4. Bewilder

1.7K 89 0
                                    

Devon mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan dokter. Sedangkan Alvin masih terus sesenggukan sambil memeluk Laura, tidak ingin lepas.

"Badannya lemas karena kurangnya asupan makanan. Sepertinya dari pagi Ms. Laura belum memakan apa pun. Asalkan jangan terus dilakukan. Ini resep obatnya. Tuan bisa menebusnya di apotek rumah sakit."

"Baik, terima kasih."

"Kalau begitu, saya permisi."

"Alvin, Papa akan membeli obat untuk Mama dan makan untuk kita. Kau juga belum makan, 'kan. Tunggu di sini ya, jaga Mama. Jangan ke mana-mana." Alvin hanya mengangguk mengiyakan.

Sekembalinya Devon dari apotek dan kafetaria rumah sakit, Laura belum terlihat siuman. Lama juga. Padahal Devon tidak sabar ingin memarahi Laura. Bisa-bisanya tidak makan dari pagi. Padahal tadi pagi juga Laura melakukan wawancara dengan dirinya.

"Aaa..."

"Tidak mau, Aku belum lapar." Alvin melanjutkan kegiatannya memandangi wajah ibunya.

Devon dibuat geram oleh Alvin. Susah sekali menyuruh anak itu makan. Kerjaannya hanya memandangi, memeluk, dan menciumi ibunya. Devon serasa diabaikan.

"Jika nanti Mama sudah siuman, Dia tidak mau bermain dengan kau karena belum makan, lalu nanti Mama akan merajuk. Mau?"

"Tidak!"

"Makanya makan, ya. Ini Papa suapi."

"Aaaa..."

Syukurlah pada akhirnya Alvin mau makan. Tinggal ancam sesuatu yang berhubungan dengan ibunya saja ia pasti patuh. Sepertinya Alvin akan lebih patuh kepada Laura dari pada Devon. Kasian sekali Devon.

"Mr. Griffith..."

"Mama!" girang Alvin sambil memeluk dan mendusel-duselkan kepalanya di lengan Laura.

"Maaf, tapi—" ucapan Laura untuk Alvin dipotong oleh Devon.

"Sayang, apa yang kau rasakan? Ada yang sakit?" Devon mengusap kepala Laura dengan raut wajah khawatir.

Laura membeliakkan matanya oleh perlakuan Devon terutama setelah mendengar panggilan pria itu untuk dirinya. Apa katanya? Sayang?

"Maksud Tuan—" ucapan Laura dipotong terus oleh Devon seolah tidak mengizinkannya berbicara.

"Maksudmu tidak makan seharian itu apa?" tanya Devon dengan nada ketus, sementara Laura hanya bisa cengengesan karena merasa dirinya bersalah.

"Saya hanya tidak lapar karena terlalu memikirkan wawancara." Laura menggaruk pipinya yang tidak gatal. Devon hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan kasar.

"Setelah kau menjadi karyawan saya, kau harus lebih memperhatikan asupan makananmu," ucap Devon dengan nada rendah agar suaranya tidak terdengar oleh Alvin.

"Baik, Sir."

Mereka kembali tidak bersuara dan membuat suasana menjadi canggung, tapi itu dapat terobati oleh Alvin yang berceloteh menceritakan kegiatan sehari-harinya pada Laura sambil menciumi pipi ibunya tersebut.

"Alvin, bisakah kau tidak menciumi ibumu terus?"

"Kenapa? Papa cemburu ya?" Entah dari mana Alvin tahu bahasa itu.

"Bukan begitu, ibumu baru saja siuman tapi kau tidak mau diam."

"Ya sudah giliran Papa. Papa juga pasti rindu sekali pada Mama, 'kan?"

Devon langsung memajukan wajahnya ka arah wajah Laura. Wanita itu sudah berusaha menahan dada Devon tapi tangannya ditahan oleh pria itu.

Cup

Destiny [Uncompleted]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang