Jenna menarik napas panjang sambil menatap langit-langit. Akhirnya, apartemen milik Haikal kembali rapi dan semua barang sudah ia letakkan kembali ke tempatnya. Sebenarnya Jenna sendiri tidak menyangka kalau akhir pekannya akan jadi sangat melelahkan seperti ini. Tapi apa boleh buat, ia sendiri yang memilih untuk melakukan ini. Haikal pun tidak memaksa sebenarnya.
Sambil menunggu rasa lelahnya reda, Jenna menyalakan hp dan mengecek siapa saja yang menghubunginya. Dan yang paling menarik perhatiannya adalah notifikasi pesan dari Luna.
Jenna menaikkan sebelah alisnya. Tumben sekali Luna mengiriminya pesan di hari libur. Harusnya akhir pekan ini kan Luna dan Cici menghilang dari radar Jenna.
Mata Jenna langsung membulat setelah membaca pesan dari Luna. Ia segera bangkit dari duduknya dan berjalan tanpa arah sambil mencoba menghubungi Luna sambil menggigit kulit di sekitar jari jempolnya.
Jen, jenguk adiknya Cici yuk, dia semalem kecelakaan.
Salah satu pesan dari Luna membuat Jenna langsung diselimuti rasa bersalah. Bukankah Jenna harus bertanggung jawab akan hal ini? Alif kecelakaan setelah mengantarnya.
"Kak, lo sekarang dimana?" ucap Jenna saat Luna sudah menrima panggilannya.
"Waalaikumsalam."
"Gue serius, lo sekarang dimana? Adiknya Kak Cici keadaannya gimana? Parah nggak?"
Jenna terus menggigit kukunya sambil mendengarkan penjelasan Luna. Rasa bersalah benar-benar mengusai Jenna sekarang. Sebab ialah Alif sampai kecelakaan dan harus dirawat di rumah sakit.
"Gue ke sana sekarang."
Setelah memutus panggilan, Jenna segera meraih tasnya dan keluar dari apartemen Haikal dengan terburu-buru. Sejenak, langkah Jenna terhenti saat mendapati Haikal yang berjalan ke arahnya sambil menenteng banyak kantong plastik. Jenna tahu itu apa. Biasanya, setelah Jenna membereskan apartemen Haikal dari kekacauan, mereka akan makan bersama terlebhh dahulu. Setelah itu, Jenna akan kembali bermusuhan dengan Haikal seolah tak pernah terjadi apa-apa.
"Tumben lo udah mau pergi, nggak makan dulu?" Haikal tersenyum sambil menunjukkan tentengan yang ada di tangannya.
"Gue pergi sekarang." Jenna kembali melirik layar hp dan membaca alamat yang dikirim Cici. "Jangan sapa gue lagi, jangan sok akrab, sekarang kita musuhan lagi."
Jenna lantas melangkahkan kakinya dengan tergesa tanpa menunggu balasan Haikal. Sedangkan Haikal hanya tersenyum masam sambil menatap punggung Jenna. Tidak biasanya Jenna menolak untuk makan bersamanya seperti ini. Tapi mau bagaimanapun, Haikal tetap berterima kasih pada Jenna yang selalu ada disaat Haikal butuh.
Jenna segera mengendari motornya menuju rumah sakit tempat Alif dirawat. Hal yang memenuhi otaknya saat ini hanya Alif. Jenna khawatir jika terjadi apa-apa pada cowok itu.
Setelah sampai, Jenna langsung berlari ke ruangan tempat Alif dirawat. Walaupun Luna bilang kondisi Alif tidak terlalu serius, tetap saja tidak membuat Jenna tenang begitu saja. Ia akan tenang jika sudah melihat kondisi Alif dengan matanya sendiri.
"Kak, kondisi Alif giman-," Saat membuka pintu kamar inap, mata Jenna langsung membulat. "Na...." Suara Jenna melemah.
Tubuh Jenna terpaku diambang pintu. Tak hanya tubuhnya, lidah Jenna juga kelu. Hanya matanya yang bisa ia gerakkan ke kanan dan kiri saat ini. Mencoba agar matanya tidak menatap orang-orang ini.
"Maaf ya Mas, Mbak, kayaknya teman saya salah kamar." Tunangan Cici yang kebetulan lewat segera menarik Jenna menjauh dan menutup pintu itu kembali.
Jenna syok, benar-benar syok akan apa yang dilihatnya barusan. Ia masih belum bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Bahkan, saat ini Jenna berjalan dengan bantuan Putra. Tunangan sahabatnya itu hanya menatap dan menertawakan Jenna yang pandangannya masih kosong dan sesekali cegukan.
"Loh? Kalian kok bisa barengan?" tanya Luna saat Jenna dan Putra datang beriringan. "Lo kenapa, Jen?"
Luna langsung bangkit dari tempatnya dan menghampiri Jenna. Begitu juga dengan Cici yang baru keluar dari toilet. Ia segera menghampiri tunangannya dan mencoba meminta penjelasan penyebab Jenna jadi seperti ini.
"Dia salah masuk kamar," terang Putra singkat.
"Terus kenapa bisa gini?" tanya Luna sambil memukul-mukul pipi Jenna pelan.
"Oh my eyes!" Jenna berteriak histeris sambil menutup matanya.
Sontak saja teriakan Jenna membuat teman-temannya terkejut. Tak kecuali Alif yang sedari tadi memperhatikan Jenna yang sudah bersikap aneh sejak baru datang. Mereka langsung panik, segera mengerumuni Jenna yang mereka kira sedang kesurupan.
"Jen, Jenna, istigfar yuk." Cici memukul-mukul pipi Jenna pelan.
Jenna segera membuka matanya. Menatap Cici tajam sambil mengibaskan rambutnya yang terurai. Ia tidak terima diperlakukan seperti orang kesurupan. Jenna ini masih sepenuhnya sadar, ya.
"Lo pikir gue kesurupan?"
Teman-teman Jenna menghembuskan napas lega. Cici kembali duduk di sebelah adiknya yang terbaring di ranjang diikuti dengan Putra yang duduk di samping Cici. Hanya Luna yang masih menatap Jenna penasaran.
"Lo kenapa, Jen?"
"Lo tau nggak, apa yang gue liat barusan, Kak?!" tanya Jenna sedikit histeris.
"Apa?"
"Masa gue liat cowok sama cowok ciuman di kamar sebelah!?" Kali ini Jenna sedikit berbisik agar suaranya tidak terdengar sampai kamar sebelah. "Mereka nggak tau tempat apa, ya?"
Luna menghembuskan napasnya pelan. Padahal tadi ia sudah khawatir jika Jenna kenapa-napa. Tapi, Jenna tetaplah Jenna, ia akan histeris karena hal yang tidak penting.
"Makanya, bodoh jangan dipelihara, nggak baca dulu sebelum buka pintu?!" Luna menoyor kepala Jenna.
Jenna memanyunkan bibirnya sambil menatap Luna tajam. Padahal, apa yang Jenna lihat barusan itu bukan hal lumrah, loh. Wajar saja jika Jenna terkejut.
Tanpa ada yang sadar, Alif diam-diam tersenyum kecil memperhatikan Jenna yang penampilannya sedikit berantakan. Dalam hati, Alif sebenarnya sedikit menertawakan nasib sial yang menimpa Jenna hari ini.
"Oh iya, lo baik-baik aja, Lif?" tanya Jenna mendekati Alif.
"Seperti yang lo liat, nggak ada luka yang terlalu parah," jawab Alif sambil menggerakkan tangannya.
"Nggak parah apanya!" Cici menoyor adiknya pelan kemudian melayangkan cubitan bertubi-tubi. "Gara-gara lo, Papa Mama jadi kaget! Untung mereka nggak kenapa-napa."
Jenna meringis ngilu saat melihat dahi Alif yang tertutup perban ditoyor Cici. Entah mendapat keberanian dari mana, Jenna maju dan menghalangi Cici agar tidak menganiaya adiknya yang sedang sakit.
"Ih, jangan dicubit, Kak." ucap Jenna sambil mencoba menghalangi Cici. "Kasihan Alif, gue ngaku kalau gue yang salah."
"Maksudnya gimana, nih?" tanya Putra sambil melirik Alif dan Jenna bergantian.
Alif melotot sambil menatap Jenna, mencoba memberi kode agar tidak mengatakan apapun pada Cici. Tapi sia-sia, Alif memejamkan matanya sambil menarik napas panjang.
"Kayaknya, Alif kecelakaan setelah antar gue pulang ke rumah, deh," ungkap Jenna lirih.
"Jadi?" Cici meminta penjelasan yang lebih rinci.
Jenna melirik Cici takut-takut. Ia tidak bisa apa-apa jika Cici meminta Jenna bertanggung jawab, bayar biaya rumah sakit misalnya. Jenna melirik Alif sejenak, kelihatannya Jenna tidak perlu terlalu merasa bersalah. Kondisi Alif tidak separah yang ia bayangkan.
"Tapi gue nggak minta kok, Kak! Alif yang maksa mau antar gue pulang!" Jenna menunjuk Alif tanpa berani menatap cowok itu.
Alif hanya bisa menutup mata dengan lengannya. Apa-apaan teman kakaknya ini. Malah menyelamatkan diri sendiri.
"Oh, paham sih gue," ucap Luna sambil menoel-noel pundak Cici.
"Good job, Bro." Kini Putra yang mengacak rambut calon adik iparnya itu dengan gemas.
Jenna tersenyum canggung, sedikit tak mengerti dengan situasi saat ini. Ia kemudian menoleh pada Alif yang saat ini sudah menatapnya tajam.
"Damai, Lif." Jenna menunjukkan pose dua jarinya sambil tersenyum kikuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Request Jodoh
RomanceTuhan, tolong kasih aku jodoh sekarang. Nggak muluk-muluk, aku mau yang ganteng, baik, dan ber-uang.