2

99 20 2
                                    

Tidak seperti sebelum-sebelumnya, kelas menjadi hampa semenjak Bruno menyatakan pindah sekolah Minggu lalu. Ruangan itu berubah senyap tanpa ucapan pedas yang keluar dari bibirnya. Tak ada lagi ribut yang mendekap selagi para siswi kehilangan pangeran tampan mereka.

Bagi teman-temannya, Bruno adalah sosok yang sempurna. Aron juga mengakui bahwa temannya itu nyaris tanpa kekurangan sedikit pun. Kadang-kadang ia merasa iri dengan Bruno yang selalu berdiam diri namun rajin sekali.

Aron selaku teman sebangku Bruno sekarang sangat merindukannya. Sedang apa dia saat ini, Aron tiba-tiba kepikiran. Kalau seandainya temannya itu masih berada disini, mungkin Bruno akan kepanasan mendengar ocehannya.

Aron tak bisa menyembunyikan cerewet yang sudah lama melekat sempurna dalam dirinya. Bahkan sedetik tanpa berbicara sama dengan puasa setahun. Arti lain dari itu adalah Aron tidak sanggup!

Namun apa boleh buat, tangannya terlalu pendek untuk meraih letusan gunung. Aron tak bisa mengklaim jika Bruno akan terus berada disampingnya selamanya. Baginya, hadiah mewah berupa bahagianya Bruno tidaklah mudah.

Aron tahu bahwa temannya itu hanya bersandiwara. Dia tidak bodoh hingga tak menyadari bahwa Bruno tengah menyembunyikan semua lukanya. Walaupun tidak tahu persis penyebab rasa sakit yang Bruno derita, Aron tetap bisa memprediksi kapan luka itu menganga.

Aron sudah besar untuk tahu masalah setiap manusia di dunia ini. Mereka semua diberi luka tak lebih dari sanggupnya. Tuhan itu baik. Aron mengakui itu. Buktinya ia juga merasakan hal sama seperti Bruno atau yang lain.

Ya.

Semua orang punya masalah, tak terkecuali. Hanya saja, siapa yang mampu bertahan. Maka dia yang menang.

***

Aron || Hamada Asahi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang