7. Naughten rule

17 2 0
                                    

"Silence ringing inside my head, please carry me, carry me, carry me home"


Sara memang membencinya kini, tapi ia tau bahwa dirinya pernah tersenyum bersama Nanta. Laki-laki itu pernah membuat perutnya penuh oleh kupu-kupu dan semburat merah jambu merayap di pipinya. Nanta pernah menorehkan bahagia untuknya. Nanta pernah menggenggam tangannya saat dia takut pada hujan dan petir di malam hari. Nanta pernah memeluknya erat kala ia dicurangi pada salah satu ujiannya. Nanta pernah mengusap air matanya saat dia menangis merindukan Mama. Nanta pernah berada di salah satu bilik di hatinya, sebelum entah angin apa membuat laki-laki itu lenyap begitu saja. Nanta menyentak kata akhir bahkan sebelum mereka memulai apapun. Sara bahkan tidak butuh waktu untuk melenyapkan rasa sayangnya karena Nanta sudah menandaskan semua bersama kepergiannya, menyisakan Sara dengan hanya 1 rasa saja untuknya, amarah.

"Earth to, Sarasvati."

Ucapan pelan dengan nada tegas itu membuat Sara sontak menggeleng kemudian berdeham. Ia menyampirkan rambut ke belakang telinga ketika melihat Garra menatapnya lekat. Laki-laki itu duduk di sisi kanannya, menyamping dengan salah satu lengan bertumpu pada meja bar panjang dimana Sara menumpukan kedua lengannya. Lagi-lagi Caffeine yang menjadi tempat mereka untuk bertemu. Sudah cukup lama dan Sara sudah berdamai dengan tempat ini beserta semua kenangannya.

"Sorry." Gumam Sara.

"It's okay, take your time. Mau gue pesenin minum lagi?"

"Another macchiato, please."

"I think you drink too much coffee, I'll get you a smoothie this time. The berries one taste good, Aya suka banget."

Sara menyunggingkan senyum ketika Garra menyandingkan seleranya dengan selera bocah perempuan berusia 6 tahun tapi kemudian ia mengangguk. Asupan kafeinnya memang menjadi berkali lipat lebih banyak akhir-akhir ini and she needs to stop before her fuckin gerd take place.

"Great. Gue akan sekalian pesan snacks. Pizza would be good, right?"

"Get me some nacos too, please."

"Will do! Tunggu disini sebentar ya." Kata Garra kemudian mendorong kursi dan beranjak menuju counter untuk menambah pesanan.

Sementara itu Sara menatap sekitar melalui pintu kaca yang ada di sisi kirinya. Garra memilih sebuah tempat yang agak private di bagian balkon Caffeine. Laki-laki itu mengatakan bahwa pemilik gerai ini adalah salah satu kenalannya sehingga mereka bisa dengan mudah mendapatkan meja yang mereka tempati kini.

"I like it here, the view. Aya juga sering gue ajak kesini. Dia akan sibuk menggambar atau mewarnai dan gue bisa sibuk sama tugas gue. Selama gue sediakan fries and berries smoothie, anak itu akan anteng aja sampai berjam-jam."

Sara menoleh dan lagi-lagi tersenyum. Entah mengapa, ia selalu senang mendengar Garra bicara tentang adik perempuannya. Laki-laki itu bercerita dengan wajah datarnya yang biasa namun Sara seperti dapat melihat hangat dan sayang yang tersembunyi di balik iris gelapnya.

"She's cute. Tell her I say hello."

"Dia bakal senang."

"Emang dia inget gue?"

Garra kembali duduk kemudian mengangguk. "Dia punya ingatan fotografis. Mami even asked her to find the missing things at home. Creepy, kadang gue pikir dia keturunan dukun but my Mami got bleeding because of a knive so we're not." Sahutnya.

Sara tidak bisa menahan dirinya untuk berdecak kagum sementara Garra tersenyum tipis dan mengedikkan bahu, tampak begitu bangga pada adik kecilnya. Melihat laki-laki itu melempar tatap pada pemandangan Gedung-gedung kampus dan hutan disekelilingnya membuat Sara kembali dalam lamunan. Garra adalah sosok baru baginya. Namun hanya dalam beberapa kali pertemuan, ia bisa bicara dengan santai dan nyaman pada laki-laki itu. Sesuatu yang tidak sering terjadi mengingat sisi introvertnya yang masih sering kali mendominasi.

AscendancyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang