Prolog

9.7K 1.3K 374
                                    

"Gadis-gadis sedang menari di pendopo." tangan keriput itu menuding sekelompok gadis muda yang tengah meliukan tubuh lentur mereka mengikuti alunan rekaman musik, "mau lihat?"

"Boleh, Eyang." pria muda itu mengangguk. Memangnya apalagi yang ia rindukan dari kampung halaman jika bukan tentang 'warga di balik tembok' yang berada di bawah kuasa sang ayah. Warga yang nantinya berada di bawah kuasanya.

Bibir Kanjeng Eyang Melati tersenyum lega. Kerja kerasnya mempertahankan tradisi bisa dikatakan berhasil. Walau sempat berselisih paham dengan putra dan putri tirinya mengenai kualitas sumber daya manusia, pada akhirnya mereka mencapai kesepakatan.

Menjaga kesetiaan 'warga di balik tembok' dengan memberikan keterampilan kerja, pendidikan yang layak, bahkan beasiswa, asalkan mereka tetap berdedikasi membangun kampung kecil mereka di dalam tembok.

Panji mengerutkan dahi melihat pemandangan di pendopo. Biasanya akan ia temukan seorang wanita paruh baya bertubuh sintal dengan kipas di tangan yang bertugas mengajarkan tari tradisional pada gadis-gadis muda. Tapi wanita yang selalu dipanggil Si Mbok itu tidak terlihat kini.

"Si Mbok mana, Eyang?" tanya Panji, "kok muda-muda semua?"

"Maksudmu Ratmi?"

Panji mengangguk saja walau tidak yakin. Memang ada berapa si mbok yang mengajarkan tari?

"Ratmi meninggal,"

"Innalillahi..."

"Tahun lalu sebelum kamu kembali ke Surabaya."

"Pantas saja, seingatku tahun lalu masih bertemu Si Mbok, Eyang." ucap Panji muram.

"Sudah umur," Kanjeng Eyang menepuk pelan punggung tangan Panji yang berpegangan pada tiang selasar, "tapi untungnya Ratmi sudah punya penerus. Eyang lega karena bisa terus melestarikan budaya kita. Kalau tidak ada penerus bisa punah."

Panji ikut mengangguk setuju, trah Adiwilaga menjadi salah satu keluarga yang masih kaya akan budaya terjaga, kelak semua itu akan menjadi tanggung jawabnya--jika Eyang tiada, Romo tiada. Ia tidak ingin warisan itu mati di tangannya.

"Kalau hanya tari, Eyang," ucap Panji, "kan bisa didokumentasikan dengan video. Teknologi sudah canggih."

Kanjeng Eyang-nya menggeleng tidak setuju, "tetap berbeda dilatih oleh orang yang mumpuni ketimbang kaset rekaman. Kaset itu ndak ada jiwanya, Mas. Kamu harus tahu itu."

Panji tertawa karena membantah Eyangnya akan membutuhkan waktu yang lama, literatur segunung, namun hasilnya ia tetap saja kalah. Jadi Panji sudah tahu cara tepat menghadapi Eyangnya, yaitu dengan senyum patuh dan... "Inggih, Eyang."

Kanjeng Eyang menyungging senyum bangsawannya kemudian menuding ke salah satu gadis yang tengah sibuk memperagakan gerak tari pada gadis yang lain, "Tuh, dia aset berharga Eyang sekarang."

Pandangan Panji mengikuti arah ujung kipas Eyangnya.

"Panggilannya Manda, nama lengkapnya Eyang lupa. Dia yang bertugas mengajarkan tari-tarian di pendopo Adiwilaga ini."

Perhatian Panji langsung tersita pada wanita muda yang mungkin tingginya tidak lebih dari 160cm. Kulitnya yang kuning langsat itu memang terlihat sangat bersih walau beberapa titik keringat mengalir di pelipis hingga leher. Untuk ukuran wanita Jawa, dada gadis bernama Manda tidaklah besar--mungkin dibutuhkan push up bra kalau sedang mengenakan kebaya. Tapi, bokongnya boleh juga. Setiap kali Manda berjalan, bagian itu seperti tertinggal di belakang. Namun, yang mengusik ketenangan Panji justru daerah kaki dan betis yang tersingkap di bawah jarik berwarna coklat. Kaki mulus itu sukses buat Panji yang baik penasaran.

Dulu, Kini, Nanti (HIATUS!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang