Panji berdiri dalam gelap, ia sudah berada di selasar timur lima belas menit sebelum waktu yang mereka sepakati. Ia hanya ingin melihat bagaimana gadis itu bertingkah jika tidak sedang di depannya. Semua orang bersikap baik di depan Panji, itu membuatnya bosan.
Beberapa menit sebelum waktu yang mereka sepakati, ia melihat gadis itu datang. Benar-benar seorang diri tanpa pendamping perempuan. Apa yang dia pikirkan? Batin Panji heran. Alamanda, walau bukan bangsawan namun berasal dari kalangan terhormat. Orang tuanya adalah satu dari sekian warga kampung yang mandiri dan memberi mata pencaharian bagi warga kampung. Tidak seharusnya Alamanda diijinkan untuk pergi menemui seorang pria sendirian ke tempat sepi di malam hari. Bahkan jika yang memintanya adalah Panji.
Panji tumbuh dalam lingkungan yang santun. Ia dididik dengan baik, menghormati yang tua, menyayangi yang muda. Mudah saja untuk Panji menjadi seorang pecinta wanita seperti sang ayah, bakat itu sepertinya 'terwariskan' dengan sangat mudah, namun Panji tidak lemah terhadap godaan. Ia harus bisa menjadi teladan bagi adik-adiknya maupun warga kampung di balik tembok. Pelajaran etikanya akan sia-sia jika ia berduaan saja dengan Alamanda di tempat yang 'tepat'.
Panji beranjak masuk ke area pendopo, memanggil seorang wanita bertubuh gempal yang kebetulan cangkruk (kongkow gaes) di sana untuk mengawasi Alamanda sekaligus mengantarnya pulang ke rumah tanpa disadari oleh gadis itu. Ia sudah tidak tahan tetap di sana.
Alamanda berdiri di selasar timur, menanti pria yang mengajaknya bertemu. Tak ia duga Panji menganut kebiasaan jam karet. Hingga hampir satu jam lamanya menunggu, kedinginan dan mulai ketakutan karena merasa seperti sedang diintai, Alamanda pun pulang. Ia baru sadar bahwa Panji bukannya terlambat, tapi pria itu tidak datang.
Alamanda kecewa. Rasa kesal bercampur takut membuatnya menangis di sepanjang jalan. Ia sudah membohongi sang ayah yang protektif demi menemui pria yang membuat jantung orang sekampung berdebar-debar termasuk dirinya. Mungkin aku hanya korban kesekian, harusnya aku nggak terlalu percaya diri. Dari dulu orang rupawan dan berkuasa memang suka mempermainkan orang lain.
Alamanda terdiam saat menyadari ada helaan napas selain napasnya. Ia berhenti menangis dan coba mendengar dengan saksama. Ia ingin melawan ketakutannya akan gelap, makhluk tak kasat mata, ataupun orang-orang jahat, tapi ketika tarikan napas misterius itu jelas teridentifikasi seperti milik seorang perempuan, Alamanda pun melupakan kecewanya kepada Panji lalu lari terbirit-birit. Tidak lucu jika ia meet and greet dengan kuntilanak seorang diri.
Sementara itu orang suruhan Panji terengah-engah di belakang, berusaha membuntuti Alamanda yang berlari terlalu cepat. "Piye tho kok malah playon!" (Gimana sih kok malah lari-lari!) gerutu wanita itu sambil memaksa tubuh gempalnya berlari mengejar Alamanda.
*
"...lima, enam, tujuh, lapan! lima, enam, tujuh, lapan!" Alamanda menghitung ketukan mengiringi gerak tari murid-muridnya.
Sebenarnya ia agak tegang dua puluh menit belakangan ini karena seorang pria yang duduk di pinggir pendopo dengan kedua kaki terbuka. Sebelah sikunya bertengger di lutut dan menopang dagu, menikmati tarian dari para gadis. Ia tak bisa mengusir pria itu walau sangat ingin. Pria itu adalah pemilik segala yang ada di sini.
"Selesai." Alamanda menepuk sekali. Ia sudah tidak sabar ingin mengakhiri sesi latihan kali ini.
"Lho, Mbak! Hari ini kan kita mau nari pakai musik." protes salah seorang dari mereka.
"Iya, sama Mbak Manda juga. Kemarin Mbak sudah janji." yang lain menagih janjinya.
"Aduh!" Alamanda menggumam lirih, "Gimana ya-"
"Kudu nepati janji, Mbak." Sahut yang lainnya lagi.
Kalah suara, mau tak mau Alamanda harus menari bersama mereka di hadapan Panji. Ketika musik dimainkan, mulanya Alamanda bergerak tidak sepenuh hati. Lebih banyak salah karena gugup dan tidak berkonsentrasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dulu, Kini, Nanti (HIATUS!)
RomanceMaaf, Panji dan Manda hiatus dulu sampai project Astri dan Dinar di Karyakarsa tamat 🙏 Pernahkah kalian menyesali suatu hubungan? Itulah yang dirasakan Alamanda Diana, menyesali hubungan cintanya dengan seorang 'pangeran' ambisius yang rela melakuk...