Bagian 18 - Khawatir

105 12 3
                                    

Alexa menatap datar dan dingin lawan bicaranya, itu sang papa.

"Kamu itu anak tidak tahu diri! Perempuan macam apa yang tinggal dengan laki-laki? Mau hidup bebas, ha?! Keluar dari keluarga ini kalau memang itu mau kamu!"

Sudut bibir Alexa yang berdenyut sakit terangkat kecil, miring. Kalimat macam apa yang baru ia dengar ini? Apakah telinganya tidak salah dengar? Pria paruh baya di depannya sungguh merasa paling baik di dunia padahal hanya memberikan uang.

"Jawab! Kamu bisu?!"

Plak!

Sekali lagi pipi Alexa ditampar, menambar memar yang tidak tipis.

Alexa mengepalkan kedua tangannya. "Bunuh saya," ujarnya dingin tanpa menatap sang papa.

Pria paruh baya itu terdiam.

"Bunuh saja, agar tidak mempermalukan Anda di dunia ini." Sekarang pelan-pelan menatap. "Agar saya permalukan Anda di depan Tuhan."

Plak!

Ah ..., kenapa air mata Alexa harus menetes keluar dan mendarat ke atas lantai sana? Sungguh hal paling memalukan yang ia lakukan di hadapan papanya ini.

"Bawa dia ke kamarnya dan jangan obati, itu ganjaran atas hal memalukan yang sudah ia lakukan."

Tubuh Alexa langsung digeret oleh dua pria berkaos hitam yang tubuhnya kekar bukan main. Sudah pasti anak buah paruh baya itu, papanya.

Alexa tak memberontak, ini bukan kejadian pertama, ini sudah sering terjadi. Terlalu biasa untuk terkejut, terlalu biasa untuk mencoba memberontak lagi. Alexa lebih memilih diam dan kapan ia bisa, ia akan kabur, sesegera mungkin.

*****

Jefri melepas helm yang melindungi kepalanya selama perjalanan dari kos menuju rumah Alexa, dan Bagas yang membonceng Rian, pun melakukan hal yang sama.

Mereka memilih berhenti di rumah samping rumah Alexa, memarkirkan sepeda motor tepat di samping pohon yang entah apa, Jefri merasa tidak terlalu membutuhkan info itu. "Yang itu?" tanyanya menunjuk rumah besar, megah dan, bertembok tinggi yang ada di sana, hanya satu-satunya.

"Iya," kompak Bagas dan Rian.

Jefri mengangguk, turun dari atas motornya. Ia tatap rumah itu bergantian dengan rumah tetangga. Sungguh perbedaan yang jauh, tapi, tunggu dulu, pohon yang tidak terlalu ia ambil peduli merupakan pohon apa ini sepertinya berguna, ya! Sangat berguna.

Meletakan helmnya ke atas tangki minyak, Jefri melangkah mendekati pohon itu.

"Lo mau ngapain, Jef?" tanya Rian turun dari motor Bagas.

Jefri tak menjawab, saat ini yang ada di kepalanya hanya satu hal, melihat keadaan Alexa.

Bergeraklah Jefri memanjat pohon itu, terus dan terus menaiki ranting yang ada, Jefri berniat melihat bagaimana bentukan halaman rumah Alexa sepenuhnya, ingin tahu dari mana ia bisa menyelinap masuk tanpa harus melewati gerbang.

Memantau sekeliling, Jefri tak menemukan penjaga kecuali di gerbang dan depan pintu rumah. Oke, mari lihat sayap kanan dan kiri rumah gedongan ini.

Jefri memicingkan kedua matanya, memerhatikan dengan baik yang mana berarti menajamkan tatapan. "Dapat!" katanya puas bukan main. Lalu, bergerak turun dari pohon. Sudah pasti Bagas dan Rian menyambut.

"Siapa diantara lo berdua yang mau ikut gue masuk ke dalem?" tanyanya.

"Masuk dari mana?" tanya Rian.

"Kita masuk ke rumah ini, manjat ke pohon mangganya yang setinggi tembok rumah Alexa, gue udah liat keamanan yang ada, cuma dua satpam di gerbang sama dua di depan pintu masuk."

Heaven and Hell :on EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang