[04]

60 12 0
                                    

Seorang pria membuka pintu gereja, deritan pelan terdengar samar kalah dengan suara orang-orang yang sedang beribadah. Pria yang menggunakan sebuah baju berkain tipis dengan bagian belakang terbuka memperlihatkan punggung putih pucatnya yang halus dengan sepasang sayap hitam terpasang di sana, tidak lupa dua tanduk yang mencuat di kepalanya. Pria itu berjalan pelan sampai-sampai tidak ada orang yang menyadari keberadaannya.

Ia berjalan di tengah-tengah orang yang sedang berdoa dan beribadah, sampai seseorang menyadari keberadaannya dan berteriak menyebabkan suasana menjadi riuh.

"I-itu iblis!! Ada iblis masuk ke gereja yang suci ini!!"

"Astaga beraninya seorang iblis datang ke tempat beribadah!"

"Apa dia ingin mati?! Seorang iblis penuh dosa menginjakkan kaki di gereja?!"

"Apa yang akan terjadi pada kita sekarang?! Iblis itu berani menyerang gereja?!"

Pria bertanduk itu tidak mempedulikan teriakan dan keributan para jemaat. Ia terus berjalan hingga sampai di depan altar.

"Berani-beraninya seorang iblis yang hina sepertimu masuk ke dalam gereja yang suci ini! Apa kau ingin mati?!"gertak pendeta menatap tajam pria itu, sedetik kemudian pria itu berlutut di depannya dengan menunduk, tatapannya kosong seakan dia telah lelah dengan dunia ini.

"Bisakah aku?"bisik pria itu lemah, ia mendongak menatap sang pendeta.

"Apa?"

"Bisakah aku mati? Orang-orang bilang di gereja ini tersimpan sebuah belati suci yang dapat membunuh iblis, dan membebaskannya dari keabadian. Kalau begitu bisakah aku mati? Bisakah kau membunuhku?"

Mata pendeta itu melebar tidak percaya dengan setiap kalimat yang keluar dari iblis di depannya. Seorang iblis yang dikenal penuh dosa, menggoda manusia dan menyebarkan kesesatan serta membawa sial, berlutut di hadapannya memohon untuk dibunuh.

"Kau pasti bertanya-tanya bagaimana iblis sepertiku meminta kematian. Aku hanya ingin terbebas dari rasa sakit ini. Ini menyakitkan dan menyesakkan. Setiap hari hingga bertahun-tahun aku menahannya tetapi tetap saja...aku tidak bisa..."iblis itu memegang dadanya, meremas kain bajunya hingga berkerut, air mata mengalir deras di pipinya.

"Siapa namamu?"

"Kim Dokja."

"Kenapa iblis sepertimu datang ke gereja dan ingin menyerahkan diri terhadap kematian?"

"Aku kehilangan seseorang. Dia manusia biasa, dia tidak bersalah. Dia hanya seorang pria biasa yang berjuang untuk hidup. Tapi...tapi...dia pergi. Dia mati di pelukanku, dia mati karena menyelamatkanku. Aku selalu bertanya-tanya kenapa dia menyelamatkan iblis sepertiku. Ini menyakitkan! Kenapa dia harus pergi?! Kenapa dari sekian banyak hal yang kupunya harus dia yang direnggut dariku?! Aku selalu menahan rasa sakit ini, ini menyakitkan. Bertahun-tahun aku menyimpan rasa menyesakkan ini, bertahun-tahun aku berharap semoga suatu saat luka ini pulih. Tapi...tapi itu tidak membantu, luka ini semakin menyakitkan! Aku masih mencintainya, bahkan hingga delapan puluh tahun sejak kematiannya. Aku tetap mencintainya dan menyimpan rasa sakit ini sendiri."

"Karena itu kumohon...jika kematian bisa menyembuhkanku dari rasa sakit ini. Jika kematian bisa membuatku bertemu dengannya lagi, dan bisa membuatku hidup bersamanya lagi. Maka...maka aku rela menyerahkan hidupku. Aku rela mati. Kumohon...bunuh aku! Kumohon bunuh aku!!"

Kim Dokja menangis putus asa di depan altar, disaksikan oleh sang pendeta dengan para jemaat di gereja tersebut. Orang-orang berbisik merasa iba mendengar rintihan dan tangisan iblis itu. Pendeta menyipitkan matanya masih ragu dengan kalimat-kalimat Kim Dokja, tetapi ia dapat melihat air mata mengalir deras di wajah yang menyimpan rasa sedih dan rasa sakit itu, seakan iblis itu benar-benar menginginkan kematian.

Our PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang