7. Penawaran baru

17 7 1
                                    

Sejak kemarin Aslan dibuat penasaran melihat Shaka bertindak sumringah. Benar-benar memasuki kategori kasmaran, pemuda 20 tahun itu terus-menerus tersenyum. Bahkan setiap menit Shaka mengecek ponsel, sungguh berbeda dari biasanya. Aslan semakin yakin jika Shaka sedang merasa bahagia karena suatu hal.

Aslan yang diam-diam memperhatikan mulai memiliki feeling tidak enak. Sebagai teman yang tinggal satu atap, dan sering melakukan aktivitas bersama, ia tahu bagaimana baik buruknya Shaka.

"Kamis bukannya masuk siang, Shak?" tanya Aslan mencoba memancing.

Shaka mengambil sepatu lalu duduk di tepi ranjang dan mengangguk menjawab pertanyaan Aslan. "Trus? Kenapa jam 8 udah sibuk siap-siap? Mau ngopi dulu atau belajar bareng?"

Shaka terkekeh geli. Aslan sebenarnya tahu jika hal demikian sangat tidak mungkin dilakukan seorang Shaka. Teman berbagi kamarnya itu memang mudah memahami materi dengan cara ajaib, tapi bukan dari belajar bersama, atau malah membaca buku berjam-jam. Bagi Shaka, lebih mudah memahami materi saat sedang bersantai, bukan dalam forum resmi dengan suasana serius.

"Kamu ini belum 100 persen sadar?!" balas Shaka tertawa kecil melirik Aslan yang baru saja bangun tidur. "Bisa-bisanya lupa, kalau aku anti belajar bareng. Yang ada malah aku diusir karena sering usil ke mereka."

Aslan menggaruk tengkuk mencoba mencari kalimat pancingan lain. "Ya siapa tau kamu berubah rajin jalur seseorang."

Shaka hanya tersenyum. Namun dari sana, Aslan menafsirkan jika dugaannya mendekati benar.

"Aku berangkat dulu, Lan."

Aslan mengangguk lalu kembali memikirkan, kira-kita siapa yang membuat wajah Shaka berseri-seri pagi ini.

***

Materi kuliah pagi ini seakan menjadi angin lalu di telinga Sefa. Gadis dengan kemeja green sage dipadu jilbab segi empat dan kulot hitam itu malah menyusun banyak pertanyaan saat bertemu Shaka. Beruntungnya hari ini dosen tidak melempar pertanyaan padanya secara mendadak. Bisa-bisa ia kelimpungan karena sedari tadi tidak fokus  menyimak.

Jam kedua untuk kelas Sefa berakhir. Almira teman yang cukup dekat dengan Sefa di kelas mengajak ke perpustakaan untuk mencari buku tambahan referensi. Namun Sefa menolak penuh sesal.

"Maap ya, Mir. Aku ada janji sama orang. Maap banget."

Almira si gadis berkacamata minus itu memberi reaksi dengan mencebikkan bibir. "Sama Yelda ya?" Meskipun Yelda berada di fakultas lain, tapi Sefa memang sering menghabiskan waktu dengan Yelda, dan tidak jarang Yelda mampir ke kelas Sefa untuk mengajak pulang atau sekedar menunggu jam kuliah berikutnya.

Sefa menyengir tidak bisa menjawab. Ia memilih diam hingga Almira mengangguk dan tidak memaksa.

"Lain kali aku temenin ke perpus deh."

Almira tersenyum manis. "Santai aja, Fa. Jangan merasa bersalah begitu."

Sefa terkekeh sesaat. "Sorry, ya. Sekali lagi sorry."

Almira mengangguk. "Iya. Udah ya, aku ke perpus dulu. Kalau aku lupa, atau dosennya datang lebih awal, jangan lupa calling-calling."

"Siap, Cantik!" seru Sefa memberi hormat.

Almira pergi meninggalkan kelas. Sefa pun beranjak ke gazebo dekat telaga menemui Shaka.

Seperti biasa. Shaka sudah sampai terlebih dahulu. Selama mereka melakukan janji temu, Shaka hampir tidak pernah terlambat, malah selalu datang sebelum jam janji dibuat. Dan hal itu membuat kekaguman Sefa berkembang biak.

Kisah Sefa dan Mas VespaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang