Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Winter menganga melihat kamar Karina, dari cat tembok berwarna biru, kasur dengan sprei bergambar planet, peta dunia dan globe, lalu langit-langit kamar yang sengaja dihiasi oleh awan-awan, dan yang paling buat Winter kagum adalah lukisan yang cukup besar, terpajang dan sangat indah.
Lukisan tiga orang sedang duduk menatap ke arah langit, anak kecil yang berada di tengah sedang menunjuk ke arah langit.
"Ini aku lho yang lukis." Katanya Karina, ia sadar jika Winter sedari tadi memperhatikan lukisan itu.
"Artinya? Pasti ada artinya kan?"
Karina mengangguk, namun ia tidak menjawab. Dia malah mengalihkan pertanyaan itu dengan menarik Winter keluar dari kamarnya dan pergi menuju atap.
Lagi, Winter menganga melihat teleskop, jujur ini pertama kalinya dia melihat alat itu.
"Kita tunggu beberapa menit lagi ya." Katanya Karina, dia menarik Winter duduk di sampingnya.
"Bumantara, ini teh hangatnya." Suara teriakan dari bundanya terdengar, Karina segera turun ke bawah dan kembali lagi dengan kedua gelas di kedua tangannya.
"Diminum teh hangatnya." Ucap Karina, menyimpan gelas di meja kecil.
Malam hari, tidak bisa dipungkiri jika udara malam ini sangat dingin. Untung saja ada teh hangat, Winter menggenggam erat gelas itu agar tangannya tetap hangat.
Dan Karina di sampingnya itu menyadarinya, dia memakaikan selimut kuning dengan motif bebek ke pundak Winter.
"Planet Saturnus itu adalah planet terbesar setelah Jupiter, Saturnus punya cincin yang terbentuk dari partikel es dan batuan, Saturnus juga terbentuk dari hidrogen dan helium."
Winter menolehkan kepalanya, melihat Karina yang sedang menjelaskan planet Saturnus, bahkan gadis itu sudah hapal di luar kepala.
"Waktu kecil, aku pengen tinggal di planet Saturnus, tapi engga bisa." Karina tertawa kecil mengingat bagaimana saat ia kecil merengek pada kedua orang tuanya ingin pindah ke planet Saturnus.
"Semua planet kecuali bumi itu engga bisa ditinggali sama manusia." Balas Winter.
Karina tertawa dan mengangguk, "pemikiran waktu kecil, pasti ada aja hal random kan?"
"Hm."
"Apa yang bakal terjadi kalau bumi punya cincin kayak Saturnus?" Tanya Winter.
"Letak Saturnus itu cukup jauh dari matahari, jadi cincinnya bisa bertahan lama dan aman. Sedangkan bumi kalaupun punya cincin serupa kayak Saturnus engga bakal tahan lama, sinar matahari bakal membakar cincin itu dan cincin itu bakal musnah dalam waktu yang cepat." Jawab Karina.
Lihat? Bagaimana Karina Bumantara bisa menjelaskan dengan cepat soal itu, dibandingkan dengan soal yang Winter beri, yaitu soal matematika, Karina perlu waktu yang lama untuk menjawabnya.
"Kamu mau tahu salah satu rahasia?"
Winter menoleh dengan wajah yang terlihat penasaran, entah sejak kapan juga wajah datar gadis itu tidak terlihat lagi jika saat bersama Karina.
Gadis yang lebih tinggi merogoh sakunya, mengeluarkan makanan yang menurut Winter aneh, dia bahkan mengerutkan kening saat mendengar perkataan Karina.
"Kalau lagi kesel, marah atau emosi. Kamu kunyah aja bumi ini terus telan, jangan lupa minum juga." Karina merubah raut wajahnya. Gadis itu berakting seperti sedang marah, tangannya membuka bungkus permen itu dan memakan permen berbentuk bumi dengan raut wajah yang terlihat kesal. Lalu setelah habis permen itu, Karina meminum teh hangat.
Winter tertawa, dia juga melakukan hal yang sama. Rasa kesalnya, rasa kecewanya, dia satukan dan dengan raut wajah kesal dia memakan permen bumi itu, setelahnya dia minum teh hangat juga.
"Itu rahasia, jangan dibilang ke orang lain ya." Katanya Karina, seperti sedang berbicara dengan anak kecil.
"Iyaaa."
Karina mengangguk-angguk kepala, lalu mendongak menatap langit, matanya melebar saat melihat sesuatu yang ditunggunya.
"Saturnus!" Teriaknya, lalu dia memastikan dengan melihat lewat teleskop.
"Winter sini, lihat Saturnus!"
Winter bangkit dan melihat langit menggunakan teleskop. Dia tersenyum saat melihat planet yang memiliki cincin itu, walau terlihat kecil namun keindahannya tidak bisa disembunyikan.
"Saturnus, cantik ya?" Bisik Karina, dan Winter mengangguk menyetujui.
"Ayo, kita berdua pindah aja ke planet Saturnus."
Winter tertawa, ternyata Karina masih berkhayal untuk pindah ke planet Saturnus, walaupun dia tahu jika itu adalah hal yang mustahil.
Tawanya berhenti saat kepalanya tiba-tiba terasa pusing, tanpa permisi darah keluar dari hidungnya. Dengan cepat, Winter menutupi hidung agar Karina tidak menyadari, dia mengelap darahnya itu menggunakan kerah kemejanya.
Kepalanya yang terasa pusing itu ia sandarkan di pundak tegap milik Karina, mereka berdua melihat planet Saturnus, bulan dan bintang-bintang yang ada di langit.
"Karina," Winter berbisik, wajahnya ia sembunyikan di bahu Karina. "Ini melelahkan, ini sangat melelahkan." Tanpa sadar, air matanya turun membasahi kaos yang Karina pakai.
Karina tidak berkata apa-apa, dia hanya memeluk erat tubuh mungil yang terasa sangat dingin itu. Dan Winter menangis tanpa suara, hanya untuk saat ini, dia mengeluarkan semuanya di depan orang lain selain mamanya.
To be continue...
Permen bumi:
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.