2. Damai

3.1K 589 174
                                    

Siapa bilang Panji tak berani menemui Alamanda. Sekarang mereka duduk berhadapan, bertatap muka, hanya terpisah jarak kurang dari dua meter. Panji memberinya tatapan paling sopan yang ia bisa, tak ada niat melecehkan, ekspresinya murni mengapresiasi dan semoga Alamanda tidak menyalah arti.

Mulanya Alamanda menyambut kedatangan Panji dengan wajah masam. Panji tak heran jika gadis itu manja dan mudah merajuk karena seorang anak tunggal. Tapi kemudian Alamanda bersikap sopan. Kini ia sibuk menghindari tatapan Panji, tapi ketika Panji tak sedang memperhatikannya, Alamanda mencuri-curi pandang. Sesekali ia tertangkap basah, pipinya pun langsung memerah.

Siapa bilang Panji tak berani menemui Alamanda? Berani, tapi bukan berarti berdua saja. Ada ayah gadis itu di antara mereka. Dan keduanya lebih banyak bicara ketimbang bersama Alamanda.

"Jadi... sekarang sedang sibuk apa kegiatannya, Mas?"

Ketika seorang pria berusia tanggung alias dewasa muda datang ke rumah gadis perawan, siap-siap saja mendapatkan pertanyaan seperti ini. Dan ketahuilah, sibuk menimba ilmu sudah bukan jawaban populer lagi.

"Bisnis katering makanan sehat, Om."

"Oh, Mas Panji ini bisa masak?"

"Oh, bukan, Om." Ia buru-buru meralat, di usia dan latar belakang pendidikannya yang sekarang tentu dangkal sekali jika ia menjadi tukang masak. "Saya sedang mengembangkan bisnis startup makanan sehat. Saya bagian teknologi dan pemasaran, kalau bagian dapur saya kerjasama dengan beberapa resto dan hotel."

"Potensial?" Wajah paruh baya itu benar-benar skeptis, membuat Panji merasa diragukan.

Ia langsung menjelaskan prospek bisnisnya seperti sedang meyakinkan calon investor.

"Bahkan bulan depan dana dari investor mulai masuk, Om. Dan lagi saya sedang berupaya ekspansi supaya jangkau konsumen lebih luas lagi. Makanan sehat tidak hanya diminati pemerhati kesehatan, Om. Tim riset kami menemukan ibu rumah tangga yang aktif berjualan online justru sering beli sayur-mayur dan lauk-pauk matang, kalau karyawan kantor jangan ditanya. Mereka bahkan punya menu favorit."

Ayah Alamanda mengangguk-angguk setuju, "Ibunya Manda juga kurang suka masak sendiri karena sibuk urus toko, kami memang sering beli lauk matang. Tapi sejak Manda bisa masak sendiri kami jadi sering makan makanan rumah."

Panji melirik Alamanda dengan senyum samar di sudut bibir. Sungguh ia bermaksud memuji bukan membuat gadis itu salah tingkah.

"Manda, setelah ini Bapak mau temenin Ibu di toko. Kamu temani Mas Panji ya."

Panji yang sejak tadi sudah merasa nyaman karena tidak berdua saja mendadak keringat dingin. Terlebih saat Alamanda menyanggupi tanpa tapi.

"Nggeh, Pak."

"Mas, maaf ndak bisa temani kamu lama-lama. Om sudah kangen sama Tante."

Panji terkekeh sementara Alamanda mengulum senyum, malu sendiri dengan romantisme kedua orang tuanya. "Aku bawain makan untuk Ibu ya."

"Tambahin porsinya, Bapak mau makan bareng Ibu."

"Selalu begitu!" Alamanda pura-pura cemberut padahal hatinya bangga setengah mati karena walau kedua orang tuanya berbeda keyakinan namun rumah tangga mereka selalu harmonis, menghormati satu sama lain, saling mencintai, dan tetap setia hingga detik ini. Melalui orang tuanya Alamanda percaya bahwa cinta tak pandang bulu. Beda keyakinan saja bisa bersama, apalagi beda kasta. Ia melirik Panji di seberang dengan perasaan berdebar-debar.

Panji ikut berdiri saat pria itu hendak meninggalkan meja makan, "Om, ini serius Manda boleh temani saya berdua saja?"

Pria itu melirik curiga namun sebaliknya ia justru merestui mereka, "Om titip Manda ya. Dijaga! Soalnya dia cengeng dan penakut."

Dulu, Kini, Nanti (HIATUS!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang