🔫🔫 ABR🔫🔫

15 2 0
                                    

"Lihat, semakin hari gerakannya semakin baik. Membuatku iri saja."

Sedari tadi pujian demi pujian terlempar ke gadis usia lima belas tahun. Sang balerina cilik dengan wajah yang manis berhati marshmellow. Gadis itu menari dengan anggun.

First position, Second position, Third position, Fourth position, fifth position, Plie lalu kemudian melakukan tendu dan releve dengan berjinjit. Perlahan melompat kecil melakukan gerakan saute. Senantiasa mengulang gerakan dasar itu, ia tak mudah bosan dengan gerakan yang ia lakukan. Menurutnya, menari bukan seberapa cepat kau mempelajarinya, tetapi seberapa menikmatinya dengan irama.

"Ferya, apa kau tidak bosan menari terus? Setidaknya beristirahatlah sebentar."

Gadis imut yang ternyata bernama Ferya itu tersenyum tanpa menoleh ke arah sahabatnya, Muvin. Gadis cantik berlesung pipi. Freya menari mendekat ke arah Muvin dengan melakukan gerakan berputar dengan kaki berjinjit.

"Aku menikmatinya, Muvin."

Jawaban Ferya membuat Muvin memutar bola matanya malas. "Setidaknya, lakukan gerakan baru!" gerutu Muvin melipat tangannya ke depan dada.

"Aku akan melakukannya saat kakek sihir itu mengijinkanku."

Muvin menoleh ke arah Freya yang masih sibuk dengan gerakan dasar tari balet. "Berhenti memanggilnya dengan sebutan kakek sihir! Jika dia sudah tak tahan, dia tidak akan lagi mengajarimu balet!" Muvin berusaha menjelaskannya pada Freya, sahabatnya itu.

"Kakek sihir itu akan selalu mengajariku, karena itu adalah tugasnya."

Muvin hanya bisa menghela napas berat, sahabatnya ini sangat susah untuk dikasih tahu, ia sangat keras kepala. Sedangkan Freya, hanya terkekeh, lalu mulai kembali fokus dengan gerakan-gerakannya itu.

Kini jam sudah menunjukkan pukul 17.58, waktunya untuk penari balet cilik itu pulang ke rumah. Freya segera mengganti Leotard di ruang ganti. Leotard adalah baju balet, ketat dan terbuka bagian paha ke bawah dengan lengan yang beragam, untuk memudahkan gerakan para penari balet.

"Apa kau ingin menginap lagi di rumahku?"

Ferya terlihat semangat menunggu jawaban dari Muvin. Namun, detik selanjutnya semangatnya seakan pudar. Muvin menggeleng pelan.

"Pamanku akan menginap di rumahku untuk beberapa hari, jadi ... beberapa hari ini aku akan jarang ke rumahmu. Bahkan mungkin tak akan latihan balet untuk sementara waktu."

Ferya tampak menghembuskan nafas panjang. "Tapi jika pamanmu sudah pulang, kau akan menginap lagi di rumahku 'kan?" tutur Ferya membuat Muvin mengangguk semangat.

"Pasti!" jawabnya dengan seulas senyum.

Bis yang mereka tumpangi kini perlahan melambat, dan berhenti. Ferya segera turun, melambai dan melempar seulas senyum manis. Begitu juga dengan Muvin. Ferya terus melambai sampai Muvin benar-benar sudah tak terlihat.

"Ibu, ayah, aku pulang!" teriak Ferya saat hendak memasuki rumah.

Ferya memasuki rumah kayu itu dengan berjinjit dan sesekali berputar, juga melompat kecil. Mencari keberadaan ayah dan ibunya. Ah, si sosok penggila balet.

"Ibu pasti di dapur," tebak Ferya lalu segera menuju dapur dengan lompatan kecil dan berputar, perlahan mengangkat kakinya hingga sejajar dengan telinganya.

"I-ibu ...."

Ferya menghentikan aksinya, menurunkan kakinya seperti semula. Pandangannya kosong, tubuh kini merosot ke bawah seakan tak memiliki tulang. Tubuhnya keringat dingin, matanya berkaca-kaca.

"IBUUUU ..!" teriak Ferya kini menangis sejadi-jadinya.

Ferya meraung-raung seperti orang kerasukan, tak percaya dengan pemandangan di depannya. Darah kental itu berhamburan di lantai dapur, aroma amis tak sedap seakan mengacau ruangan dapur itu.

Ia menangis sekitar 10 menit lamanya, ia kemudian berlari ke setiap ruangan, mencari sosok ayah yang selalu menjaganya selama ini. Air matanya seakan tak ada habisnya saja, sayangnya, pemandangan yang ia dapatkan sangat mengerikan.

"A-AYAAAAH!"

Freya kembali meraung, menangis sejadi-jadinya. Ayah yang selama ini mengajarinya norma-norma kehidupan sekarang bernasib sama seperti ibunya. Ia menangis tersedu-sedu, terdengar sangat pilu. Freya merangkak, mendekat ke arah telepon rumah dan menelepon kantor polisi. Matanya kini membengkak setelah berjam-jam menangis.

"Ayah dan ibuku tewas, me-mereka sekarang tidak bernafas lagi." Freya mencoba memberitahu polisi apa yang telah ia alami.

"Apa kau melihat pelakunya? Di mana kamu sekarang?"

Terdengar intonasi terkejut dari seberang telepon, Freya mencoba menahan tangisnya dan memberi tahu di mana lokasinya saat ini.

"Rumah kayu Coklat nomor 23, jalan Waty."

Setelah mengatakan itu, Freya memeluk lututnya dengan erat, membenamkan wajahnya di sela-sela pahanya. Tak menghiraukan pertanyaan-pertanyaan dari polisi di seberang telepon. Hingga, setelah 29 menit, beberapa polisi datang dengan satu mobil ambulans. Mereka terburu-buru masuk ke dalam rumah.

Salah satu petugas polisi mendekat ke arah Freya, membungkuk, dan mulai membanjiri Freya dengan pertanyaan-pertanyaan yang bahkan tak ada jawaban yang bisa Freya berikan karena perasaannya yang benar-benar hancur sekarang.

"Kapan ayah dan ibumu tewas? Apa kau melihat pembunuh ayah dan ibumu? Di mana kamu saat ayah dan ibumu tewas? Apakah ada orang yang dekat dengan ayah dan ibumu? Atau kah ayah dan ibumu memiliki musuh?"

"Biarkan dia tenang dulu! Dia masih syok! Pikirannya masih sangat kacau sekarang!" Salah satu petugas polisi itu menyela pertanyaan polisi yang sedang berada di hadapan Freya saat ini.

Polisi segera memeriksa seluruh cctv dan ruangan di sana, berharap menemukan jejak atas pembunuhan misterius ini. Namun, tak satu pun jejak yang mereka temukan dari si pelaku kejahatan itu. Membuat petugas polisi itu sulit untuk menemukan pembunuh orang tua Freya.

Sudah 4 jam lamanya, kini polisi sudah pergi meninggalkan rumah Freya tepat pukul 22.14. Malam semakin larut, tetapi tak membuat gadis berusia 12 tahun itu mengantuk. Kantung matanya membengkak, hidungnya pun terlihat memerah. Pandangannya yang selalu berbinar kini tampak kosong dan dingin.

Freya menatap kosong ke arah depan, air matanya tak bisa menjelaskan betapa sakitnya Freya saat ini. Lampu kamarnya ia biarkan mati, membiarkan sesak di dada sedikit mereda. Sanak saudara dari keluarga ayah dan ibunya tiba-tiba tak bisa dihubungi. Semuanya seakan tak peduli lagi dengan Freya. Ah, inilah kehidupan nyata, di mana tanpa harta kau tak akan dipandang.

Sangat jelas, karena Ayahnya hanya sosok dokter kecil dan ibunya penjual kue dan roti. Tak ada aset berharga selain rumah yang sekarang ia tempati. Freya membenci semuanya, hanya beberapa tetangga, dengan kalimat-kalimat penuh kepalsuan.

Menari balet impianku! Satu dua tiga aku berjinjit, satu dua tiga aku berputar!
Menari balet impianku! Satu dua tiga aku berjinjit, satu dua tiga aku berputar!

"Handphone ayah?" gumam Freya.

Freya mengangkat pandangannya, mencari sumber suara alarm yang selama ini sangat akrab dengan Indra pendengarannya. Nada alarm yang sangat ia sukai, sebagai pengingat jadwal latihannya.


Gimana? Suka nggak?

A Ballerina's Revenge Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang