13. Aneh

3 0 0
                                    

Ada kalanya semesta memberikan kejutan tak terduga; entah kesedihan yang tak ada habisnya, atau justru kebahagiaan yang tiada tara.”

Hari-hari membosankan seolah telah melekat pada hidup aletta. Entah dirinya yang terlalu nyaman berada dalam dunianya sendiri hingga tak ada hal menarik—yang harusnya ia dapatkan—dalam kehidupannya. Aletta merasa kalau tak ada gunanya mencari hal baru di luar sana kalau pada akhirnya ia sendirian. Toh, semua hal akan pergi cepat atau lambat, waktunya saja yang membedakan. Satu persatu milik aletta hilang; teman, pacar, keluarga, bahkan mungkin tak lama lagi aletta akan kehilangan dirinya sendiri. Tidak tahu siapa lagi yang akan bertahan setelah ini, atau justru lenyap sepenuhnya.

Aletta sudah terbiasa dengan yang namanya kehilangan, namun sialnya rasa rindu itu tetap saja menggebu di suatu waktu. Membuat dadanya sesak sebab tak ada yang bisa dia lakukan selain menangis sendirian di kamarnya, tanpa bersuara.

Hidup dalam keluarga yang sudah hancur sejak dirinya masih sangat belia membuat Aletta biasa saja hingga saat ini, semua memang sudah jalannya seperti itu—kata orang-orang dewasa dulu. Ya, terkadang memang seseorang tak bisa menebak jalan pikiran orang lain, begitu pula dengan aletta yang tak pernah bisa mengerti isi pikiran kedua orang tuanya. Sekarang, keduanya sudah bahagia dengan keluarga mereka masing-masing, keluarga barunya.

Sudah 5 tahun lamanya, perempuan itu tak pernah bersua dengan sang ayah. Hanya berkomunikasi lewat ponsel itupun beberapa kali saja. Video-video di media sosial yang sering kali dia lihat betapa mesranya orang-orang bersama sang ayah membuat Aletta cemburu. Jangankan demikian, grup keluarga saja tidak pernah ada dalam ponselnya.

Mungkin kalau keadaannya baik-baik saja, saat sore seperti ini ditemani burung-burung yang beterbangan kembali ke sarang mereka sebab malam tak lama lagi akan menyapa, Aletta tengah duduk di teras depan rumah bersama sang ayah, membicarakan bagaimana hari-harinya di sekolah, atau berdiskusi perihal jurusan kuliah yang tak lama lagi akan Aletta tempuh, lalu tak lama dari dalam rumah itu ibu datang membawa secangkir kopi dan es teh serta cemilan kemudian duduk bersama sembari menunggu senja. Sayangnya itu hanya perandaian. Angan-angan yang tak akan pernah jadi kenyataan, seberapa keras pun Aletta berusaha memperjuangkanya, di akhir itu hanya akan menjadi sia-sia.

Kenyataannya, saat ini Aletta sendirian. Memangku dagunya di atas telapak tangan, diantara jendela kamar dengan helaan napas yang tak berkesudahan. Menerima keadaan kalau sekarang yang menjadi teman hanyalah kesunyian. Perempuan itu bahkan harus menerka-nerka apa kiranya yang tengah dilakukan oleh sang ayah di sana sekarang? apakah pria itu tengah bekerja? atau sudah pulang ke rumah dan berkumpul bersama keluarga barunya? apakah ia selalu memikirkan Aletta? atau sekarang keduanya sama-sama tengah memikirkan satu sama lain? Dan kemungkinan terburuknya tidak sama sekali.

Lalu ketika perempuan itu tengah larut dalam pikirannya, suara motor terdengar di luar sana. Aletta hendak mengacuhkannya, sampai ponselnya berdering menunjukkan nama seseorang di layar itu.

"Halo?" ucapnya bingung, tidak pernah orang tersebut menelepon Aletta kecuali untuk hal-hal mendesak.

"Halo, Ta. Lo dimana? Gue di depan nih," katanya.

"Di depan mana?" Aletta masih tidak mengerti.

"Di depan kost lo." 

Mendengar itu, mata Aletta membulat. Jangan-jangan suara motor yang Aletta dengar tadi adalah milik orang tersebut.

Dengan cepat Aletta segera keluar dari kamarnya berlari ke arah luar hingga dirinya lupa memakai alas kaki.

"Santai aja kali, Ta. Buru-buru gitu sampe ga pake sendal." Laki-laki itu terkekeh setelah Aletta menyadari dan melihat kalau dirinya bertelanjang kaki sekarang.

ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang