🔫🔫ABR🔫🔫

11 2 0
                                    

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
   🖤JANGAN LUPA TINGGALIN JEJAK!!🖤




Ruangan yang gelap itu, mampu membuat handphone itu segera ditemukan Freya. Ia  Mencoba merangkak mendekat ke arah lemari kecil dan meraba-raba  bawahnya. Benar saja, satu buah handphone kini sudah berada di genggamannya saat ini. Handphone itu basah, bukan karena air, tetapi cairan kental berwarna merah.

Freya membuka kunci layar dengan tatapan kosong, begitu banyak kenangan di dalam handphone itu. Layar terbuka, menampilkan satu Video yang terjeda. Freya menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, bersiap-siap menonton kenangannya bersama kedua orang tuanya.

DOR!
Satu tembakan melesat dengan cepat mengenai kepala wanita setengah tua itu. Membuat wanita yang tadinya terus menangis kini membulatkan matanya tak percaya, lelaki sekitar 20 tahun menembaknya tanpa ada rasa kasihan. 

“Tuan ingin, Anda membunuh suaminya saja, tidak dengan istrinya!” Pria matang, sekitar 28 tahun memperingati lelaki yang telah menembak wanita itu tanpa rasa kasihan.

“Aku hanya berhati-hati, jika suaminya sudah buka mulut pada istrinya, berarti istrinya juga layak untuk dilenyapkan!”

Lelaki itu tampak bermain logika untuk menyembunyikan sesuatu yang mampu membuat mereka tercium oleh Polisi dan agen khusus yang sudah lama mengincar mereka. Ah, lebih tepatnya ayahnya. Pria tua dengan segala kelicikan.

“Bagaimana dengan nasib anak mereka yang masih 15 tahun?” tanya Pria matang itu.

"Sejak kapan kau begitu peduli pada nasib seseorang?" Lelaki itu tampak sinis dan sombong.

“Di mana anaknya sekarang?” sambung lelaki itu lalu membuka kancing atas bajunya.

Vallagon, menari balet adalah impiannya.”

Lelaki itu mengangguk. “Setelah membunuh dokter itu, kita akan menjemput anaknya.”

“Untuk apa?” tanya pria dewasa itu terkejut.

“Membunuhnya.”

Akibat didikan keras dari sang ayah membuat anak lelaki itu seperti tak memiliki hati. Tidak peduli dengan perasaan orang-orang, bahkan ia tampak lebih liar dari ayahnya.

“Freya sayang, jika kamu berhasil menemukan handphone ini dan masih hidup. Tolong bersembunyi! dan bawa handphone ini ke Kota Waxiti, temukan pria dewasa bernama Akkun, dia penjual koran, katakan kata kunci bunga matahari untuk awal perkenalan kalian!”

Nafasnya memburu, rasa takut dan khawatir terdengar jelas dari intonasi suaranya. Tak lama, video berhenti. Ternyata ayah Freya sudah mengatur alarm, dan menyembunyikan handphonenya di bawah lemari kecil, tepat di kamar Freya sebelum dibunuh. Dengan penuh harap agar Freya menemukan handphone miliknya.

Freya membulatkan matanya sempurna, pandangannya tersirat dendam yang begitu besar pada lelaki yang memegang pistol itu. Freya mengepal tangannya kuat, berniat membalaskan dendam ayah dan ibunya tanpa mengindahkan perintah ayahnya.

Tuk! Tuk! Tuk!
Suara sepatu kulit itu terdengar jelas di Indra pendengaran Freya saat dasar sepatunya menyapa lantai kayu dengan sopan. Freya menajamkan pendengarannya, takut jika ia salah. Benar saja, semakin lama langkah kaki yang terkesan berat itu semakin jelas berjalan mendekat ke ruangan yang Freya tempati.

Freya memegang handphone itu dengan erat, menyeka air matanya menggunakan punggung tangannya dengan kasar. Freya bergegas mendekat ke belakang pintu untuk bersembunyi.

“Aku akan mencari anak itu di lantai atas.” Suara berat itu, Freya mengenalnya, pasti itu adalah sosok pria matang di dalam video.

“Dia pasti sudah berada di rumah ini, karena saat di Vallagon, semua penari balet sudah pulang.” Pria matang kembali berujar.

“Jangan membuat keributan, beberapa polisi mungkin masih berpatroli di sekitar sini.”

“Aku tahu! Kau tak perlu menasehatiku!” Lelaki itu tampak kesal, sedari tadi ia terus saja memegangi pipinya yang tampak membiru untuk kulitnya yang putih bersih.

Beberapa bogem keras diberikan oleh ayahnya, saat mengetahui jika anaknya telah membunuh istri dari dokter itu. Ayahnya murka, karena istri dokter itu masih memiliki ikatan darah dengan ayahnya. Tapi tidak dengan Freya, karena Freya adalah anak tiri dari sang suami.

Langkah pria itu menjauh, sedangkan langkah lelaki itu berhenti tepat di depan pintu kamar Freya. Memutar knoc pintu, masuk ke dalam. Ruangan yang gelap itu membuat lelaki itu tak sadar jika Freya kini sudah berada tepat di belakangnya.

Bugh!
Bodoh! Kata itu sangat pantas untuk Freya saat ini. Bukannya bersembunyi agar tak ketahuan, ia malah membuat masalah dengan menyerang lelaki itu dengan tenaga kecilnya.

Lelaki itu tampak meringis, karena luka yang diberikan ayahnya masih baru dan sekarang ditambah karena ulah si gadis balet yang memukulnya tepat pukulan ayahnya tadi.

Ia berbalik, pisau buah yang sedari tadi berada di genggamannya hendak menusuk si gadis. Namun, gadis itu dapat menghindar dengan melakukan split.

Freya memukul betis lelaki itu dengan kuat menggunakan vas bunga yang tak jauh darinya.

“Aarrgh!” erang lelaki itu kesakitan. Pria matang yang berada di lantai atas menoleh lalu segera pergi menemui anak tuannya yang masih terlalu ceroboh dalam dunia gelap dan penuh kejahatan ini.

“Sialan!” umpat Lelaki itu langsung  melayangkan pisaunya ke arah Freya yang hendak kabur.

“Aakh!”

Pisau itu berhasil menggores perut Freya. Membuat lelaki itu segera mendekat ke arahnya. Freya melempar vas bunga yang masih setia di genggamannya ke arah lelaki itu. Sialnya, vas hanya mengenai dahi sang pria. Freya berlari secepat mungkin, dengan tangan yang mencoba menutupi luka, membuat darah sedikit tersumbat untuk mengalir keluar.

“Tolooong! Bibi Tolong aku! To—“

Bugh! Bugh! Bugh!

Freya yang berusaha meminta tolong pada beberapa tetangganya memutuskan untuk berhenti. Freya sakit hati, kecewa lebih tepatnya. Beberapa tetangganya itu, bukannya keluar dan menolong Freya, mereka malah mematikan lampu teras rumahnya, tanpa sengaja mengatakan jika mereka menolak membantu Freya. Mereka takut, karena kematian kedua orang tua Freya begitu sangat mengenaskan.

“AKU MEMBENCI KALIAN SEMUA!”

Freya berteriak sekuat tenaga dengan air mata yang kini kembali menetes. Rasa nyeri di perutnya semakin menjadi. Freya membelalakkan matanya saat kedua pria keluar dari rumahnya dengan raut wajah tak bersahabat.

"Aku akan membocorkan Vidio ini pada polisi!" Bodoh! Freya benar-benar bodoh! Semestinya ia berpikir terlebih dahulu, sebelum bertindak.

Freya berlari, bersembunyi ke sana kemari. Dengan harapan terlepas dari sosok pria asing yang ingin membunuhnya.

“Cari anak itu sampai ketemu! Dia sudah berani membuat dahiku berdarah!”

Freya mencoba menetralkan nafasnya yang memburu, tak ingin ketahuan. Tapi bau busuk sampah di tong sampah mampu membuat Freya mual.

“Sepertinya gadis itu akan pergi ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian ini,” tutur pria matang itu.

“Aku ingin kau mengarahkan beberapa anggotamu mengawasi beberapa kantor polisi di kota ini. Kirimkan mereka foto gadis anak dokter itu. Aku ingin gadis itu segera ditemukan, Kevin!”

Lelaki itu tampak kesal, dapat dilihat dari wajahnya yang kian memerah dengan rahang mengeras. Napasnya memburu, sangat jelas tersirat dendam untuk gadis usia 15 tahun itu, bahkan sorot matanya juga mengakui jika pemiliknya sedang sangat marah.


Pokoknya harus tinggalin jejak dulu!!
Komen!!
Vote!!
Jangan lupa ye!!

A Ballerina's Revenge Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang