nangis cuma karena ngeliat video tentang anak dan orangtua nya lagi ketawa."

"Gue masih nangis ngeliat, ayah orang lain nemenin anaknya belanja."

"Emily... It's ok. Inget kata bunda, semua perasaan yang kita rasain itu valid, ga perduli seneng, sedih, bahkan sakit sekalipun. Dan lo harus inget juga, gue dan bunda akan selalu ada di samping lo.. apapun perasaan yang lo miliki."

"Miyi.. boleh keliatan kuat di depan orang lain, tapi kalau sama gue dan bunda lo boleh juga menunjukan diri lo yang lain."

"Gabisa.. lo sama bunda pasti juga sedih, kalau gue lemah di depan kalian yang ada kalian makin sedih."

"Engga apa-apa, kita sedih bareng, kita bangkit bareng."

"Gue takut.. takut sendiri.."

Emily, anak perempuan yang begitu mencintai ayah nya. Ayah.. cinta pertama bagi Emily. Ayah.. yang membuat Emily merasa aman dan nyaman dimanapun, asal ada ayah, begitu katanya.

On Bended KneeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang