Bab 13 : Berbeda

25 28 4
                                    

Balqis dan Via kembali melanjutkan perjalanan bersama Mahesa, menuju kediaman lelaki itu.

Sepanjang perjalanan mereka disuguhkan dengan suasana khas Bali. Tempat peribadatan umat Hindu tersebar diseluruh penjuru kota. 

Tak jarang mata Balqis melihat sekilas beberapa laki-laki menggunakan udeng di kepala mereka dengan berbalut pakaian berwana putih khas pria Bali. 

Tak jarang pula dirinya melihat para gadis atau wanita yang sudah cukup berumur mengenakan kebaya khas Bali dengan selipan bunga kamboja kuning di telinga mereka.

Pukul 19.27

Tak terasa mereka sampai di rumah Mahesa saat alarm di ponsel Balqis berbunyi, menandakan waktu isya telah tiba.

“Nay, nanti solat di kamar, yah? Ga ada mushalla dekat rumah aku.” Mahesa menoleh sekilas pada Balqis yang duduk di belakang kala mendengar alarm itu, tersenyum hambar sebab sedikit sungkan pada gadis itu.

“Eum, ngga papa, Kak.” Balqis pun tersenyum maklum, memang sulit menemukan mushalla di daerah yang mayoritas penduduknya beragama non-muslim.

Brakk!

Mereka lantas keluar dari mobil, masuk ke dalam rumah Mahesa yang  bisa dibilang cukup mewah. Corak patung relief di rumah itu semakin menambah kesan religus agama kepercayaan keluarga Mahesa, Hindu.

“Mamahh.. Ini mereka udah datang.” Mahesa memanggil ibunya yang entah dimana. Dan tak lama dari itu, keluarlah seorang wanita paruh baya dari sebuah bilik kamar dengan senyum menawan.

“Wahh wahh.. sudah datang, ya?” Ibu Mahesa tersenyum menatap kedatangan Balqis dan Via.

“Ini Nayara Balqis,” Mahesa memperkenalkan Balqis pada ibunya, “Dan ini Belivia Diksi.” Kemudian giliran memperkenalkan Via.

“Nayara, tante.” Balqis mencium punggung tangan wanita itu.

“Belivia.” Ujar Via saat mendapat giliran mencium tangan ibu Mahesa.

“Ini…” Ibu Mahesa menatap Via, “Muslim juga?” “Oh, tidak Mace. Sa Katholik.” Jawab Via dengan senyum andalannya.

“Ooh.. iya-iya. Ayo-ayo kita makan, kalian pasti lapar sudah berangkat jauh-jauh dari Surabaya ke Bali. Ayo, tante sudah masak makanan yang enak.” Wanita itu menarik tangan Balqis dan Via menuju ruang makan. Namun sekilas Balqis terlihat ragu.

 “Dan Naya, tenang saja. Makanan yang tante masak, dijamin halal. Mahesa sudah cerita kalau yang akan datang adalah seorang muslim.” Tambah ibu itu, sontak Balqis langsung bernafas lega.

Alhamdulillah.” Batinnya pelan.

 “Kalau gitu tunggu apalagi, ayo kita makan.” Ajak Mahesa.

 Mereka akhirnya makan malam bersama di ruang makan itu. Minus ayah Mahesa yang pergi entah kemana, sebab Balqis tak berani bertanya macam-macam.

-o0o-

 “Allahu.. akbar.” Balqis dengan khusyuk memulai ibadahnya. Meski awalnya ia sempat bingung dimana arah kiblat.

“Nay! Ak.. oh.. solat..” Mahesa mengurungkan niatnya untuk berbicara dengan Balqis. Pintu kamar gadis itu yang tidak sepenuhnya tertutup membuat Mahesa tak berpikir panjang untuk membukanya lebih lebar.

 Ia kira Balqis sedang menata pakaiannya, ternyata gadis itu sedang beribadah. Mahesa terdiam menatapnya kala Balqis sedang membungkuk lalu tak lama bangun dan berdiri tegap.

“Ini yang namanya Naya?” 

Mahesa tersentak kaget saat tiba-tiba ada yang berbisik di sebelahnya. Ternyata itu ibunya. Syukurlah Fiona tidur di kamar lain, sehingga tak melihat keduanya mengintip di kamar Balqis.

Mahesa menoleh, lantas mengangguk dan bergumam,

“Hm.”

“Yakin, masih mau lanjut?” 

Mahesa menoleh tak mengerti, “Maksud mamah?”

“Dia kelihatannya muslim yang taat, dia juga anak baikbaik dan tidak banyak tingkah. Mama yakin dia tidak akan menyalahi aturan dalam agamanya, kamu yakin masih mau lanjut menyukainya?”

Mahesa kembali menatap Balqis yang kini duduk diantara dua sujud, tak berselang lama gadis itu kembali sujud.

“Cinta itu ngga ada yang tau, Mah.” Lirih Mahesa.

 “Kalian jelas-jelas berbeda. Tidak ada cara lain bagi kalian untuk bersatu kecuali ada yang mengalah diantara kalian.” Ibu Mahesa menjeda ucapnnya.

 “Kamu mengharapkan Naya di hatimu, mungkinkah Naya juga demikian? Ingat, Hesa. Mengharapkan orang yang tidak mengharapkanmu hanyalah membuang-buang waktu dan menyakiti dirimu sendiri.” 

“Semua keputusan ada padamu, Sa. Mama tidak akan memaksa. Tapi mama yakin, Naya tidak akan mau bersamamu selama apa yang kalian sembah masih berbeda.” 

Ibu Mahesa tersenyum hangat, mengelus sayang pundak putra semata wayangnya yang kini lebih tinggi darinya.

Setelahnya wanita itu meninggalkan Mahesa sendiri di depan kamar gadis itu, menanti Balqis menyelesaikan solatnya.

Namun hal itu urung dilakukan Mahesa, ia menarik knop pintu kamar Balqis secara perlahan. Lantas berjalan menjauh meninggalkan kamar itu, memilih merenung seorang diri dalam kamar kelabu miliknya.

 Sementara di kamar Balqis.

 "Wa’alaikumussalam.” 

 Balqis menekan tombol merah untuk mengakhiri percakapan itu. Baru saja dirinya menyelesaikan solat, ia dihubungi oleh ibunya, bertanya apakah gadis itu sudah sampai atau belum. 

 Balqis terdiam sejenak usai meletakkan ponselnya di nakas, merenung kejadian yang terjadi beberapa saat yang lalu.Ia tahu bahwa Mahesa dan ibunya mengintip dari balik pintu.

Namun dirinya tak mendengar percakapan mereka, sebab ia fokus dengan bacaan solatnya. Dan kini, ia terjebak oleh rasa penasaran yang bergelanyut manja di pikirannya.

Drrrttt Drrtt Drrtt

Ponsel di atas nakas bergetar dan menyala menampilkan tulisan, “Fiona is Calling”. Balqis mengambil ponsel itu dan meliriknya sebentar, sebelum kemudian mendekatkannya pada area gendang telinganya.

“Halo, Fi.”

“Kenapa?”

Balqis mengerutkan kening bingung, “Kenapa apanya?”

Di seberang sana Fiona berdecak malas, “Kenapa telfon?”.

“Ohh..” Balqis diam sejenak, “Aku mau ajak kamu ke Bali, tapi dari kemarin kamu ngga bisa dihubungi. Tapi ya sudah telat, sekarang aku udah di Bali.”

“Sendirian? Apa sama Via juga?”

“Sama Via.” Jawab Balqis sembari melepas mukenanya. “Liburan ke mana? Pantai Kuta? Pantai Jimbaran?” Tebak Fiona di seberang.

“Ntah kita mau ke mana.” Balqis mengangkat tak tau meski ia tahu bahwa Fiona tak dapat melihatnya.

“Yang bener aja, masa iya kalian ngga tau mau kemana.” Suara Fiona terdengar kesal di sana.

 “Yyaa emang kita ngga tau.” Ujar Balqis dengan keyakinan penuh.

 “Lah? Sekarang kalian dimana?” Jelas sekali bahwa Fiona tak paham apa kata Balqis.

“Di rumah Kak Mahesa.” Singkatnya.

“Kak Mahesa?” Ulang Fiona memastikan bahwa ia tak salah dengar.

“Iyya, Na.” 

Klik

 “Eh?” Balqis memandang heran layar ponselnya yang tiba-tiba mati. Ada ini? Kenapa Fiona tiba-tiba memutuskan panggilan itu?

 Balqis mengangkat bahu acuh, mencoba berpikir positif jika Fiona sedang ada urusan mendadak sehingga tidak bisa melanjutkan percakapan itu. 

 Atau mungkin terkendala jaringan, atau bisa saja tak sengaja menekan tombol itu. Entahlah, ia bersikap acuh dan mencoba berpikir positif.

-o0o-

Izinkan Kulukis SenjamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang