4 aja nggak pake titik

4.9K 461 172
                                    

"Mau ke mana, Dhik?"

Melihat Alamanda berdandan lagi selepas pemotretan jelas buat Mutia penasaran. Seharusnya gadis itu pulang ke rumah. Dan menurut Mutia untuk sampai ke rumah Alamanda tidak butuh memoles ulang bibir dan bedaknya.

Pertanyaan bernada curiga langsung membuat Alamanda cemas. Ia memalingkan wajah dari depan cermin ke arah Mutia sambil meremas lipstiknya.

"Aku diajak jalan-jalan sama temenku, Mbak. Please, jangan bilang Bapak ya."

Mutia langsung memicingkan matanya, "cowok?"

Gadis itu hanya balas menatap cemas pada Mutia tanpa mengucap sepatah kata pun. Cowok, batin Mutia menjawab. Ia tahu bagaimana rasanya menjadi Alamanda, monitoring orang tua yang ketat serta pergaulan yang terbatas. Ia tidak akan mengadu pada ayah Alamanda karena tahu betapa berartinya kesempatan ini bagi perempuan seperti mereka.

"Hati-hati ya, Dhik!" pesan Mutia.

Ijin dari Mutia melegakan Alamanda. Ia hampir melompat girang karena wanita itu mau sepakat dengannya. Kemudian si Alamanda yang polos coba menghibur Mutia dengan ide naifnya.

"Mbak Mutia kapan bikin konten Pendopo Adiwilaga di Youtube?"

Mutia langsung menutup diri dengan pura-pura sibuk membereskan lensa. "Belum ada ide. Aku tunggu diajak aja."

"Kenapa Mbak Mutia ndak kasih ide duluan?" tanya Alamanda dengan senyum jahilnya, "bilang aja kalau Mbak punya ide jadi kalian harus ketemu."

Sempat tergoda, tapi Mutia yang pemalu sudah pasti ragu dan akhirnya menolak, "ndak ah! Malu."

Ia berpindah ke sisi Mutia lalu merangkul pundaknya, "Mbak, kadang cowok itu perlu diberi sinyal supaya tahu bahwa kita layak diperhatikan."

"Tapi aku ndak tahu caranya, Dhik."

Alamanda memutar bola mata seraya berpikir cepat, ia senang jika bisa membantu sahabatnya merasakan apa yang ia rasa sekarang. Debaran jatuh cinta. Ia pun mengambil ponselnya sendiri, mengetik beberapa kata lalu mengirimnya ke ponsel Mutia.

'Aku punya ide buat proyek kita. Kamu ada waktu, ndak?' -Alamanda

"Copy-paste aja, Mbak. Jangan beri kesempatan pada perasaan Mbak yang terlalu mudah ragu." tambah Alamanda yang sok paling pengalaman.

Mutia mengernyit dalam membaca sebaris pesan di ponselnya sendiri. Setelah itu ia letakkan kembali benda itu sambil menggeleng cepat, "ndak ah! Aku malu."

*

'Aku punya ide buat proyek kita. Kamu ada waktu, ndak?' -Pearl

Setelah membaca sebaris pesan dari Mutia, Panji baru sadar bahwa ia sama sekali tidak memikirkan permintaan Eyangnya. Di waktu yang amat terbatas ini hanya Alamanda yang ada di benak. Ia singkirkan hal lain yang bisa ditangani kemudian termasuk Mutia.

Panji letakkan kembali gawainya di atas meja. Ia sedang duduk bertelekan siku di dalam tenda, kafe yang akhirnya direkomendasikan Satria untuk berduaan. Adik ke duanya itu senang mengetahui sang kakak akhirnya mendekati wanita.

Di seberangnya Alamanda duduk bersimpuh, floral dress tanpa lengannya memanjang menutupi paha mulusnya. Tangan kencang hasil berlatih tari itu menggenggam gawai, sibuk mengabadikan pemandangan di bawah langit putih berawan.

"Jadinya pesan apa, Mas, Mba?"

Alamanda menyita perhatian Panji hingga lupa bahwa di luar tenda berdiri seorang pria kurus berseragam dengan kertas dan pulpen, menanti pesanan mereka. Sedangkan Alamanda sendiri tidak peduli apapun selain pemandangan yang ingin ia abadikan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 02, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dulu, Kini, Nanti (HIATUS!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang