"Aku pernah bilang berapa kali? Kalau ada masalah cari aku, jangan berbuat seperti ini!", Morgan menggenggam erat pergelangan tangan Bryan yang memegang cutter.
Bryan tidak memedulikan perkataan Morgan, ia terus berusaha menurunkan benda tajam itu ke urat nadinya yang sudah mulai memerah.
Tenaga Bryan kalah jauh dengan Morgan, pergelangan tangannya menjadi lemah untuk menggenggam cutter, akhirnya benda tajam itu lepas dari genggaman, jatuh ke atas meja.
Morgan menarik tangan Bryan dan menbawanya ke kamar Morgan, di berikan dog muzzle agar Bryan tidak menggigit tubuhnya untuk self harm, lalu mengunci tangan yang tidak terluka di kaki kasur, agar Bryan tidak kabur mencari benda tajam.
Bryan menatap Morgan dengan mata kosong, seperti mata tanpa harapan, atau kalau dalam komik, mata tanpa bulat putih.
Ia membiarkan orang mengontrol dirinya. Bryan sudah pasrah akan kelakuannya, ia ingin menyesali hidupnya dengan mengakhiri hidup.
Tapi, ia barusan seolah melihat seorang malaikat, orang itu menghentikan kelakuan gilanya dari mengakhiri hidupnya.
Bagi Bryan, itu sudah tidak ada efek. Ia merasa ia pantas masuk neraka.
Hidup di dunia ini adalah sebuah kesalahan, harusnya ia tidak perlu datang.
Tanpa di sadari, air matanya mengalir.
Morgan datang membawa kotak P3K. Ia membersihkan luka di tangannya, di beri obat, dan di balut.
Morgan sudah sadar dari awal, mengapa Bryan suka memakai baju lengan panjang. Mungkin bukan takut dingin, tapi tubuhnya penuh bekas luka, Bryan tak ingin orang mempertanyakan luka apa yang berbekas di tubuhnya ini.
Tetapi, Morgan tidak pernah mengungkit topik ini, Morgan tahu tapi pura-pura tidak tahu, hingga dia melihat dengan matanya sendiri kejadian tadi.
"Gen.", suara serak Bryan terdengar.
"Iya?", Morgan masih membalut luka Bryan.
"Kamu sepertinya sudah tahu mengapa aku pakai lengan panjang ya?", Bryan berbicara dengan menatap luka yang di balut satu persatu, luka lebam yang di urapi dengan obat luar. Ia bertanya-tanya mengapa bisa ada orang yang peduli dengan lukanya. Bukankah orang-orang tidak perlu peduli padanya karena dia tidak perlu di peduli dan di sayang?
Atau tepatnya, ia merasa tidak perlu seperti itu?
Karena kembali ke titik awal, yaitu orang tidak perlu berbuat seperti ini kepadanya, berlebihan.
"Iya.", Morgan menjawab jujur tanpa menyembunyikan. Ia tak mungkin berkata tidak tahu saat ini.
"Kamu tidak ada yang ingin di sampaikan atau di tanyakan?", Bryan menatap tembok kamar Morgan yang di cat putih dengan tatapan kosong.
"Ada, banyak.", balas Morgan sambil mengobati luka di lengan lainnya. Bagi Morgan, saat ini adalah sebuah kesempatan untuk membereskan semua luka yang ada di tubuhnya. "Tapi, ini bukan saat yang tepat. Dan aku tidak mau kamu seperti terpaksa menjelaskan ini semua kepadaku. Karena, toh, ini rahasia pribadimu bukan?"
Bryan hanya diam dalam keheningan, membiarkan lukanya di obati.
"Lain kali, jika memang ingin melampiaskan emosimu, carilah aku. Aku mungkin bisa membantumu.", ucap Morgan setelah selesai membereskan semua lukanya.
"Aku tidak bisa 'bahagia' lagi dengan melakukan seks."
Morgan sempat tersentak saat ingin melepaskan borgol yang ada di tangan Bryan.
"Hatiku sakit. Tidak bisa di sembuhkan.", Bryan terus berbicara, "Rasa nikmat pun tidak berguna lagi."
Morgan akhirnya tahu semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dom Editor
Ficción GeneralBryan Terrance, seorang penulis terkenal yang di banggakan oleh Nehemiah Publisher di landa Writer Block -- sebuah 'penyakit' yang terjadi di setiap penulis, dimana seorang penulis tidak dapat menulis sebuah cerita, baik tahu jalan cerita atau tidak...