6. Sebuah Saran

19 7 3
                                    

Pagi ini Sefa sedikit terlambat mengikuti jam kuliah pagi karena semalam melakukan vidcall bersama Shaka. Untung saja tidak ada jadwal presentasi. Setidaknya tidak panik dua kali atas kesalahannya.

Di bangku paling belakang Sefa mendudukkan diri. Masih sempat ia membuka ponsel tanpa mengeluarkannya dari tas. Ada dua pesan Shaka yang kini membuat ia tersenyum kecil.

Shaka:
Terlambat gak?

Shaka:
Nanti jangan lupa kita ketemu di gazebo deket telaga ya. (⁠/⁠^⁠-⁠^⁠(⁠^⁠ ⁠^⁠*⁠)⁠/

Sefa menahan senyum. Ia melirik ke arah dosen lalu membalas pesan Shaka dengan gerakan cepat.

Sefa:
Aman kok. Nanti aku kabari lagi ya.

Tiga jam berlalu. Dua mata kuliah berhasil menyita energi paginya. Sefa segera meninggalkan kelas menuju tempat janji temunya dengan Shaka.

Pemuda yang sedang duduk memangku laptop itu membuat Sefa tersenyum samar. Gadis itu kembali melangkah sedikit berlari mendekati Shaka yang duduk membelakanginya.

"Dorr!" Sefa menepuk bahu Shaka cukup keras. Pemuda itu tidak terkejut. Ia menutup laptopnya dan meletakkannya di samping.

"Kok gak kaget sih," gerutu Sefa.

"Radarku udah menangkap keberadaan kamu dari jarak 1km sekalipun!"

Sefa mencebik mendengar Shaka berusaha menggombal. Namun jangan tanya bagaimana respon tubuhnya, rasanya seperti ingin melayang ke udara. Sefa masih berusaha biasa saja setiap Shaka melontarkan kalimat yang membuat hatinya berbunga-bunga.

"Oh iya, aku bawa bukunya. Ini aku balikin sendiri atau gimana?"

"Aku balikin sendiri aja. Kamu sebelum Dhuhur ada jam lagi, 'kan?"

Sefa mengangguk. Meskipun baru mengenal satu minggu, tapi Shaka sudah menghafal kegiatan gadis itu. Shaka bahkan dapat meyakini jika Sefa merasa dispesialkan.

"Satu jam sebelum kamu balik kuliah lagi, aku mau ajak incip sambel buatan Ibuku. Kemarin Ibu maketin makanan dan pagi tadi baru nyampek. Jadi aku mau berbagi sama kamu."

"Kenapa aku? Aslan temen sekamar kamu—"

Belum selesai bicara Shaka menyahut. "Dia udah makan juga sebelum ngampus. Aku dikirimi makanan sekardus. Sekarang waktunya aku berbagi ke kamu."

Shaka duduk dan mengeluarkan kotak makanannya. Sefa duduk di samping Shaka menunggu pemuda itu menyiapkan sarapan untuknya.

Disela-sela membersihkan sendok dengan tisu. Shaka mencuri pandang lalu melempar senyum tipis, lagi-lagi tingkah sepele itu berhasil membuat jantung Sefa menendang-nendang mengusik konsentrasinya. Benar-benar hanya satu lengkung senyuman, tapi tatapannya begitu memabukkan. Candu. Sefa semakin ketergantungan jika tidak melihat wajah Shaka dalam sehari.

"Kamu disayang Ibu karena anak terakhir ya, Ka?"

Shaka memberikan sendok pada Sefa lalu menjawab, "Ibu sayang sama yang lain juga, Fa. Meskipun Ayah udah lama meninggal, Ibu tetep bisa jadi orang tua yang baik buat semua anaknya tanpa pilih kasih."

Sefa terhanyut menatap pemuda di depannya. Belum sepenuhnya mengenal Shaka, tapi ia ingin lebih dalam mengetahui latar belakang keluarga Shaka. Sefa mengerjap saat sadar jika ia semakin agresif.

"Keren banget Ibu kamu."

Shaka tersenyum simpul lalu mengangguk. "Kalau gak ada banyak tugas, mau aku ajak ke rumah. Ketemu Ibuku?"

Sefa mematung sempurna. Ia tidak menyangka akan mendapat tawaran itu. Saking terkejutnya ia tidak langsung menjawab dan terus menatap Shaka mencari keseriusan. Apa ini salah satu kemungkinan, jika Shaka memiliki ketertarikan dengannya juga.

Kisah Sefa dan Mas VespaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang