"Thanks ya, Kak, traktirannya!" Aletta menyerahkan helm yang dia pakai begitu turun dari motor.
Lagi-lagi Samudera tersenyum di balik helmnya, lalu mengangguk.
"Gih sana masuk," titahnya. "Gue mampirnya lain kali aja jadi ga usah ditawarin sekarang."
"Cih, nyebelin!" sungut Aletta kala mendengar perkataan Samudera yang hampir saja keluar dari mulutnya.
Aletta lalu masuk, sedangkan Samudera masih senantiasa menunggu perempuan itu hingga masuk ke dalam rumah. Kemudian setelahnya baru melajukan motor meninggalkan rumah Aletta.
...
Langit-langit kamar berwarna putih itu menjadi satu-satunya objek yang Aletta tatap begitu membaringkan tubuhnya di atas kasur. Entah mengapa jantungnya berdetak dengan kencang sekarang. Aletta merasa ini seperti mimpi. Makan berdua bersama Samudera bahkan laki-laki itu sampai mengantarnya pulang masih tidak bisa Aletta terima bahwa ini kenyataan yang baru saja dia lewatkan.
Pasalnya bukan hanya Grissel, dari yang Aletta lihat sejak dia masuk sekolah itu, Samudera jarang sekali terlihat seperti barusan ketika bersama dirinya. Apa mungkin laki-laki itu memiliki kepribadian yang berbeda ketika berada di tempat yang berbeda pula?
Sejak melihat papan pengumuman mading dua bulan lalu, tepatnya seminggu setelah Aletta mendaftar ekskul fotografi yang mana Samudera adalah ketuanya sendiri, perempuan itu tidak percaya kalau sekarang dirinya begitu akrab dengan kakak tingkatnya itu. Padahal sebelumnya Samudera orang yang paling Aletta takuti.
Menilik awal bagaimana mereka bisa akrab seperti sekarang ini, Aletta sendiri merasa tidak pernah ada obrolan yang begitu intens diantara dirinya dan Samudera. Beberapa kali mungkin, itu pun untuk membahas berbagai tugas dan projek mengenai ekskul tersebut, tidak lebih.
Namun belakangan ini, Aletta memang lebih sering berkomunikasi dengan Samudera perihal event yang akan diselenggarakan sekolahnya, dan tentunya fotografi menjadi hal penting dalam bagian dokumentasi nanti. Aletta pikir itu bisa menjadi penyebab mengapa dirinya dan Samudera bisa seakrab ini sekarang. Ditambah lagi masalah lomba yang tidak pernah mau Aletta ikuti, tetapi sekarang terpaksa harus dia jalani.
Lantas, mau bagaimana lagi? Aletta tidak mungkin meninggalkan Ical begitu saja.
Lagipula, image menjadi nomor satu dalam hidupnya.
Tengah asik menyelam dalam pikirannya, sebuah ketukan membuyarkan lamunan perempuan itu. Aletta mau tak mau harus bangkit dari sana dan melihat siapa orang yang sekarang ada di depan kamar kostnya itu.
"Om?"
"Ta, weekend ini Om mau ke Jakarta. Kamu mau ikut?"
Aletta diam sejenak mendengar tawaran itu.
Kembali ke Jakarta? Sepertinya itu bukan tawaran yang bagus.
"Ngga deh kayaknya, Om. Letta di sini aja lagian bentar lagi kan ulangan, jadi banyak yang harus Letta pelajarin juga," jawabnya.
"Beneran kamu ngga apa-apa Om tinggalin sendiri di sini?"
Aletta mengangguk, lalu menutup pintu setelah pria itu pergi dari depan kamarnya.
Perempuan itu menghela napas, seharusnya itu tawaran yang menarik jika Aletta tidak memiliki kenangan buruk apapun di kota asalnya.
Dia pikir akan lebih mengerikan jika dirinya kembali ke Jakarta lalu semua kenangan yang hampir berhasil dia singkirkan itu menyatu kembali dibanding dengan tinggal di sini sendirian.
Aletta bukan anak kecil lagi tentunya untuk berani hidup sendiri meski hanya beberapa waktu saja, tetapi hatinya melebihi seperti anak kecil yang tak pernah dia mengerti dan tak bisa dia atur sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever
Roman pour Adolescents"Jadi, cita-cita lo apa?" "Gue mau jadi orang terkaya di dunia. Terus nanti kalo diundang ke acara-acara tv, gue bakal kenalin istri gue. Namanya Aletta." Sebuah harapan yang dimiliki oleh setiap orang tentunya sangat beragam, sama halnya seperti Al...