0.5

17 12 0
                                    

Beberapa jam sebelum berangkat sekolah.

Mobil yang Rayyan naiki bersama asisten dan ayahnya sampai di sebuah kediaman di Jakarta. Rumah itu terlihat sederhana, akan tetapi memiliki properti yang jelas terlihat mahal.

Rayyan menyapu pandangannya ke sekitar, ia melihat dua anak kecil perempuan yang juga terlihat kembar. Mungkin ia dan saudaranya kembar sebab gen dari ayahnya.

"Nanti kalau ada wanita dengan rambut sebahu jangan sapa dia, meskipun dia istri ayah sekarang tapi kalian tidak akrab," ucap Tio seraya menoleh ke belakang.

Rayyan mengangguk, ternyata ayahnya sudah menggantikan ibunya dan menikahi wanita lain. Apa ibunya tahu tentang ini?

"Masuklah, nanti Rendy akan mengajakmu berkeliling agar kamu tau semua tempat di rumah ini," titah Tio, setelah itu ia melangkahkan kakinya berbalik dengan tujuan Rayyan.

Rendy menghentikan Rayyan segera. Membuka kancing kemeja anak laki-laki itu hingga terlihat kaos oblong di dalamnya. Lalu mengacak rambut Rayyan guna membuatnya sedikit terlihat keriting.

"Nanti saya bantu dengan catokan," ucap Rendy yang tahu persis bagaimana fisik tuannya. "Perbaiki jalanmu, jangan menunduk dan busurkan dadamu."

"Baiklah."

Rayyan mengikuti semua perintah asistennya, mungkin sedikit belajar lagi sudah membuatnya terlihat seperti Reyghan.

Mereka sampai di kamar dengan luas kira-kira 12 meter. Ada beberapa alat musik yang tergantung di dinding serta sertifikat penghargaan seni. Sepertinya Reyghan tidak pandai dalam pelajaran. Namun, memiliki bakat dalam seni.

"Tidurlah, besok Anda harus ke sekolah!" titah Rendy setelah itu ke luar dari kamar.

"Terima kasih," ucap Rayyan sebelum pintu tertutup.

Rendy yang semula akan segera menutup pintu tiba-tiba terhenti, lalu menghela napas. "Tuan Reyghan tidak mengatakan terima kasih."

"Hanya ada kita berdua, lain waktu nggak akan ku ulangi!" sahut Rayyan lalu berbalik untuk melihat-lihat kamar yang luasnya tiga kali lipat dari miliknya itu.

***

Moana terdiam beberapa saat mengingat wajah Reyghan dan laki-laki yang beberapa waktu ia temui. Mereka jelas-jelas memiliki kemiripan yang hampir 90%. Itu menakjubkan, bahkan ia hampir tertipu jika saja ayah laki-laki itu tidak memberitahunya.

Moana mempercepat langkahnya untuk melihat laki-laki yang berbaring di kamarnya.

"Syukurlah lo masih di sini," gumam Moana setelah melihat laki-laki yang masih belum siuman dari dua hari lalu.

Dokter pribadi Reyghan sering mengunjungi rumahnya untuk memastikan keadaan laki-laki itu. Bahkan hampir sehari tiga kali jika tidak ada hambatan.

Moana duduk di samping Reyghan. Menatapnya dengan sangat lama. "Lo adalah halusinasi yang ngga mau gue lenyapkan sama sekali."

Moana berjingkrak-jingkrak ketika mengingat caranya menyelamatkan laki-laki itu. Jika Reyghan sadar, apakah ia akan ditawarin beberapa hal atas terima kasih laki-laki itu? Atau ia akan menjadi dekat seperti seorang teman?

Bagaimana jika pria itu malah menyalahkannya karena membunyikan sirene? Ah lupakan saja, lagi pula ia sudah membantunya, besar kemudian Reyghan akan mengingat kebaikannya.

Sial, membayangkannya saja sudah membuat Moana bersemangat.

Gadis itu segera membuang tasnya sembarangan, mengambil handuk di belakang pintu, lalu segera berlari ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

***

"Lo nggak kenapa-napa, kan?" tanya Bian seraya menepuk pundak temannya.

Rayyan menatap lama laki-laki yang kini duduk di sampingnya. Bertubuh kekar, namun berwajah baby face dan suara berat. Itu Bian, salah satu teman dekatnya.

"Gue nggak kenapa-napa," sahut Rayyan.

"Tapi gue ngrasa ada yang beda dari lo." Bian menatap langit-langit markas dengan kedua tangan untuk tumpuan tubuhnya. Meskipun nakal, Reyghan punya sisi lembut sendiri. Ia tidak tega melihat sifat temannya berubah gegara seorang gadis. "Gue tau lo sedih karena Jasmin waktu itu. Tapi please, don't be someone else."

Rayyan menoleh sekilas. Jasmin? Bukankah itu pacarnya? Apa gadis itu ada kaitannya dengan keadaan Reyghan saat ini?

"Mau gimana pun dia pacar gue."

"Sejak kapan lo jadi pemaaf? Apa lagi dengan kesalahan Jasmin yang menurut gue udah keterlaluan." Bian mengambil ponselnya. Beberapa waktu lalu ia diperintahkan Reyghan dan sempat mengambil video untuk bukti jika Jasmin telah berbuat salah.

Rayyan mengambil ponsel Bian dan melihat video kejadian sebelum akhirnya suara sirene polisi terdengar. Jadi, penyebab Reyghan terluka hingga sekarat ada hubungannya dengan Jasmin.

"Dan lo tau cewe yang tadi ditarik lo?" tanya Bian seraya mengambil kembali ponselnya. "Dia yang bunyiin sirene sampai kita lari terbirit-birit."

Rayyan terdiam. Ia ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan saudara kembarnya. Semuanya ada kaitan antara Jasmin dan gadis itu. Ia harus menyelidiki Jasmin dahulu, setelahnya ia akan menyelidiki gadis itu.

"Hm," gumam Rayyan. Ia bingung apa yang harus dikatakan, dengan artian ia tidak pandai bereaksi terhadap sesuatu sebab selama ini ia selalu acuh dengan apa pun kecuali nilai dan ibunya. Jika bersama Gian pun sama.

"Lo Reyghan beneran?" tanya Bian seraya menempelkan punggung tangannya ke kening teman di depannya. "Nggak biasanya lo kaya gini."

Rayyan mengedipkan matanya beberapa kali. Apa ada yang salah? "Emang biasanya gue gimana?"

"Gini, Anjing! Sial! Brengsek! Bajingan! Mau mati?! Nggak bisa dibiarin! Sampah!"

Rayyan kembali membeo, seingatnya, se umur hidup ia tidak pernah berkata kasar seperti itu meski dalam keadaan sangat marah sekali pun.

"Ah, gue lagi males marah-marah. Lagian cewek kaya Jasmin udah nggak ada gunanya buat gue. Buang-buang tenaga aja," ucap Rayyan. Ia tidak tahu Reyghan seperti itu atau tidak. Yang jelas, sebagian besar laki-laki tidak mau memperdebatkan gadis yang mencampakkannya. Bisa dibilang, gengsi mereka terlalu besar untuk mengakui apa yang mereka rasakan. Laki-laki cenderung diam jika disakiti.

"Nah, ini baru Reyghan," ujar Bian seraya tersenyum. "Balik aja, yuk. Yang lain kayaknya masih sibuk sendiri."

Rayyan mengangguk, lalu membawa tasnya dan pergi mendahului Bian.

***

Moana mengeringkan rambutnya yang terlihat basah dengan handuk putih, setelah itu mengambil roti bekas gigitannya beberapa waktu lalu. Ia memakannya seraya berjalan untuk membereskan meja di samping Reyghan.

"Hh ...."

Moana menghentikan lengannya dan menoleh setelah mendengar rintihan Reyghan. Jari telunjuk pria itu bahkan bergerak pelan.

Moana segera mengambil ponselnya dan menelepon dokter Sean.

"Sepertinya Reyghan mulai sadar, dia merintih dan menggerakkan jarinya," ujar Moana setelah panggilan tersambung.

"Baiklah saya segera ke sana."

Moana menutup panggilan ponselnya karena tidak sabar menanti kesadaran Reyghan. Hanya beberapa menit lagi pria itu pasti akan membuka matanya.

Moana terus menatap Reyghan dari samping seraya memegangi tangan laki-laki itu. Rasanya begitu deg-degan jika membayangkan bagaimana reaksi laki-laki itu jika tahu ia yang merawatnya bahkan di rumahnya selama beberapa hari ini.

Bukan ingin diakui atau tidak tulus merawat Reyghan. Moana hanya ingin Reyghan mengenalnya dan dekat dengannya.

TBC.

REYGHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang