Ada banyak hal yang bisa terjadi di dunia ini, tetapi bisa mengobrol dengan Samudera adalah hal yang tak pernah sekalipun Aletta pikirkan.
Beberapa saat setelah dirinya duduk sendiri di taman itu, Grissel menghampiri Aletta dengan mengatakan bahwa semua orang yang mendaftar di klub ekskul fotografi harus berkumpul sekarang juga.
Jadi, di sinilah Aletta sekarang. Berhadapan dengan kakak seniornya yang sejak tadi tak berekspresi apapun. Wajahnya hanya datar seolah segala situasi sama saja di matanya.
"Lo liat deh, Ta, Kak Samudera ganteng banget kalo lagi mode serius gitu, ya?" Grissel menyikut lengan Aletta pelan, membuat sang empu hanya memutar bola matanya malas.
Malah menurutnya, Samudera terlihat menyeramkan sekarang.
"Apa yang membuat saya harus menerima kamu di klub ini?" tanya Samudera, menatap orang yang ada di hadapannya.
Bukan, itu bukan Aletta, namun selanjutnya adalah giliran perempuan itu.
Menyukai fotografi sejak kelas 2 SMP tentu saja akan menjadi hal yang mudah untuk Aletta menjawab pertanyaan apapun yang berkaitan dengan itu. Namun, entah mengapa kali ini lidahnya mendadak kelu, Aletta terpaku pada tatapan mata yang bahkan tidak melirik ke arahnya tetapi seolah membius perempuan itu untuk tetap diam.
Aletta terus memperhatikan bagaimana Samudera terus mencecar orang di hadapannya dengan pertanyaan yang sejak tadi tidak terjawab. Merasa tak mendapat respons, tatapan datar itu berubah menjadi kebingungan. Terlihat alis Samudera yang sedikit mengangkat ke atas.
"Kamu denger saya, ngga?" tanyanya lagi.
"Denger, Kak. Maaf," ujar perempuan yang duduk di hadapannya itu ketika dirinya mulai sadar dimana dia berada sekarang.
"Jadi apa jawabannya?"
...
"Anjay yang abis diwawancarain Kak Sam, gimana perasaannya? Aman ngeliat muka Kak Sam sedeket itu?" Pertanyaan pertama yang Grissel lontarkan pada Aletta alih-alih perempuan itu bertanya apakah wawancara tadi lancar atau tidak.
"Berisik lo!" jawab Aletta sembari melempar asal buku yang terletak di atas meja.
"Kak Samudera dari deket makin ganteng, ya, Ta?" lanjut Grissel lagi.
"Ini lo ngga ada bahasan lain apa selain dia?" sungut Aletta. Perempuan itu sudah jengah tiap kali Grissel menggodanya tentang Samudera. Padahal, Aletta tidak pernah menyukai laki-laki itu. Sedikit pun.
Grissel hanya tertawa sambil mengangkat bahunya acuh, kemudian beralih fokus pada ponselnya.
"Bye the way, dia punya pacar ngga, sih?" Kali ini pertanyaan Aletta membuat Grissel terbahak.
"Katanya ga mau ngomongin dia lagi?"
"Gue cuma nanya doang!"
Grissel tampak berpikir mengenai pertanyaan yang Aletta lontarkan, lalu dua menit setelahnya menggeleng pelan.
"Ngga deh kayaknya, kenapa? Lo suka sama dia beneran, ya?" ejek perempuan itu.
"Stop bilang gue suka sama dia, ya, Grissel! Gue cuma nanya doang," sungut Aletta. "Tadi malem gue liat dia berdua sama cewek, gue kira itu pacarnya."
"DAN GUE NGGA CEMBURU!" sambungnya lagi sebelum Grissel melontarkan kata-kata yang sudah Aletta tahu.
Tidak, Aletta pikir dirinya memang tidak cemburu. Dia hanya penasaran akan perempuan yang bersama Samudera tadi malam. Lagipula, Aletta juga tidak menyukai Samudera. Bagaimana mungkin dirinya bisa menyukai Samudera jika yang ada dalam kepala dan hatinya hanya Hazel? Bahkan bagian terburuknya jika perempuan itu memang menyukai Samudera, dia tidak benar-benar menyukai Samudera. Sebab sejak pertama kali melihat laki-laki itu, yang ada dalam pikiran Aletta adalah Hazel. Hazel dalam wujud dan tubuh orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever
Teen Fiction"Jadi, cita-cita lo apa?" "Gue mau jadi orang terkaya di dunia. Terus nanti kalo diundang ke acara-acara tv, gue bakal kenalin istri gue. Namanya Aletta." Sebuah harapan yang dimiliki oleh setiap orang tentunya sangat beragam, sama halnya seperti Al...