Bab 18 : Harapan

17 17 10
                                    

Note :
Jadi definisi tentang hijab disini tuh aku pelajari dari internet dan beberapa pendapat dari orang-orang terdekat (guru, orang tua, temen, kakak dan siapapun yang paham soal hijab.)

Sedangkan definisi mawar kuning, aku terinspirasi dari salah satu novel terkenal (lupa namanya wkwkwk) dan aku modif trs masukin ke novel ini (ingat, plagiat beda dengan terinspirasi dan memodifikasi).

Semoga aja kalian bisa nemuin karya yang dulu aku jadiin panutan, wkwkwkk.

-o0o-

“Naya, boleh sa tanya sesuatu, kah?” Via memandang Balqis dari samping. Mereka berdua sedang berada ditenda dengan Fiona yang pergi entah kemana.

“Hm?” Balqis hanya bergumam dan melirik sekilas, dia sibuk memakai jarum pentul untuk hijabnya.

 “Kenapa harus pakai kerudung? Ko punya itu aturan agama tra wajib too?”

“Namanya aturan, ya harus dipatuhi dong.”

“Tapi ko mo pakai karudung kah, mau tidak pakai karudung kah, sama saja too? Kenapa harus pakai karudung?” Via bertanya dengan dialek Papua-nya yang jelas terasa.

Balqis menatap kearahnya, “Via, ini bukan sekedar berhijab, oke? Hijab bukan hanya tentang menutupi sebagian kepala kita, tapi hijab juga tentang sikap dan apa yang kita ucapkan.” Via mengernyitkan dahinya tak seolah tak mengerti apa yang diucapkan Balqis.

 “Saat kita berhijab, kita juga harus bisa menjaga ucapan dan sikap.”

 “Naya, sa pikir hanya orang-orang taat saja yang pakai itu hijab.” 

Balqis menggeleng, “Hijab bukan identitas wanita yang pandai agamanya, Vi. Justru itu adalah kewajiban dan hal itu bukti bahwa ia taat kepada Allah. Meskipun tak semua wanita berhijab itu baik akhlaknya.”

Via semakin mengernyit, “Sa malah tra paham ini.”  “Hhhh…” Balqis menghela nafas panjang, “Gini, kenapa rambut seorang biksu harus dicukur habis hingga gundul? Kenapa seorang biarawati harus menggunakan Mantilla?”

“Kalau biksu tra dicukur, bukan biksu namanya. Biarawati pakai Mantilla? Itu sebagai tanda kehormatan.” Ujar Via bangga, mengingat ia adalah seorang Katolik.

 “Nah! Itu!” Balqis menunjuk wajah Via dengan telunjuknya, “Seseorang memakai kerudung untuk memberi tau pada semua orang tentang identitasnya sebagai seorang muslim, sama seperti biksu.” Balqis tersenyum hangat pada Via yang terlihat mulai mengerti.

“Hijab juga menjadi tanda kehormatan kita pada tuhan kita, Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah menjanjikan tempat terbaik di sisi-Nya dan Dia juga akan mengangkat martabat wanita melalui hijab.”

“Tapi  Ko jadi tra bebas gerak, ehh.” 

“Kata siapa? Malah hijab membebaskan diri kita dari pandangan mata-mata yang jahat. Hijab memaksa seorang pria melihat wanita dengan hormat, kanapa? Karena dia melihat kita sebagai wanita yang bisa menghormati diri sendiri.”

Balqis telah selesai merapikan alat solatnya. Dan kini ia berencana pergi ke Pura Amarta Jati yang berada di pulau Ismoyo, sekedar untuk melihat-lihat dan jalan-jalan pagi saja.

Ia menatap Via sejenak, “Udah, ngga ada yang ditanyain lagi?” 

 Via menggeleng pelan dengan posisi yang sama, duduk bersila menghadap Balqis.

“Kalo gitu aku keluar, ya?” 

Via mengangguk, “Jang lama-lama, ehh.” Ingatnya sebelum Balqis menghilang di balik tenda.

Setelah kepergian Balqis dari tenda, Via tersenyum tipis.

Senyum penuh arti yang jarang dilihat orang.

-o0o-

Senyum yang tercetak dibibir plum Balqis hampir sama seperti senyum Via. Senyum yang terbit sesaat setelah ia tak sengaja melihat Mahesa beribadah di Pura itu. Ia seperti dejavu melihat pria itu menjalankan ibadahnya.

Samar-samar telinganya mendengar doa yang diucapkan lelaki itu. Aroma dupa menguar jelas di sekitarnya. Hantaman ombak di batu karang Pulau Ismoyo pagi ini menambah kesan religius bagi Balqis yang menyaksikannya.

Pria itu meletakkan dupa di tempatnya, kemudian berbalik dan pandangannya seketika jatuh pada gadis berhijab maroon itu.

“Nayara?” Ia mendekat pada gadis itu, “Udah lama di sini?”

Gadis itu menggeleng, “Barusan.”

“Ngapain kesini? Sendirian lagi.”

“Jalan-jalan pagi aja, lagian aku juga belum pernah kesini.”

‘Ohh, mau jalan-jalan ke hutan sana ngga? Sama aku.” Mahesa menunjuk hutan rimbun di sisi barat Pulai Ismoyo dengan dagunya.

“Boleh, Kak.”

Mereka lantas berjalan beriringan meninggalkan Pura. Berjalan di atas pasir putih hingga tak terasa langkah mereka sudah berada di jalan setapak.

 “Wooahh, aku ngga nyangka jalan ini bisa dilewatin.” Balqis menatap takjub sekitarnya. Pandangan kagum tercetak jelas di manik coklatnya.

 “Dulu aku udah pernah kesini, jadi udah tau jalan ini. Cuma karena waktu itu aku masih kecil, aku ngga tau jalan ini menuju kemana.” Jelas Mahesa seraya memasukkan kedua tangannya di saku celana.

Tak terasa pasir putih yang mereka injak kini sudah berganti menjadi tanah liat yang hitam legam.

 “Kak..” Panggil Balqis pada Mahesa, langkahnya seketika berhenti tatkala matanya tak sengaja menangkap objek berwarna kuning.

“Itu mawar kuning, kan?” Mahesa mengikuti arah pandang Balqis. Terlihat di sana sekitar 3 mawar kuning tengah mekar dengan pesonanya masing-masing.

Balqis mendekat pada mawar itu, “Kenapa mawar yang langka seperti ini bisa tumbuh di sini?” Monolognya pada diri sendiri.

“Mungkin ada orang yang sengaja menanamnya di sini.”

“Kak Mahesa tau? Aku pernah membaca di sebuah artikel bahwa mawar kuning berarti ketidaksetiaan.” Gadis itu memandang ke arah Mahesa yang berjongkok di sebelahnya.

“Kenapa begitu? Setiap makhluk di dunia ini pasti diciptakan untuk kebaikan, bukan?”

Balqis mengangkat kedua bahunya, “Tapi ada juga yang mengatakan mawar kuning melambangkan persahabatan.” 

“Bagaimana kalau kita mengubah pendapat itu.” Usul Mahesa, “Mawar identik dihadiahkan untuk orang yang spesial. Kita ubah mawar kuning ini jadi simbol harapan?”

Balqis menatap Mahesa, “Apa yang diharapkan dari mawar kuning ini?”

“Kepastian.”

Balqis terdiam, “Semua atas kehendak Allah.”

Izinkan Kulukis SenjamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang