"Sepertinya Eyang setuju kalau tarian kita ini direkam."
Panji mendengar wanita tua di sisinya. Entah bicara apa, Panji tidak terlalu menyimak karena mata dan pikirannya tertuju pada ayunan pinggul satu orang gadis di pendopo. Gadis yang ia cium kemarin sedang menari.
"Gimana, Eyang?"
Untung bagi Panji karena Eyangnya tidak sadar sudah diabaikan, "kemarin Mutia tunjukan apa itu ya-, Entub-entubnya Kraton Jogja. Bagus, Mas."
"Entub ya, Eyang. Hm...?" Panji berusaha keras menerjemahkan maksud Eyang.
"Iya, ada video dokumentasi kegiatan Kraton. Ada Suluk (wayang kulit), ada Tamanan, ada nembang-, eh! Masak ndak ngerti tho, Mas?" akhirnya Eyang Melati gemas juga.
Panji terkekeh sambil memijat pangkal hidungnya karena tidak mungkin memijat hidung Eyangnya dengan gemas pula, "maksudnya Youtube, Eyang?"
Eyang Melati tidak mau dikoreksi, "Pokoknya buat yang seperti itu ya, Mas. Namakan saja Pendopo Adiwilaga, supaya orang-orang jadi kenal siapa kita."
Tapi Panji tidak bersemangat, "mau diisi apa, Eyang? Resep masakan khas kesukaan Romo? Atau workshop jahitnya Bulik Gadis?"
"Boleh, dan yang penting itu-" kipas Eyangnya mengarah pada sekelompok penari di pendopo, "tari-tarian dari Mbak Manda, sekaligus tutorialnya."
Panji jadi punya alasan untuk memperhatikan Alamanda lagi. Mendokumentasikan tarian Alamanda tentu sangat menarik, akan tetapi mampukah ia menyelesaikan rekaman itu tanpa menyentuh si penari? Sekarang saja ia ingin melakukan banyak hal terlarang pada tubuh guru tari yang manis itu.
"Kamu pernah bilang kan, Mas," lanjut Eyangnya, "kalau kita bisa mendokumentasikan kesenian ini supaya tidak hilang."
"Nanti ya, Eyang. Kalau aku sempat. Liburan selanjutnya aku bawa kamera." Elak Panji. Jangankan mendokumentasikan liuk tubuh Alamanda, berdekatan dengannya saja Panji belum siap. Ia takut pada prosesnya bukan dokumentasi tari yang mereka buat. Tapi yang lain.
Mencium Alamanda bisa jadi sebuah kesalahan. Mencoba sekali, ia justru melakukannya lagi sampai tiga kali. Andai ia biarkan nafsu itu berkobar mungkin Alamanda sudah ternoda, apalagi gadis itu mudah tergoda.
Apakah pelajaran etika dua puluh enam tahun takluk begitu saja pada pesona Alamanda? Ia memang putra sulung Pandji senior namun bukan berarti ia ingin menjadi seperti ayahnya.
Mungkin jiwa Romo sedang mengejekku sekarang, 'kau anakku! jadilah seperti aku!' (aku~~, aku~~, aku~~) suaranya menggema di kepala Panji.
Berniat menguji dirinya sendiri ia pun mendatangi pendopo. Memperhatikan Alamanda menggulung rambut berbentuk sanggul, beberapa helai anak rambut lepas dan menempel di leher yang dibasahi keringat.
Tak sadar ia terus memandangi tengkuk dan leher Alamanda yang berdiri membelakanginya. Selagi gadis itu memberi aba-aba pada penari lain, Panji sibuk menyusuri ke mana perginya keringat yang mengalir ke balik baju Alamanda. Tentu saja ke tulang belakangnya, tapi apakah terus ke lekuk bokongnya juga ya?
Harus dibuka supaya tahu, Mas. Ujar setan bernama nafsu di dalam dirinya.
Panji menarik-narik kemeja polonya untuk mengusir gerah, dan ia sudah paham reaksi itu--tentu bukan karena tak ada angin. Mengejek dirinya yang konyol, tiba-tiba saja Panji tergelak, membuat orang-orang di sekitarnya bingung, termasuk Alamanda yang langsung menoleh ke arahnya.
Panji menggumam maaf dengan perasaan malu kemudian beranjak dari tempatnya berdiri. Dalam hati ia mengutuk diri, tidak mungkin gairah seseorang terpancing hanya karena tetesan keringat--kecuali jika ia sudah berada di atas normal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dulu, Kini, Nanti (HIATUS!)
RomanceMaaf, Panji dan Manda hiatus dulu sampai project Astri dan Dinar di Karyakarsa tamat 🙏 Pernahkah kalian menyesali suatu hubungan? Itulah yang dirasakan Alamanda Diana, menyesali hubungan cintanya dengan seorang 'pangeran' ambisius yang rela melakuk...