0.2

17 12 0
                                    

"Kenapa semua harus tentang fisik?" -Moana

***

"Rayyan pulang."

Rayyan melepas sepatunya di depan pintu, lalu menentengnya ke kamar. Setelah meletakkan tas dan sepatu ke tempatnya, Rayyan ke luar dari kamar untuk mencari ibunya.

Sedikit lama, Rayyan menatap tutup saji, lalu membukanya dan melihat meja yang hanya ada nasi dan tempe goreng di atasnya. Sudah tiga hari berturut-turut ia makan hal yang sama. Ia bosan.

Rayyan kembali masuk ke kamarnya, berganti pakaian santai, kaos oblong hitam serta celana cokelat yang memperlihatkan sedikit pahanya sebab sudah terlalu pendek.

Laki-laki itu pergi ke luar rumah setelah mengambil uang di saku celana sekolahnya.

"Indomie soto satu, Mba. Sama telornya satu, ya," ucap Rayyan setelah sampai di sebuah warung sembako yang berada tidak jauh dari rumahnya. Jika diukur, mungkin hanya sepuluh langkah saja untuk bisa sampai ke sana.

"Totalnya lima ribu, Mas," ucap wanita penjaga warung seraya menyodorkan plastik transparan berisi pesanan Rayyan.

Rayyan mengambil plastik itu, lalu menyerahkan uang kertas bernilai sepuluh ribu. "Ini, kembali lima ribu buat bayar kurangan sabun ibuku kemarin."

"Oke."

Rayyan segera pergi dari warung itu, rasanya sudah tak sabar memasak mie instans dikala lapar melanda seperti sekarang.

"Kenapa beli mie? Kan ibu udah masak," ucap seorang wanita paruh baya yang kini menghampiri Rayyan di tengah jalan.

"Emm ... Anu, Bu. Rayyan lagi pengen makan mi rebus campur telur," sahut Rayyan tak enak hati. Pasalnya, ia tahu perjuangan ibunya untuk membeli sesuap nasi dan tempe, sekarang ia malah membeli mie. "Biar Rayyan bantu bawain, Bu."

"Nggak usah, sana cepat masak terus makan," ujar Eny seraya merebut kembali tas berisi botol air mineral.

Sudah 17 tahun ia mengasuh putranya seorang diri tanpa seorang suami. Menjalani kehidupan berat sehari-hari dengan menjadi buruh di sawah tetangga demi mendapat sesuap nasi.

Jika saja dulu Eny tidak kawin lari dengan mantan suaminya, ia tidak akan seperti ini. Ia akan hidup bahagia bergelimang harta dengan warisan orang tuanya. Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Karena ulahnya, bahkan keluarga dan tempat tinggalnya tidak mau menerimanya lagi. Ia bahkan di tinggalkan suaminya yang dibawa paksa keluarga pria itu sesaat setelah melahirkan anak kembar.

Mungkin nasib Reyghan, tidak seburuk nasib adiknya sekarang. Sungguh Rayyan yang malang.

Untung saja, Rayyan anak yang pengertian dengan keadaan ibunya, ia selalu menjadi peringkat satu di sekolahnya, jadi Eny tidak perlu membayar biaya sekolah sebab putranya sudah mendapat beasiswa.

Sering kali wanita paruh baya itu menasihati anaknya agar tidak terlalu fokus belajar dan bermain layaknya anak-anak lain. Namun, karena mengetahui kondisi keluarganya, Rayyan memilih untuk hidup dengan terus belajar.

Lagi pula, Rayyan hanya punya satu teman sedari ia duduk di sekolah dasar, yaitu Gani. Ia tidak memerlukan banyak teman jika pada akhirnya mereka tidak memiliki manfaat dan hanya menjadi pengaruh buruk di hidupnya. Itu tidak berguna.

★★★

"Apa sudah diangkat?"

Kini, semua anggota Bharata tengah berkumpul di markas mereka. Wajah mereka terlihat cemas sebab Reyghan yang tak mengangkat panggilan selama lima jam, bahkan kini nomornya tidak aktif.

"Kita ke rumahnya aja," ucap Ical.

Vano berdiri, lalu menggeleng. "Jangan, lo tau gimana tempramennya ibu tiri Reyghan. Jika wanita itu tahu anaknya tidak ada kabar, seluruh anggota Bharata yang akan kena imbasnya."

Ibu tiri Reyghan terkenal sangat posesif, meskipun Reyghan sama sekali belum menerima wanita itu sebagai ibunya dan tidak pernah memanggil wanita itu sebutan ibu.

Sudah ke tiga kalinya ayah Reyghan bercerai lalu menikah lagi. Masalahnya bukan dengan pria itu. Namun, kedua orang tuanya yang masih serta merta dalam urusan rumah tangga anaknya meskipun umur mereka hampir 70 tahunan.

Ibu sekarang adalah ibu ke tiga Reyghan, dan yang paling galak di antara wanita-wanita sebelumnya, dan keluarganya paling kaya. Ia memiliki toko butik yang biasa didatangi artis-artis terkenal, dan putri tunggal yang nantinya akan mewarisi semua perusahaan fashion kedua orang tuanya.

"Gimana kalo Reyghan ternyata sudah di rumahnya?"

"Mending jangan dulu sampai dia menghubungi kita," tukas Gino yang langsung mendapat anggukan dari sebagian orang di sana.

"Tapi, apa lo tau cewe yang bawa toa tadi?" Ical masih menerka-nerka siapa cewe itu. "Seragam dia sama kaya kita, jadi dia pasti satu sekolah sama kita."

Vano menghela napas, lalu bersender ke sofa seraya menatap langit-langit ruangan. "Itu nggak penting sekarang, jika terjadi sesuatu dengan Reyghan. Baru kita kasih dia pelajaran."

"Setuju!"

***

Moana membungkuk untuk melihat Reyghan dengan dekat. Ia masih bingung dengan ayah pria itu, mengapa  pria itu rela membayar banyak untuk Moana. Padahal uang itu bisa saja digunakan untuk membayar rumah sakit mewah.

"Se kaya apa lo sebenarnya?" gumam Moana seraya memencet pelan pipi lebam Reyghan yang masih memejamkan mata. "Udah kaya, ganteng, bisa nakal dengan bebas tanpa takut aturan. Hidup lo pasti menyenangkan."

Moana melihat beberapa alat yang kini terpasang di badan laki-laki di depannya. Padahal beberapa jam lalu ia masih berbicara dengan Reyghan. Jujur saja, ia tidak jauh berbeda dengan para gadis di sekolah. Ia juga salah satu penggemar Reyghan dan gengnya. Menurutnya, mereka sangat keren. Seperti pemeran utama cerita fiksi yang tidak nyata adanya. Meskipun geng mereka terkenal rusuh dan terkadang Moana juga kesal, entah kenapa terkadang ia membayangkan betapa menyenangkannya jika bisa menjadi pacar salah satu dari mereka.

Moana seperti mutiara kecil diantara banyaknya berlian, tak terlihat, dan terabaikan.

Tidak terbayang olehnya bisa menjadi seperti sekarang dengan Reyghan. Menatap wajahnya sedekat ini, bahkan menyentuh sepuasnya.

Apa ini mimpi?

"Apa nanti saat lo sadar, lo akan inget gue?" tanya Moana. "Ah, lo pasti lupain gue."

Moana terdiam. Ia hanya gadis biasa yang jauh dari kata sempurnya, bagaimana bisa ia membayangkan bersanding dengan laki-laki seperti Reyghan?

Moana teringat ketika pergi dengan beberapa temannya, ia seperti pemeran figuran di cerita cinderella. Ia tidak bukan apa-apa jika dibanding temannya yang kaya dan juga cantik.

Saat bertemu beberapa pria, selalu temannya yang diperhatikan seakan ia tidak pernah ada di sana. Bahkan beberapa penjual selalu mengabaikannya, dan hanya bertanya dengan temannya.

Mungkin Moana bukan gadis memiliki hati busuk yang iri dengan temannya dan gila pujian bahkan butuh perhatian lawan jenis, tapi lihatlah keadaannya. Semakin ia terabaikan, rasa percaya dirinya semakin menurun. Dengan tidak tahu bersyukurnya, ia merutuki dirinya beberapa kali karena terlahir tidak secantik gadis lainnya.

"Aku ingin jadi pemeran utama di cerita pangeran dan cinderellanya," gumam Moana.

Apakah mutiara kecil di antara banyaknya berlian itu akan terlihat suatu hari nanti?

TBC.

REYGHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang