🌺6.🌺

4 0 0
                                    

⚠️suport penulis dengan klik ⭐⚠️

Bismillahirrahmanirrahim...



Selamat membaca...




"IRA sama seperti biji kopi itu, di saat yang bersamaan bisa bersikap pahit sekaligus manis."

Kata-kata itu seperti nikotin yang membuat candu. Lagi-lagi otakku mengulang adegan saat Ibanez mengucapkan kata-kata tersebut. Aku mencoba mengalihkan pikiranku dengan melihat tayangan di sebuah aplikasi berlogo kotak merah dengan segitiga di tengah secara random. Naas, saat aku menemukan konten anak pengidap autism, pikiranku kembali tertuju pada Ibanez.

Empat tahun berlalu begitu saja bersama hiruk pikuk dunia kemahasiswaan. Beberapa bulan semenjak hari di mana Ibanez melontarkan kalimat itu, aku dan yang lain telah lulus dari universitas. Tapi kami masih menunggu tiga bulan lagi untuk melaksanakan upacara sakral yang kerap kali dilakukan sebelum benar-benar menjadi alumni. Apalagi kalau bukan wisuda.

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur dengan pandangan menatap ke arah langit-langit kamar. Tanganku meraba benda yang ku letakkan di atas nakas kemudian menyalakan tombol 'ON' pada benda berbentuk bulat tersebut. Seketika pemandangan galaksi Bima sakti beserta segala isi di dalamnya terpampang di langit-langit kamarku.

Dalam keheningan aku kembali memikirkan perkataan Ibanez. Mungkinkah aku pernah dengan tidak sengaja membuat hati bayi besar itu terluka? Ketidakberdayaan Ibanez memang kerap membuatku gemas hingga melontarkan kata tegas yang mungkin saja membuat hatinya sakit.

Uuggghhhhh!!!!!

Aku membalikkan badanku kemudian menenggelamkan wajahku pada bantal. Perasaan aneh yang sering muncul saat melihat Ibanez menatapku dengan intens membuatku gila!

Astaghfirullah...

Memikirkan orang yang bukan muhrim haram hukumnya Ira! Batinku berontak.

"Ra, cepetan turun ke bawah!! Ada yang cari kamu!" Teriak kak Irsyad dari lantai bawah.

Kedua alisku menyatu. Siapa? Batinku.













6. Monokrom


















Cahaya lampu remang-remang yang menyoroti foto-foto dengan figura serba putih, membuat tampilan dinding di sepanjang tangga terlihat begitu unik. Di sana tergambar dengan jelas betapa bahagianya dulu, ketika Abi masih berada di tengah-tengah kami.

"Ra, kamu dengar nggak sih? Ada yang cari kamu ini lho." Teriak kak Irsyad lagi dengan nada naik satu oktaf.

"Masih jalan, Kakak!!!" Jawabku ikut berteriak.

Kedua mataku terpaku ketika melihat sosok laki-laki yang tengah asyik berbincang dengan ummi. Kakiku yang baru saja menapak di lantai dasar, lemas ingin jatuh ke lantai. Ummi dengan wajah lembutnya tak seperti biasa mau berbincang dengan temanku. Apa yang merasukimu ummi? Pikirku.

Kak Irsyad meletakkan lengannya di atas pundak kiriku. Dia menyambut kedatanganku dan ikut menyaksikan pemandangan di hadapan kami.

"Abang gak nyangka Ibanez punya sepupu setampan dan sebaik itu," Tutur kak Irsyad setengah berbisik.

"Namanya Rey, Reyhan Mahardika."

"Kamu sudah kenal sama dia?" Aku mengangguk.

"Dia pernah datang ke kampus kita."

Perfect Ibanez--on Going-slow UpdateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang