Karina menepati ucapannya untuk tetap berada di Rumah Sakit sampai Winter sadar. Beberapa menit kemudian, pintu ruang periksa terbuka, dokter keluar dengan wajah yang sulit diartikan.
Mama Winter segera bangkit dan menghampiri, Karina juga yang ingin tahu keadaan Winter menghampiri sang dokter.
"Bagaimana kondisinya, dok?"
"Stadium akhir, penyakit leukimia anak ibu sudah sampai stadium akhir, yaitu stadium 4." Dokter itu mencengkram pelan kedua pundak Mama Winter, berusaha menguatkan tubuh wanita paruh baya itu yang hampir saja terjatuh.
"Ibu, selama satu tahun ini Kemana saja? Saya sudah bilang untuk melakukan kemo terapi, tapi ibu tidak datang juga. Sekarang? Apa yang ditakutkan terjadi, kalau sudah begini satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah berdoa, supaya datang keajaiban dan bisa menyembuhkan leukimia anak ibu."
Cengkraman tangan sang dokter menjadi lebih erat, "kami akan memindahkan Winter ke ruang ICU. Secepatnya kami akan mengambil tindakan. Ibu sel--Bu!" Sang dokter belum selesai berbicara, namun Mama Winter sudah pingsan terlebih dahulu.
"Tante!" Karina ikut membantu dokter menahan tubuh Mama Winter yang hampir terjatuh ke lantai.
.
.
.
Setengah jam berlalu, Karina duduk terdiam menatap wajah pucat gadis yang masih menutup mata. Kenapa sekarang menjadi seperti ini? Dia baru saja bersenang-senang bersama Winter, dia belum menunjukkan semua planet yang ada diluar angkasa, dia belum bercerita panjang lebar tentang bulan dan bintang, tentang perjalanannya mencari alien dan UFO.
Winter harus tahu semuanya, gadis pucat itu harus tahu betapa indahnya bintang-bintang di malam hari, betapa serunya mengetahui fakta planet-planet. Winter harus tahu itu semua.
Karina menghela nafas berat, dia menunduk dan menangis tanpa suara. Tidak lama, seseorang merangkul pundaknya, mengelus lembut rambutnya. Suara tangisan pun terdengar juga.
Ternyata Mama Winter sudah bangun dari pingsannya. Beliau menangis bersamanya.
"Kok pada nangis sih?"
Suara yang terdengar lemah itu, kedua orang yang sedang berpelukan membeku. Mereka dengan bersamaan menoleh dan menemukan Winter yang sedang tersenyum kecil dengan sorot mata yang lemah.
"Aku baik-baik aja kok, kenapa kalian nangis?"
Mama Winter semakin menangis, beliau segera memeluk anaknya erat. Mengucapkan syukur dalam hatinya.
"Stop bilang baik-baik aja, kita semua tahu kalau kamu engga baik-baik aja." Kata Karina, itu membuat Winter tertawa.
Entah apa yang lucu, gadis pucat itu terlihat berusaha keras untuk menyembunyikan rasa sakitnya, akting yang sangat bagus wahai Winter Sabitah.
"It's okkay, at least for today." Balas Winter, tersenyum lebar.
Namun bukannya bahagia melihat senyuman lebar itu, hati Karina seperti ditusuk-tusuk, karena dia tahu, mungkin pertama dan terakhir kalinya dia melihat senyuman lebar Winter, karena entah sampai kapan gadis itu akan bertahan.
"Karina." Panggil Winter.
"Iya?" Karina mengambil tangan kanan Winter yang dingin, dibawanya menuju pipi dan mengusapnya pelan.
"Maaf ya, besok kita engga bisa belajar. Aku mengundurkan diri, sampai sini aja ya. Kamu bisa cari orang lain buat ajarin kamu."
Apa ini? Baru saja tadi Karina berpikir bisa melangkah maju, namun kenyataan memaksanya untuk mundur.
"Aku engga bakal cari orang lain, aku bakal disini, nemenin kamu sampai sembuh." Balas Karina dengan sangat serius.
"Aku engga bakal sembuh."
"Kamu bisa."
"Anak mama kuat, anak mama pasti bisa sembuh. Mama yakin." Winter menatap mata mamanya, masih dengan senyum lebarnya.
"Tapi anak mama ini udah capek, udah engga mau berjuang lagi, sakit." Winter berbisik, dengan air mata yang sudah turun bebas.
Mama Winter menggeleng kuat, beliau mengeratkan pelukannya.
Karina mengepalkan kedua tangannya, "Tante, saya panggil dokter dulu." Dia melangkah mundur dan balik badan, keluar dari ruang kamar Winter.
Setelah pintu tertutup, tubuh Karina melemas, dia menyandarkan punggungnya di tembok. Kedua telapak tangannya ia gunakan untuk menyembunyikan wajahnya yang sedang menangis.
Karina tidak sanggup menahan Isak tangisnya, sampai dokter yang melewat menegurnya.
"Ada apa?" Tanya dokter itu.
Karina tersadar, dia bangkit berdiri. "Maaf dok, itu Winter sudah sadar."
Mendengarnya sang dokter segera masuk ke dalam ruang rawat, dan Karina pergi dari Rumah Sakit tanpa berpamitan.
•~•
Suara nyanyian dan alat musik terdengar begitu keras, Karina memarkirkan motornya di jalan rumah dan masuk ke dalam rumah itu.
Tatapannya kosong, tubuhnya tidak bertenaga, matanya sembab dan itu mendatangkan banyak pertanyaan dari para sahabatnya yang sedang berkumpul.
"Lo kenapa njir?" Yeji panik, dia menuangkan air ke dalam gelas dan memberikannya pada Karina.
Karina meminum sedikit air itu, "Winter." Suaranya serak.
"Kenapa? Winter kenapa?" Yuqi bertanya, penasaran.
"Dia, Winter."
"Iya kenapa??"
"Winter sakit, dia dirawat, dia pingsan tadi di sekolah, gue sama mamanya bawa dia ke rumah sakit, Winter engga sadar, Winter sakit, Wint-" ucapannya yang berantakan itu terhenti karena Ryujin mencengkram erat pundaknya, berusaha menenangkannya.
"Pelan-pelan, Winter kenapa?" Tanya Ryujin.
"Winter punya penyakit leukimia, udah stadium akhir. G-gue engga tahu harus kayak gimana lagi." Karina jongkok, dia menyembunyikan wajahnya yang menangis kembali.
Yuqi menganga, dia mendekat ke arah Karina. "Tenang-tenang, terus sekarang gimana kabarnya?"
"Gue engga tahu, gue langsung pergi ke sini, gue engga kuat, gue engga bisa lihat dia kayak gitu." Karina mencurahkan isi hatinya, hanya kepada tiga sahabatnya ini dia bisa terbuka.
"Besok kita tengok ya." Yeji mengelus kedua pundaknya.
To be continue...
Spoiler next chapter:
"sebelum meninggal saya mau ungkapin perasaan ke dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Astronomy
Любовные романы→_→ Bumantara menyukai sabitah, karena Sabitah selalu ada di saat Bumantara melihat ke arah langit. Grey, 2022