Bab 13

226 21 6
                                    

Jangan lupa vote dan komentarnya...

Maaf, typo bertebaran....

Happy reading..

*****

Disinilah Jingga sekarang, di depan sebuh rumah mewah yang di dominasi oleh chat berwarna putih. Terlihat sangat elegan, terlebih lagi hamalan rumah tersebut yang penuh dengan berbagai jenis bunga.

Jingga menghembuskan nafas pelan, setelah itu dia mengetuk pintu besar di depannya. Dia berharap, jika Harun masih berada di rumah dan belum berangkat ke kantor. Hanya pria itulah yang menjadi harapan terakhir Jingga untuk mendapatkan uang.

"Non Jingga," sapa seorang wanita paruh baya yang berhasil membuyarkan lamunan Jingga.

"Bi Evi, om Harun ada di rumah nggak Bi?" tanya Jingga sopan, ya di rumah ini ia sudah dikenali karena dulu sebelum sang ayah meninggal Jingga sering main ke sini. Bisa di bilang, dia lebih sering menginap dan melakukan berbagai kegiatannya di rumah mewah ini. Bahkan di rumah ini pula, sudah ada kamar miliknya.

"Ada non, bapak sama nyonya lagi sarapan. Non masuk aja dulu, biar bibi panggilan tuan dan nyonya," jawab Bi Evi sambil membawa Jingga masuk ke dalam rumah.

Jingga memilih duduk di ruang tamu, tidak ada yang berubah dari rumah mewah ini. Kecuali, foto dirinya yang sudah tidak ada lagi yang terpajang di dinding. Jingga tersenyum kecut, sepertinya di rumah ini kehadirannya juga sudah tidak di harapkan lagi. Jika dulu dia sangat dimanja oleh Harun dan istrinya, tapi sepertinya sekarang sudah berbeda.

"Andai waktu itu gue nggak pernah terima mas Gavin, mungkin papa masih bersama gue sekarang. Andai gue nggak ikut pergi ke pun-..."

Jingga menghembuskan nafas pelan, setelah itu dia menggelengkan kepalanya. Semuanya sudah terjadi, mau sebanyak apapun dan sesering apapun dia berandai-andai semua tidak akan kembali seperti semula. Sekarang yang perlua ia lakukan adalah melewati semua ini dengan ikhlas.

"Keluar dari rumah saya," kata seseorang dingin sambil menatap Jingga tajam.

"Om, Tante," gumam Jingga pelan sambil berdiri dan berniat untuk menyalami keduanya. Tapi dengan cepat Harun menarik sang istri dan berdiri di belakangnya.

"Keluar dari sini," ucap Harun lagi menatap keponakannya dengan tatapan tajam.

"Mas," gumam Tiwi sambil mengusap lengan sang suami. Hati wanita itu hancur saat melihat kondisi Jingga sekarang, tubuh yang terlihat semakin kurus. Wajah kusam dan baju yang terlihat sudah usang, sungguh berbeda dengan dirinya yang dulu.

"Ada apa kamu ke sini?" tanya Harun untuk bersabar.

"Aku mau minjam uang om," gumam Jingga pelan dan hal itu berhasil membangkitkan emosi Harun.

"Minjam uang? apa uang yang kamu ambil dari kakak saya tidak cukup hah!?" teriak Harun murka dan hal itu sukses membuat hati Jingga terluka. Untuk pertama kalinya pria didepannya ini membentaknya.

"Mas sabar," lirih Tiwi yang tak tega kalau Jingga dibentak oleh suaminya. Mau bagaimana pun Jingga sudah ia anggap sebagai putrinya sendiri, dia yang ingin memiliki anak perempuan, tapi Tuhan lebih mempercayainya untuk merawat dua orang anak laki-laki.

Dulu Tiwi sering meminta Jingga untuk menemaninya di rumah. Karena kedua putranya jarang berada di rumah. Irvan, putra pertamanya sedang sibuk mengurus perusahaan cabang sang suami di Korea. Sedangkan Arvan, putra keduanya sibuk kuliah di Amerika. Jadi karena itu dia sering merasa kesepian dan meminta Jingga menemaninya di rumah ini.

"Om, aku mohon om. Aku nggak tau lagi harus minta tolong sama siapa," lirih Jingga sambil bertulut di hadapan Harun.

"Kamu butuh berapa?" tanya pria paruh baya itu berusaha keras untuk mengendalikan emosinya.

JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang