Seberkas cahaya lampu yang bewarna lembut yang dikeliling oleh bunga dan daun seolah membuat ruangan dan orang-orang di sini lebih hidup. Semua orang yang berada di sini, saat ini, menatap sepasang insan yang berdiri dan tersenyum satu sama lain. Warna lampu yang hangat, diikuti dengan senyuman hangat sepasang insan yang sedang bertukar cincin satu sama lain.
Jenna menatap Cici dan Putra dengan tatapan yang tidak bisa diartikan saat ini. Setelah acara bertukar cincin ini, tak lama kemudian tentu saja temannya itu akan segera menikah. Di satu sisi, Jenna senang melihat temannya itu bahagia dengan laki-laki pilihannya yang begitu ia cintai. Tapi, di sisi lain, Jenna juga sedikit sedih. Jika Cici sudah menikah, artinya waktu mereka untuk berkumpul akan berkurang. Cici akan mengemban tanggung jawab sebagai istri orang sebentar lagi.
"Jen, natapnya nggak gitu banget," bisik Luna sambil menyenggol pelan tangan Jenna.
Jenna langsung mendecih kesal sambil menatap Luna kesal. Padahal Jenna tidak melakukan apapun, tidak bisa ya, Luna membiarkannya tenang sebentar saja. Jenna hanya ingin terhanyut dalam suasana khidmat ini. Hitung-hitung latihan sebelum ia ada di posisi itu.
"Diem lo, Kak," desis Jenna.
Bukan Luna namanya kalau akan membiarkan Jenna tenang. Ya, setidaknya ia harus membuat adik kecil yang ia temui di kantor ini kesal dan marah-marah terlebih dahulu. Dan untuk informasi, Jenna ini sangat mudah marah. Sangat lucu di mata Luna saat melihat Jenna marah sambil mengomel-ngomel tidak jelas.
"Jen, adiknya Cici boleh tuh," ucap Luna sambil menunjuk seorang laki-laki dengan alisnya.
Refleks, mata Jenna langsung mengikuti petunjuk yang diberi Luna. Sosok laki-laki yang tengah berdiri sambil memegang segelas minuman langsung mengalihkan atensi Jenna. Dan karena mata Jenna masih normal, ia akui, laki-laki yang ditunjuk oleh Luna itu ganteng. Jenna tidak munafik jika ia langsung melihat visual adik Cici itu.
"Ganteng," ucap Jenna dengan mata berbinar. "Ck, bisalah lah kalian kenalin ke gue."
"Oh jelas bisa, kita bilang ke Cici habis ini."
"Gue nggak tau, Kak Cici punya adik ganteng begitu."
"Iya, tapi dia masih dua puluh tahun," ucap Luna tanpa dosa.
Jenna langsung berhenti menatap adiknya Cici dan menatap Luna dengan mata yang membola. Jenna mencoba memastikan bahwa saat ini Luna sedang berbicara padanya.
"Berondong?" tanya Jenna sedikit tak percaya.
"He'em." Luna mengangguk-anggukkan kepalanya. "Beda dua tahun doang, Jen."
Jenna menarik sudut kiri bibirnya. Belum selesai membahas berondong yang ditawarkan Luna, sekarang Jenna harus dihadapkan dengan pemandangan yang sangat memuakkan. Pacar Luna datang dan langsung membuat Luna tersenyum dan menggandengkan tangannya.
"Jauh-jauh kalian dari gue!" usir Jenna sambil mengibaskan tangannya.
"Kasian jomblo," cibir Luna sambil mengeratkan gandengan tangannya. "Makanya, cari pacar."
"Nggak boleh gitu, Jenna masih kecil," ujar Bang Ardan yang notabennya calon suami Jenna.
Jenna awalnya merasa senang, setidaknya masih ada yang membelanya. Tapi, setelah melihat Ardan yang mengelus puncak kepala Luna, Jenna langsung memutar bola matanya jengah. Ucapan dan perbuatan Ardan sangat berbeda.
"Tuhan, tolong kasih aku jodoh sekarang. Nggak muluk-muluk, aku mau yang ganteng, baik, dan ber-uang."
Luna dan Ardan langsung tertawa mendengar doa yang spontan diucapkan Jenna. Sepertinya Jenna sudah sampai di titik putus asanya karena dikelilingi orang-orang yang segera menikah.
"Hai, Jen."
Jenna langsung melirik pelaku yang sudah menyampirkan lengan di bahunya. Jenna sontak menarik napasnya panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Akhir-akhir ini entah kenapa cobaan berat selalu menghampiri Jenna. Dan, laki-laki yang saat ini menyampirkan tangannya di bahu Jenna adalah salah satu dari cobaan itu.
"Kayaknya doa lo langsung didengar Tuhan, Jen," celetuk Luna.
"Kalau gitu kita pergi dulu, silakan melanjutkan urusan dengan jodoh yang nggak muluk-muluk itu."
Ardan langsung membawa Luna pergi sambil tertawa meninggalkan Jenna yang dahinya sudah berlipat seribu lapis sekarang.
"Apa sih, jangan sok akrab!" ucap Jenna menepis tangan yang sedari tadi menambah beban hidupnya.
"Loh? Katanya lo mau jodoh yang ganteng, baik, dan ber-uang. Gue dong, Jenna."
Jenna menatap Haikal kesal. Kenapa juga Haikal mendengar doanya tadi. Seharusnya Haikal tidak berada di sini. Jenna tak pernah mengizinkan Haikal untuk berada di sekitarnya. Setidaknya dalam radius 2 meter. Jenna alergi Haikal soalnya.
"Anda siapa, ya?" tanya Jenna seolah tak mengenal Haikal sedikitpun.
"Jangan gitu bangetlah, Jen. Gini-gini, gue pernah nemenin lo sleepcall sambil sayang-sanyangan," goda Haikal.
Jenna semakin kesal. Ia menarik napas dan membuangnya dengan perlahan. Jangan sampai Jenna mengamuk di sini dan merusak acara Cici hanya karena Haikal.
"Terus lo bangga, gitu?!"
"Oh jelas, gue bangga karena pernah menjadi bagian cerita penuh romansa seorang Jennala Audia."
Haikal yang saat ini menepuk dadanya dengan bangga membuat Jenna yang melihatnya langsung kesal. Dulu Jenna dapat ide dari mana coba waktu nerima Haikal jadi pacarnya.
Oke, itu cuma kesalahan di masa puber. Jenna tidak pernah menyukai Haikal, tidak pernah jatuh cinta pada Haikal, dan apa yang terjadi di masa lalu itu hanya disebabkan oleh hormon Jenna yang sedang tidak stabil. Jenna tanpa bersuara mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri.
"Bacot!"
Mengalah, Jenna pergi menjauh dari Haikal. Sudah dibilangkan, Jenna itu alergi akan keberadaan Haikal yang terlalu dekat.
"Jenna, lo apa kabar? Udah lumayan lama kita nggak ketemu," ucap Haikal sembari terus mengikuti Jenna.
Lumayan lama tidak bertemu apanya. Jenna masih ingat sekitar minggu lalu ia bertemu dengan Haikal di mall dengan seorang perempuan. Emang ya, sifat bawaan lahir Haikal yang satu itu sulit diubah.
"Ngomong-ngomong, Jen, kabar gue baik. Lo nggak usah khawatir."
Jenna menutup mulut Haikal dengan tangan dan mendorongnya dengan kasar. Cukup, Jenna sudah muak mendengar suara Haikal hari ini. Kesabarannya sudah mencapai limit.
"Jauh-jauh lo!" usir Jenna agar Haikal berhenti mengikutinya sambil berceloteh.
Mood Jenna langsung berantakan karena kemunculan Haikal. Tolong, siapapun, selamatkan Jenna dari mantan dari neraka ini.
"Jen, nggak boleh gitu, gue jodoh ber-uang yang dikirim Tuhan untuk permohonan lo tadi."
"Pergi gue bilang!"
Kepalang kesal, Jenna menendang tulang kering Haikal sekuat yang ia bisa. Masa bodo dengan ujung heelsnya yang sedikit runcing. Pokoknya Jenna hanya mau Haikal pergi dan tidak muncul dalam pandangannya.
"Jen, lo makin ke sini, kok makin kasar, sih?" Haikal memegang tulang keringnya yang kesakitan sambil meringis.
"Gue bukan Jenna yang dulu lo kenal."
"Ya udah, gue terima lo apa adanya. Mau tukeran cincin sekarang, nggak?"
Sumpah demi pluto yang nekad melompati garis edar agar lebih dekat ke matahari, Jenna sudah sangat-sangat kesal sekarang. Bukan jodoh seperti ini yang ia minta pada Tuhan. Dan kalau boleh nambah request, Jenna akan bilang pada Tuhan, tolong jangan jadikan Haikal jodoh Jenna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Request Jodoh
RomanceTuhan, tolong kasih aku jodoh sekarang. Nggak muluk-muluk, aku mau yang ganteng, baik, dan ber-uang.