"Pada akhirnya, segala hal yang terasa sempurna di awal, belum tentu dapat bertahan."
...
Pengumuman di bandara yang terdengar di seluruh penjuru ruangan itu membangkitkan Aletta dari tempat duduknya, pertanda bahwa pesawat yang perempuan itu tumpangi sebentar lagi akan berangkat. Aletta pergi, pergi dari kota yang menurutnya sudah tak bisa lagi dia singgahi. Tidak, berada di sini hanya akan menyesakkan hatinya. Ada banyak sekali memori yang harus Aletta simpan dalam-dalam atau bahkan dia kubur selamanya. Ya, meski itu hanya memori percintaan anak kelas tiga SMP, tetap saja Aletta bukan lagi anak kecil yang masih lugu akan apa itu cinta.
Kadangkala, ada baiknya mengalah daripada harus menyerah. Meski kedengarannya sama saja sebab keduanya sama-sama lari dari kenyataan. Aletta hanya mengalah, biar saja dia yang pergi dari sini. Mencari kehidupan lain di luar sana yang bisa membuatnya melupakan Hazel.
Aletta terlambat, perempuan itu terlambat menyadari perasaannya hingga pada akhirnya perempuan itu harus mengalah. Sebab katanya, yang terlambat berarti kalah.
Hazel adalah teman sekelas Aletta sejak kelas dua SMP, keduanya tidak begitu akrab bahkan menyapa saja masih bisa dihitung oleh jari. Aletta tidak pandai bergaul dengan orang lain atau lebih tepatnya Aletta susah untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya. Beruntungnya, ketika pembagian kelas yang selalu dilakukan setiap kenaikan, nama orang-orang yang sudah lama Aletta kenal ternyata masuk dalam kelas yang sama. Jadi, Aletta tidak perlu susah untuk mencari teman baru dan memulainya lagi dari awal.
Kembali lagi pada Hazel, laki-laki itu terkenal juga dengan sikap pendiamnya. Ah, hampir sama dengan Aletta atau bahkan bisa dikatakan mereka memang memiliki sifat yang sama. Di kelas dua dulu, perempuan itu tidak menyukai Hazel sama sekali. Karena menurutnya, Hazel adalah orang yang paling menyebalkan. Seperti anjing dan kucing, seperti itu pula mereka.
"Gue? Suka sama si kacang? Dih, amit-amit!" Begitu ucapnya ketika ada yang meledeknya saat perempuan itu tengah bertengkar dengan Hazel.
Ya, seperti yang banyak orang ketahui bahwasannya cinta seringkali muncul dari rasa benci yang berlebihan. Dan Aletta termakan omongannya sendiri.
Pada kenaikan kelas sembilan, mereka ditakdirkan untuk sekelas lagi. Tetapi suasana kali ini agak berbeda, Aletta dan Hazel tidak lagi saling membenci. Mereka dekat, selayaknya seorang sahabat yang baru saja menemukan titik kesadaran bahwa tidak ada manfaatnya menjadi musuh dan saling tidak suka.
Keduanya seringkali bertukar pesan, tak jarang dengan bumbu-bumbu kata yang manis, membuat Aletta seringkali tersenyum salah tingkah ketika membalasnya. Memang begitu kisahnya, apalagi yang diharapkan dari kisah cinta anak SMP selain bertukar pesan? Atau bertemu di sekolah itupun malu-malu.
Perlahan namun pasti, Aletta nyaman dengan kehadiran Hazel dalam hidupnya. Namun satu hal yang salah dalam kisah mereka adalah... Aletta yang memiliki seorang pacar.
Awalnya Aletta pikir tak salah untuk sekedar berteman dengan Hazel, toh mereka juga teman sekelas. Aletta sudah lelah jika harus berkejar-kejaran dengan laki-laki itu tiap harinya seperti saat kelas dua dulu. Aletta menemukan sesuatu lain dalam diri laki-laki itu, kenyamanan.
Seringkali Diva-teman sebangku Aletta-mengatakan bahwa ini salah. Perempuan itu tak bisa berbuat demikian. Memang kenyataannya ini salah, salah sekali. Tetapi bukan Aletta namanya jika perempuan itu tidak keras kepala dan bersikap denial.
"Apasih? Gue cuma temenan doang kali sama dia. Gue ngga suka. Lagian, emangnya kalo punya pacar ga boleh temenan sama cowo lain apa?" sungut perempuan itu ketika Diva menceramahinya setelah melihat isi pesan Aletta dengan Hazel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever
Teen Fiction"Jadi, cita-cita lo apa?" "Gue mau jadi orang terkaya di dunia. Terus nanti kalo diundang ke acara-acara tv, gue bakal kenalin istri gue. Namanya Aletta." Sebuah harapan yang dimiliki oleh setiap orang tentunya sangat beragam, sama halnya seperti Al...