0.7

24 12 1
                                    

Rayyan menaruh ranselnya di atas meja belajar, setelah itu melepas kaos kaki dan membuka atasan seragam sekolahnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang dengan kedua kaki yang masih menapak permadani.

Rayyan menghela napasnya setelah memikirkan apa yang dikatakan Moana beberapa waktu lalu sebelum ia pulang sekolah. Gadis itu seakan memperingatinya untuk tidak menghancurkan hubungan dengan Jasmin. Apa mungkin Moana tahu tentang Reyghan?

Semakin dipikirkan semakin membuat Rayyan penasaran.

"Ah, sudahlah." Yang harus dilakukan Rayyan hanya patuh menjadi saudaranya saja. Ia tidak perlu terlalu berlebihan mencari tahu sesuatu yang belum saatnya ia tahu. Bukan sekarang, tapi nanti pasti ia akan tahu semuanya.

"Tuan, waktunya makan siang."

Rayyan segera duduk setelah mendengar suara Rendy dari depan pintu. Ia masih belum terbiasa dipanggil ketika waktunya makan oleh seseorang. Biasanya, ia selalu makan tidak tepat waktu, hanya ketika ia lapar saja. Ibunya terkadang hanya menyediakan nasi tanpa lauk, dan sebelum makan ia pasti harus membuat lauk atau membelu mi instans terlebih dahulu. Hal itulah yang membuat selera makan Rayyan terkadang menurun. Apa lagi jika ibunya masak tapi dengan lauk yang sama berulang kali.

Namun, dengan demikian, Rayyan menjadi pribadi yang mandiri dari teman-temannya yang lain. Ia selalu membawa bekal dari rumah meskipun dengan lauk telur dadar. Ia tidak suka jajan, lebih tepatnya ia memilih untuk membeli lauk dari pada untuk membeli jajan yang tidak menjamin kekenyangan dan kesehatan.

Rayyan segera memakai kaos oblong, serta mengganti celananya dengan celana santai yang pendeknya selutut.

"Maaf, Tuan. Sepertinya pakaian Anda kurang pantas, ada kakek Anda di bawah." ujar Rendy setelah Rayyan ke luar dari kamar. "Tuan Reyghan tidak pernah memakai celana pendek di depan kakeknya."

Meskipun Reyghan memiliki tingkat kesopanan yang minim, laki-laki itu tidak pernah melanggar aturan kakeknya.

"Ah iya maaf, bentar aku ganti dulu." Rayyan sedikit canggung, ia belum terbiasa menghilangkan kebiasaannya di rumah.

***

Moana menghela napas, hampir empat hari ini ia selalu jadikan Reyghan yang tengah koma di rumahnya sebagai tempat curhat. Entah itu tentang teman di sekolahnya, atau pun keluarganya yang sudah hampir sebulan tidak pernah menanyakan kabar kepadanya. Meskipun adiknya lebih penting di sana, ia masih tetap anaknya juga yang butuh perhatian orang tuanya. Apa mereka membuangnya?

"Bahkan mereka nggak pernah nanya kabar gue, makanan gue, atau uang yang mereka kasih dua bulan lalu ke gue masih ada atau enggak," gumam Moana sembari menyenderkan kepalanya di samping tangan Reyghan yang masih diimpus. "Apa gue bukan anak mereka?"

"Apa lo tau? Saudara kembar yang 90% mirip banget sama lo itu nggantiin posisi lo di sekolah?"

"Padahal kalian hanya mirip muka doang, kepribadian kalian jauh beda. Tapi anehnya, semua orang di sana dengan mudahnya tertipu. Lucu kan?"

"Mungkin meskipun gue nggak tau keadaan lo, gue bakal paham langsung kalian orang yang berbeda."

Dari semua hal yang ia pikirkan, ia hanya fokus pada Reyghan. Sebelum laki-laki itu ditangani dokter pribadinya, Reyghan masih bisa sadar bahkan berbicara kepadanya. Akan tetapi setelah dipasangkan beberapa alat, laki-laki itu malah tidak sadarkan diri sampai sekarang. Apa mungkin itu hanya efek bius obat untuk memulihkan kembali keadaannya?

Moana kembali menghela napasnya yang ke lima kali. Sudah cukup rasanya unek-unek yang ia rasakan terlontarkan meskipun dengan orang yang tidur. Ia lega. Sekarang waktunya ia mencuci seragam.

***

Rayyan menarik kursinya, dan segera duduk di tempat yang sudah ditunjukkan Rendy.

Ada empat orang yang duduk di meja persegi itu. Ada pria paruh baya dengan kumis hampir seluruhnya memutih. Ada ayah dan ibu tirinya yang sibuk dengan ponsel masing-masing, dan ada dua pasangan suami istri yang Rayyan ketahui dari data kemarin itu adik ayahnya dan pria di samping itu suaminya.

"Maaf, Dika terlambat."

Rayyan menoleh ketika mendengar suara dari arah pintu. Seorang pria berwajah barat memakai jas rapih dengan senyum sapanya, itu Dika. Adik sepupunya.

Umur Dika lebih tua sepuluh tahun dari Reyghan, pria itu sekarang bekerja di salah satu perusahaan kakeknya. Di antara Reyghan dan Dika, mereka akan menjadi penerus perusahaan. Bedanya, salah satu dari mereka yang terpilih oleh kakeknya akan mendapat perusahaan utama, dan yang lain mendapat perusahaan cabang.

Umur kakek mereka sudah 80 tahun, dan berencana memberikan warisannya ketika Reyghan ulang tahun ke 18 tahun dan memiliki KTP.

"Tio, Vanya, taruh ponsel kalian dan kita mulai makan siang," ujar Ferdi.

"Iya, Pah. Ada kerjaan mendadak," sahut Vanya lalu meletakkan ponselnya di samping piring.

Vanya mengambil secentong nasi, lalu ia sodorkan ke piring Rayyan. "Kamu harus makan lebih banyak. Lima minggu lagi ulang tahun mu, jadi kamu harus sehat selalu."

Rayyan mengangguk setelah meletakkan piringnya kembali. "Terima kasih, Bu."

"Terima kasih, Bu?"

Rayyan langsung mendapat tatapan tak mengenakkan dari ayahnya. Ia lupa jika hubungan saudaranya dengan ibu tiri itu tidak begitu baik.

Tio tertawa untuk menghipangkan suasana canggung itu. "Kamu ini sudah bisa meledek, ya. Mentang-mentang Vanya bentar lagi mencalonkan diri jadi Bupati."

"Ah, jadi itu hanya sindiran," gumam Vanya yang langsung memasang ekspresi jengkel. "Tapi untung saja itu hanya candaan, jika benar Reyghan sopan dan berkata terima kasih. Mungkin aku akan langsung jantungan. Akan merepotkan jika harus ada ambulan ke rumah."

"Bagaimana nilai sekolahmu?" tanya Dika.

Seperti kata Rendy, Dika selalu mengolok-olok Reyghan dengan bertanya tentang masalah sekolah untuk mencari perhatian semua orang. Dulu, pria itu selalu mendapat peringkat tiga besar di sekolahnya. Meskipun semua orang tahu jika itu pekerjaan ayahnya yang menyuap beberapa guru karena pangkatnya yang sebagai ketua yayasan pendidikan. Dika selalu memilih menjadi peringkat tiga agar orang-orang menganggapnya itu usahanya sendiri. Meskipun tidak ada yang percaya. Tetap saja, Dika menganggap seakan-akan ia juara karena usaha dan kehebatannya sendiri.

"Baik, sepertinya ujian kali ini aku bisa dapat dua besar, dan menandingimu yang selalu peringkat tiga besar," sahut Rayyan.

Semua orang yang duduk di meja makan terdiam sejenak. Mereka tahu dari sekolah dasar Reyghan paling tidak bisa dalam hal belajar, dan sekarang anak laki-laki itu menantang sepupunya. Mereka tertawa bersama dan menganggap ucapan Rayyan hanya candaan belaka.

"Kamu sekarang jadi sering bercanda, ya," ucap Vanya yang langsung mendapat anggukan dari semua orang jika perkataan wanita itu benar.

Sedangkan Rayyan hanya diam, mereka tidak tahu jika ia pernah hampir mengikuti lomba provinsi jika saja ia memiliki uang untuk naik kendaraan ke Jakarta waktu itu.

Lain dari semua orang, Tio yang tahu siapa Rayyan hanya terdiam dan melanjutkan makannya. Ia adalah orang kedua setelah Rendy yang percaya dengan omongan Rayyan.

TBC.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 07, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

REYGHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang