0.4

18 12 0
                                    

Rayyan mengerutkan kedua alisnya ketika membaca beberapa dokumen tentang apa yang harus ia lakukan jika menjadi Reyghan.

Bernada keras dalam berbicara, tidak pernah meminta maaf, ketua geng motor Bharata, tidak pernah tertarik belajar dan selalu peringkat urutan ke tiga dari peringkat terakhir. Tunggu ....

"Apa Reyghan bodoh?" tanya Rayyan. "Apa dia selalu peringkat terakhir?"

Tio hampir tersedak saat meminum kopi buatan Eny. "Begitulah."

Sedangkan Rendy sedikit menahan tawanya. "Tidak, ada dua siswa lagi yang lebih akhir dari Reyghan."

"Bukankah itu sama saja kalau dia bodoh?"

"Iya, itu akan memudahkanmu. Kamu tidak perlu belajar di sana, dan jalani kehidupan bebas Reyghan saja," ucap Tio seraya meletakan cangkirnya di atas pisin.

"Tapi aku nggak mau kalau harus meninggalkan belajar. Mungkin selama tiga bulan aku jadi Reyghan, tapi setelah itu? Aku akan jadi diriku sendiri. Jika aku nggak belajar, akan susah nantinya mengejar pelajaran yang tertinggal dan aku akan kehilangan beasiswaku nanti."

Tio menghela napas. Ia melihat 180 derajat perbedaan kedua putranya. Reyghan dibesarkan dengan kehidupan bebas, sedangkan Rayyan dibesarkan dengan tekanan beasiswa yang mengharuskannya bekerja lebih keras dalam belajar.

"Selain belajar, kamu harus benar-benar melakukan apa yanh dilakukan Reyghan. Jangan sampai ada yang curiga, terutama di keluarga ayah," ujar Tio, ia kembali menghela napas lega. Akhirnya rasa kekhawatirannya sedikit menurun. "Rendy akan mengajarimu cara berpakaian serta perilaku Reyghan yang begitu khas nanti saat kita sampai di Jakarta."

"Bukankah kita akan ke Jakarta besok atau lusa?" tanya Rayyan. Ini terlalu terburu-buru, ia bahkan belum menyiapkan banyak hal. Terutama ia tidak ingin pisah dan meninggalkan ibunya sendirian. "Bagaimana dengan ibuku?"

"Dia akan tetap di sini. Tapi kamu jangan khawatir, ke depannya ibumu tidak akan bersusah payah kerja keras lagi. Ayah akan membiayai kehidupan ibumu mulai sekarang."

Meskipun berat, Rayyan merasa lega melihat senyuman tulus ibunya yang jarang sekali ia lihat. Sepertinya wanita itu masih memiliki perasaan terhadap mantan suaminya. Pantas saja selama ini Eny selalu menolak lamaran beberapa pria di desanya.

"Baiklah kalau gitu, aku akan mempersiapkan diri."

***

Vano duduk di area parkir sekolah untuk menunggu kedatangan Reyghan. Setelah satu hari menunggu kabar temannya itu yang tiba-tiba menghilang dari Sabtu, pikirannya selalu tidak tenang. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi dengan Reyghan.

"Gimana? Udah ada kabar?"

Vano menoleh ketika mendengar suara Ical yang kini menghampirinya.

"Belum."

"Sial, gue mau cari cewe pembuat onar waktu itu," ucap Ical. "Ayo cepat, mumpung ingatanku masih HD."

"Yang lain?" tanya Vano seraya menyapu pandangannya ke belakang. Tidak ada tanda-tanda kedatangan geng Bharata.

"Wah, itu dia kan?" Ical menunjuk seorang gadis yang tengah menyapu halaman kelas. Meskipun gadis itu mengenakan topi abu-abu, ia masih bisa menebaknya.

Mereka berdua meninggalkan tempat parkir, lalu segera menuju ruang kelas yang berada di pojok.

"Hei gadis toa," sapa Ical seraya mendekati Moana.

Moana terkejut mendengar sebutan toa, ia dalam masalah sekarang, tapi jika ia ditanya tentang keberadaan Reyghan, apa yang harus ia jawab? Ia sudah berjanji kepada ayah laki-laki itu agar merahasiakan keadaan Reyghan kepada siapa pun.

REYGHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang