3

9 4 2
                                    

Selamat membaca.




***

Matahari tepat di atas kepala, rasanya si pusat tata surya itu hanya dua jengkal dari kepala. Huhh sungguh panas.

"Temanya bebas, lu pilih aja yang paling susah"

"Hmm.. Maybe hewan?" tanya Aisyah.

"Sekalian kebun binatang" balas Ratih.

"Gak deng, udah pasaran"

"Nah tuh tau"

"Gue pikir nanti di rumah"

H-1 sebelum Lomba Aisyah menyibukkan diri untuk berlatih. Banyak menguras energi, pikiran, dan waktu.

Dan seperti biasa, orang tuanya tak ada yang menyemangatinya. Bahkan mereka pun tak tau jika ia ikut Lomba. Aisyah pun juga tak ada keinginan untuk memberi tau mereka, bukankah mereka sudah tak peduli?

Dewasa tak pernah memandang usia. Bahkan sekarang pun bocah belasan tahun sudah bisa berfikir dewasa. Bukankah semua itu faktor dari orang tua dan lingkungan? Jika iya, Aisyah setuju tentang itu.

Seharuanya orang tua harus berperan aktif di masa anaknya yang masih anak-anak maupun remaja, karena fikirannya masih labil.

Orang tua seharusnya bisa lebih keras terhadap anaknya agar Sang anak bisa berubah. Namun keras di dalam kata itu tidak keras dalam arti kekerasan fisik, melainkan keras dengan ketegasan, disiplinan. Bukankah begitu?

Jika orang tua tak mampu mendidik anak lantas kenapa melahirkan? Bukankah itu semua hanya tindakan nafsu?

Anak dilahirkan agar bisa meneruskan perjuangan para pemimpin. Bukan dengan sekedar melahirkan, merawat, menyekolahkan, dan kembali lagi menjadi orang tua.

Dunia hanya berisi kebohongan yang terselimuti orang-orang baik.

***

"Ibu mau pergi sebentar, jangan lupa makan!"

Aisyah hanya berdehem setah mendengar teriakan ibunya. Rumah kembali sepi. Ahh memang hari-hari sepi, tak ada canda tawa lagi di rumah, sunyi sekali.

Setelah berkutat dengan ponsel berlogo apel tergigit itu, akhirnya Aisyah memutuskan melukis bertema negara. Lebih tepatnya arab di kota mekkah. Entah ide dari mana tiba-tiba ia ingin sekali melukis itu.

Setelah berlatih kurang lebih 2 jam di meja belajarnya, Aisyah pun mandi dan segera turun menuju dapur untuk makan.

Tepat di pukul 19.00 Aisyah mendengar gelak tawa seorang perempuan dari arah ruang TV. Karena penasaran Aisyah berjalan menuju ruang TV.

"A-ayah..." mengalir sudah air mata Aisyah setelah melihat kejadian di depan matanya. Bak di sambar petir di siang hari. Sekarang hatinya benar-benar sakit seperti tertusuk beribu-ribu pisau.

Memang setiap hari hatinya sakit melihat orang tuanya yang jarang atau bahkan sudah tidak pernah lagi mengurusi dirinya. Tapi setelah melihat kejadian yang tak senonoh tadi, kini hatinya sudah sangat sakit. Bahkan kata sakit pun sudah tak ada harganya di Aisyah.

Orang-orang yang berada di ruang TV itu tak menyadari sosok gadis yang sedang mengintipnya. Ayahnya pun tak melihatnya.

Dentuman lagu yang keras masuk ke dalam telinga Aisyah. Aisyah menangis dan berlari menuju kamar.

***

"Sayang besok lagi yaa... Aku pulang dulu takutnya dia keburu pulang..."

"Iya sayang.. Makasih yang tadi, besok lagi yaa"

"Pasti dong, yaudah dadah"

Wanita tadi mengecup lama sang pujaan hati di pipi kanan dan kirinya. Setelah itu wanita tadi masuk ke taksi dan menghilang dari tempat itu.

***

"Aisyah gimana ya kabarnya? Udah lama banget gak denger kabarnya. Dia juga udah enggak ngunjungin aku lagi..."

"Huhhu sedih dehh... Besom kerumahnya aja kali ya? Berubung liburnya lama juga, semoga gak pindah"

Celetuk gadis bergamis maroon di padukan jilbab insta hitam panjang yang menutupi separuh tubuhnya. Cadar berwarna maroon melekat di wajahnya tak lupa kaos kaki dan handsock yang selalu terpasang di kaki dan tangannya.

Syifa namanya. Sahabat kecilnya yang selalu menemaninya sepanjang sekolah dasar. Sayangnya setelah lulus sekolah dasar, Syofa harus pergi ke penjara suci karena orang tuanya yang mendaftarkannya. Sedangkan Aisyah bersekolah negeri.

Aku bakal cepat update tapi sedikit-sedikit ya! Jangan lupa vote dan komennya biar aku tambah semangat lagi dan tandain yang typo atau kesalahan kata ya!



AISYAH NUR RAHMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang