Bab 3- Isaac Leander

680 4 1
                                        

     'apa jangan-jangan Gina sendiri yang menyebarkan gosip itu ya? tidak mungkin deh, dia kan sahabat lama aku. Tapi jika dilihat dari perilaku Gina hari ini, mungkin saja memang benar Gina yang menyebarkannya.' Aku berbicara dengan diriku sendiri yang sesekali melihat kaca toilet seolah-olah sedang berbicara dengan orang lain.
     Aku sekarang tidak peduli dengan hukuman yang Miss Bianca beri, itu tidak masalah bagiku, yang masalah sekarang adalah bagaimana hampir satu angkatan tahu bahwa aku digosipkan suka menyontek jawaban milik Gina.

.

    Sudah setengah hari aku jalani di sekolah namun masih kurang 4 jam lagi untuk jam pulang sekolah. Bell istirahat kedua akan dibunyikan 30 menit lagi, jam 12.30. Kali ini aku kurang dapat berkonsentrasi dengan pelajaran yang sedang berlangsung. Pikiranku kemana-mana. Aku masih memikirkan mengenai hal yang terjadi di lorong setelah istirahat pertama selesai. 

     Tak hanya sampai disitu, saat aku kembali ke kelas setelah mengerjakan hukuman dari Miss Bianca, kelas yang sebelumnya ramai menjadi sepi mendadak ketika aku masuk kedalam kelas. Seluruh murid kelas 11 IPS-4 melihatku dengan intens dari atas sampai bawah lalu beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik. Sepertinya aku akan segera tidak memiliki teman.

     'Andrea! kerjakan nomor 3!'

      'Andrea!' aku segera sadar dari lamunanku ketika mendengar suara orang berteriak dan dengan sigap berdiri dari bangku milikku.

     'Jangan melamun terus! kerjakan soal di papan!'

     'Baik bu, Maaf.' Aku segera bangkit dari bangku dan berjalan menuju papan. Namun semua itu harus tertunda ketika aku terjatuh karena seseorang menjegalku.

     'mampus si copy paste jatuh hahaha.' Ternyata aku memiliki julukan baru ya?

     'Sudah-sudah, Andrea ayo kerjakan.' Aku perlahan bangkit menahan sedikit rasa sakit tetapi rasa maluku seperti ingin meledak. Dapat dipastikan mukaku sekarang sudah sangat merah. 

.

     Untung saja sekarang sudah waktunya untuk kembali kerumah masing-masing. Biasanya, aku, Gina, Syerin, Vincent, dan Lean akan pulang bersama. Namun hari ini, hanya Lean yang aku lihat sedang menunggu di tempat biasanya.

     'Lean, yang lain sudah pulang duluan ya?' tanyaku kepada Isaac Leander yang sedang sibuk melihat Instagram miliknya.

     'Eh Andrea? iya, yang lain sudah pulang duluan tadi diajak sama Gina. Aku udah tanya sama dia kamu kemana, tapi kata Gina kamu ga mau pulang bareng kita lagi.' Aku hanya mendengarkan penjelasan dari Lean tanpa bergerak.

      'Aku sih tahu kamu anaknya bukan kayak gitu, mangkanya aku tungguin aja, ternyata bener kan!'Aku tetap tidak berkutik hingga beberapa detik kemudian.

       'Aku tahu kamu lagi banyak masalah di sekolah. Yaudah ayo pulang.' Lean menaiki sepedanya dan aku juga menaiki sepedaku.

       'Jam 6 nanti aku jemput ya, kita ke taman.' Lean membuka pembicaraan terlebih dahulu lalu ku balas 'Oke'. Pembicaraan kami berhenti disitu saja, lalu kami masing-masing fokus perjalanan menuju rumah kami masing-masing.

      Rumahku dan Lean berada di gang yang sama, rumah kami berhadap-hadapan. Rumahku berada di kiri jalan gang sedangkan rumahnya berada di kanan. Kita mengenal satu sama lain sejak SMP karena kami satu sekolah dan aku sering melihatnya berangkat ke sekolah.
     Pernah suatu ketika sepedaku rusak dan akhirnya setiap hari aku menumpang dengannya. Jika kalian bertanya apakah aku pernah menyukai Lean akan aku jawab dengan jujur, iya aku pernah. Tetapi itu dulu, bukan sekarang.

      Sekitar jam 6 sore aku sudah berada di depan pagar rumah, menunggu Lean keluar dari rumahnya. Saat aku melihat Lean membuka pagar, dia menyapaku dan melebarkan senyumnya. Manis, aku mengakuinya. 

      'Ayo Drea!' Lean berseru kepadaku dan aku menjawabnya dengan menganggukkan kepala. Kita tidak perlu menaiki sepeda karena taman tersebut terletak tidak jauh dari gang kami.

.

      Selama perjalanan menuju taman, kami berdiam diri. Namun, keheningan itu akhirnya berakhir ketika Lean bertanya kepadaku.

      'Kamu gak papa?' Keenan tiba-tiba berhenti dan menoleh ke arahku.

       'Emang aku kenapa?' tanyaku yang pura-pura tidak tahu sambil tersenyum. Lean menghela nafasnya lalu bertanya lagi kepadaku. 

        'Aku serius, kamu gak papa? jawab saja dengan jujur, aku tahu masalahmu. Jangan tersenyum saat kau sedih, pahit.' Senyumku seketika memudar digantikan dengan isakkan tangis.

       'Aku engga ngerti kenapa bisa begini, Lean.'

      'Tidak apa-apa, terkadang kamu akan tidak mengerti apa yang terjadi dalam hidupmu. Tak perlu ambil pusing, jalani saja dengan semangat. Gina memang sudah lama membencimu.' Dengan panjang lebar Lean menasehatiku membuat tangisanku makin menjadi-jadi.

       'Nangis aja engga apa-apa, ayo sambil jalan ke taman,' ucap Lean yang menggenggam tanganku secara tiba-tiba. Aku ingin menarik tanganku kembali tetapi sepertinya bergandengan tangan untuk saat ini tidak masalah. Aku merasa lebih tenang ketika ada seseorang yang menemaniku.

.

      Kami benar-benar bergandengan sampai kami tiba di taman. Entah mengapa, aku merasa taman hari ini lebih suram tetapi menenangkan. Kami duduk bersebelahan di ayunan taman itu.

      'Ketika kamu merasa kecewa, sedih, emosimu bercampuran, kamu perlu menenangkan diri dan baru kembali berpikir bagaimana kamu harus menanggapi masalahmu itu. Jangan pernah bertindak ketika emosimu memuncak. Datangnya masalah bukan berarti hidupmu akan berakhir, masalah adalah awal dari kehidupan.' Lean terus menerus mengeluarkan kalimat-kalimat penyemangatnya sedangkan aku hanya terdiam dan terkadang mengayunkan ayunan yang aku duduki.

      'Ketika kamu dalam masalah, percayalah ada yang menemanimu untuk melewatinya. Kamu boleh saja berpikir untuk mengakhiri hidup, tapi jangan pernah kamu melakukannya jika tidak mau menyesal selamanya. Bagaimanapun itu, hidup lebih baik darimana mati karena bunuh diri.'

      'Nanti kalo udah baikan bilang ya, kita balik ke rumah,' kata Lean lalu dia mengayunkan ayunannya. Melihat Lean yang tersenyum dan kadang tertawa kekita memainkan ayunannya membuatku merasa jauh lebih tenang. Saat ini aku berterimakasih sekali kepada Tuhan yang mengizinkan aku mengenalmu. 

      'Lean, balik yuk,' aku berkata kepadanya dan dia mengarahkan pandangannya kepadaku.

      'Udah seneng nih ceritanya?'

      'Udah kok!' ucapku dengan senyum yang telah kembali.

      'Sip deh! ayo!' Lean beranjak dari ayunan itu dengan semangat. Aku menyusulnya dibelakang namun dia kembali menggandeng tanganku, mensejajarkan dirinya denganku. 

     'Jangan di belakang, nanti diculik om-om,' ucapnya tertawa terbahak-bahak.

     'Ucapan adalah doa, jangan gitu. Nanti kalo aku diculik beneran gimana? mau tanggung jawab?' Ancamku kepada Lean.

     'Iya maaf.' Lean mengelus rambutku sekilas.

.

     Tak terasa kami sudah berada di depan rumah masing-masing. Kami pun melepaskan genggaman.

     'Makasih ya untuk hari ini,' aku melihatnya dengan sedikit mendongak karena dia terlalu tinggi bagiku.

      'Iya sama-sama.' Setelah mendengar ucapan Lean, aku langsung masuk dalam rumah dan mulai menyalin buku bahasa Inggris dari bab 1-5.

.

      Aku baru menyelesaikannya tengah malam. Aku beranjak dari meja belajar dan menuju balkon untuk mencari angin sebentar. 

     Aku membuka pintu balkon tanpa menutupnya kembali. 

     'Jika aku jatuh hati lagi kepadamu, tolong jangan salahkan aku, Lean,' Ucapku melihat rumah Lean yang berada tepat didepan rumahku sambil sedikit tersenyum.

_____

BeranjakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang